Keraton Yogyakarta tidak hanya melawan penjajah secara bersenjata, tapi juga dari makanan.
Keraton Yogyakarta menjadi salah satu dari banyak kerajaan yang masih tegak berdiri di masa pemerintahan Indonesia modern. Sebagai salah satu kerajaan tertua di Indonesia, Keraton Yogyakarta menyimpan begitu banyak kekayaan sejarah dan budaya. Salah satu kekayaan yang dimiliki dan menjadi magnet bagi semua orang ketika melancong ke Yogyakarta adalah budaya kulinernya. Budaya kuliner Keraton Yogyakarta memiliki keunikan tersendiri. Keunikan itu berasal dari beberapa sajian khas mereka yang banyak mengandung nilai-nilai akulturasi, baik dari nama makanannya, sejarahnya, cara penyajiannya, hingga cita rasanya.
Dalam beberapa literatur sejarah kuliner Indonesia, Keraton Yogyakarta memang menjadi salah satu kerajaan di Indonesia yang mengalami begitu banyak akulturasi serta asimilasi budaya kuliner dengan beberapa bangsa, utamanya Belanda sebagai bangsa penjajah yang pada saat itu memang banyak mempengaruhi laku hidup, sistem pemerintahan, serta kebudayaan di Keraton Yogyakarta. Menurut Utami (2018), selama Yogyakarta mengalami masa pendudukan Belanda, para pembesar Keraton Yogyakarta saat itu mencari cara untuk dapat melawan hegemoni Belanda, utamanya dalam urusan budaya yang bersifat lunak.
Masih dari sumber yang sama, Keraton Yogyakarta saat itu mengambil kebijakan politik budaya bernama hibridasi dan mimikri budaya. Menurut Bhabha (2004), hibridasi atau hibriditas budaya secara sederhana adalah persilangan budaya antar dua bangsa. Melalui hibridasi masyarakat yang terjajah mampu menemukan ruang temu dan eksplorasi untuk menyerap semua influensi dari budaya penjajahnya, yang kemudian jadikan alat menemukan celah bagi berkembangnya proses akulturasi, asimilasi, maupun amalgamasi budaya, sebagai sebuah kapital untuk melawan penjajahan dalam metode yang lunak.
Sedangkan, mimikri budaya secara sederhana merupakan perpanjangan tangan dari hibriditas budaya itu sendiri (Bhabha dalam Utami, 2018). Pada prinsip dan praktiknya, mimikri budaya dapat memampukan masyarakat yang terjajah untuk membuat suatu kebudayaan baru berdasarkan hasil temuan mereka soal celah budaya antara masyarakat penjajah dengan masyarakat terjajah yang bisa diisi dan menjadi disrupsi budaya untuk masyarakat penjajah. Dengan mimikri budaya, maka masyarakat yang terjajah mampu menekan dan melawan hegemoni penjajahnya dan mengisyaratkan tidak ada rasa ketertundukan.
Sehingga, jika dipahami secara keseluruhan, hibriditas dan mimikri budaya merupakan dua hal yang saling melengkapi serta amat diperlukan untuk mampu menciptakan perlawanan yang halus terhadap suatu bentuk ketertindasan. Dalam urusan budaya kuliner di Keraton Yogyakarta, nilai-nilai soal hibriditas dan mimikri budaya terasa cukup kental di dalam beberapa sajian masakan khas Keraton. Dalam tulisan kali ini, penulis akan membahas tiga sajian kuliner khas Keraton Yogyakarta yang bersumber dari proses hibridasi dan mimikri budaya kuliner antara Belanda dengan Keraton.
Tiga Makanan Akulturasi Khas Keraton Yogyakarta
Ketiga menu makanan yang diulas dalam artikel ini, secara keseluruhan merupakan sajian kuliner yang amat digemari oleh sang Sultan, atau orang-orang lokal Yogyakarta sering menyebutnya sebagai Kersanan Dalem. Menurut Gardjito (2010: 23), Kersanan Dalem terdiri dari dua kata, yakni kersanan (bahasa Jawa) yang berarti sangat disukai dan dalem yang berarti sesuatu yang di hormati, yakni sang sultan itu sendiri. Sehingga, jika disatukan secara utuh, maka Kersanan Dalem berarti semua jenis hidangan kuliner yang amat sangat digemari oleh raja atau sultan saat mereka masih hidup.
Di samping itu, alasan kenapa penulis hanya menyertakan tiga buah kuliner dalam artikel kali ini adalah karena ketiga menu makanan ini memiliki akar yang hampir serupa, baik dari bumbu yang digunakan, bahan yang digunakan, sejarah dari ketiga, serta yang paling penting adalah adanya catatan yang cukup terdata mengenai tiga jenis makanan ini yang bisa diulas, karena ketiganya merupakan hidangan yang digemarin oleh Sri Sultan, khususnya Sri Sultan Hamengkubowono IX. Sehingga, dengan demikian penulis memiliki kemampuan untuk mengolah data dan informasi secara lebih mudah.
1. Smoor (Semur)