Lihat ke Halaman Asli

Thomas Panji

TERVERIFIKASI

Content Writer

Demonstrasi, Kebudayaan Tutur dan Rendahnya Aktivitas Literasi Membaca

Diperbarui: 4 November 2020   07:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi mahasiswa sedang mengikuti demo| mediaparahyangan.com

Pada hari Senin, tanggal 5 Oktober 2020 lalu, Omnibus Law RUU Cipta Kerja akhirnya disahkan oleh Parlemen menjadi Undang-Undang. Pengesahan ini pun seperti biasanya, diwarnai oleh aksi demonstrasi dan diakhiri dengan tindakan anarkis, yang dilakukan oleh sekelompok oknum. 

Aksi pembakaran halte bus, pos polisi hingga vandalisme diberbagai sarana prasarana publik, selalu mewarnai setiap aksi demo yang terjadi di Indonesia.

Oke, ulasan artikel kali ini, pada dasarnya tidak ingin membedah isi dan melakukan kajian politik dari Undang-Undang tersebut. Kenapa? Karna pertama penulis bukanlah seorang pengamat politik dan juga bukan politisi muda; kedua, penulis yakin bahwa tidak mudah untuk menerjemahkan sebuah ‘bahasa’ politik, sehingga perlu sebuah pendekatan khusus; dan yang ketiga, biarkan isi dari Undang-Undang yang bermasalah diserahkan kepada para ahli untuk diajukan banding.

Lalu, apa yang mau dibahas dalam artikel kali ini? Yang ingin penulis bahas tentu saja adalah aksi demonstrasi, bukan hanya dari demo UU Cipta Kerja saja, tapi dari semua aksi demo yang pernah terjadi di Indonesia. 

Jika pembaca cukup peka dalam melihat berbagai aksi demonstrasi, ada banyak sekali peserta demo, terutama pelajar yang ketika ditanya oleh wartawan di lapangan, tidak pernah bisa menjabarkan secara utuh dari isi masalah yang mereka serukan

Tentu tidak semua peserta demo seperti itu, tapi akan menjadi masalah yang pelik ketika ada banyak sekali peserta demo yang mulai salah menerima dan salah mengartikan maksud dari berbagai poin-poin penting yang diserukan. 

Tentu kesalahan seperti ini datang karena tidak banyak dari peserta demo yang menghadirkan sikap kritis dan skeptis dalam menerima sebuah isu politik, sehingga banyak dari mereka yang terpancing dan hanya mengikuti arus.

Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa hal itu bisa terjadi? Ya, tentu saja ada banyak faktor. Namun, salah satu faktor yang berhasil penulis temukan dan cukup bisa menjelaskan fenomena diatas adalah budaya. 

Tapi budaya yang seperti apa? Budaya yang dimaksud adalah budaya literasi dan budaya tutur. Permasalahan budaya literasi di Indonesia adalah pekerjaan rumah yang tak berujung dan memerlukan kerja ekstra.

Dilasnir dari Konde.co (15/3/2020), sebuah penelitian yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, memaparkan data, bahwa Indonesia adalah negara yang berada di urutan kedua dari bawah atau di peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline