Lihat ke Halaman Asli

Tentang Perploncoan

Diperbarui: 26 Juli 2016   15:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salah satu topik yang paling sering dibahas di setiap tahun ajaran baru oleh penghuni internet maupun dunia nyata adalah tentang Masa Orientasi Sekolah (MOS) atau Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) yang erat hubungannya dengan perploncoan. Layaknya topik debat lain, ada yang mendukung adanya praktek perploncoan dalam masa orientasi dan ada yang menolak. Alasan mengapa kedua kubu berpendapat demikian mungkin sudah menjadi makanan basi bagi kita yang tidak ikut berdebat: mereka yang pro berpendapat bahwa perploncoan bisa menguatkan mental mereka, sedangkan yang kontra berpendapat bahwa praktek perploncoan tidak memberikan pengaruh positif.

Saya kemudian berpikir, darimana kaitan antara perploncoan dan kekuatan mental? Bahkan jika ingin lebih mendalam, sebenarnya ‘menguatkan’ mental apa yang dimaksud oleh para pendukung perploncoan ini?

‘Menguatkan’ mental sendiri, kalau boleh saya bilang, mungkin berkaitan dengan apa yang disebut mental toughness atau grit. Dalam Bahasa Indonesia mungkin kata tersebut bisa diartikan sebagai “ketangguhan”. Ketangguhan ini diartikan sebagai bagaimana seseorang bisa bertahan dari tekanan, berpikir kritis di saat genting, dan konsisten dalam melaksanakan tugasnya. Kelompok pro-perploncoan biasanya berargumen bahwa ketika siswa baru diplonco habis-habisan oleh seniornya selama masa orientasi, siswa baru tersebut nantinya bakal lebih kuat menghadapi tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan (katanya) banyak tekanan. Dari argumen itulah kemudian muncul tradisi mencari atribut kelompok dengan petunjuk-petunjuk konyol, atau menghitung luas lapangan kampus dengan daun sembari dibentak-bentak oleh senior.

Jika dilihat dari satu sisi pengertian ketangguhan tadi, praktek perploncoan ini seakan masuk akal dalam hal penguatan mental. Dalam situasi genting (dibentak, dicaci-maki, diancam hukuman fisik) para siswa baru dituntut untuk berpikir “kritis” (membuat yel-yel, memecahkan kode, mencari atribut, mencari lokasi-lokasi di sekolah) sehingga para siswa baru tersebut bakal sah menjadi “putra-putri terbaik bangsa” yang membosankan itu. Namun dilihat dari sisi lain, praktek perploncoan ini juga menjadi suatu ironi tersendiri, kala tidak mewujudkan konsistensi dan dalam beberapa hal, tidak signifikan untuk kehidupan mereka.

Misalkan kita cocokkan dengan akademi militer, yang kerap diagungkan oleh para pro-perploncoan. Para siswa tahun pertama di West Point (Akademi Militer di Amerika Serikat) biasanya mengalami apa yang disebut Cadet Basic Training atau Beast Barrack (orientasi dari warga sipil menjadi kadet militer) selama 6 pekan. Seperti yang kita harapkan, masa orientasi tersebut penuh dengan latihan fisik dan mental yang menuntut para siswa baru untuk bertransisi ke kehidupan militer. Tak cukup sampai saat itu, selama pendidikan para kadet tentunya harus mengikuti aturan-aturan di akademi militer yang pastinya sangat keras.

Intinya, masa orientasi selama 6 pekan itu memang signifikan dalam kehidupan mereka di akademi. Para kadet bisa siap secara fisik dan mental dalam menghadapi kehidupan dalam naungan standar militer, yang tak jauh beda dengan masa orientasi.

Dalam konteks MOS dan Ospek, rasa-rasanya tidak ada korelasi yang sangat erat dengan kehidupan di sekolah/kampus. Ya, memecahkan kode-kode konyol untuk mencari atribut kelompok mungkin membuat imajinasi kita berkembang, tapi memecahkan kode itu tidak serumit menyelesaikan soal UAS atau sedepresif mengerjakan skripsi bukan? Begitu juga konteks kedisiplinan dan ketangguhan, yang sebenarnya bisa saja didapatkan tanpa perlu adanya perploncoan yang semi-militeristik ini. Kedisiplinan dan ketangguhan yang katanya dibangun lewat perploncoan itu sendiri paling hanya bertahan selama masa orientasi. Setelah itu, kegiatan titip absen dan copas tugas menjadi hal yang lumrah. Kedisiplinan dan ketangguhan, sama seperti belajar, adalah proses seumur hidup.

Jadi, bisa dibilang perploncoan itu hanyalah sebuah selebrasi belaka, yang nilainya tidak lebih dari ungkapan klise “menjadi pengalaman dan pelajaran berharga”, yang tidak mempengaruhi kehidupan kedepannya. Karena memang terlalu naif bila menganggap perploncoan selama seminggu bisa mendisiplinkan dan menangguhkan seseorang. Kalaupun ada beberapa kalangan yang diplonco selama setahun, proses itu terhenti setelah menjadi senior dan perploncoan pun menjadi ajang balas dendam tanpa makna.

Menganggap perploncoan sebagai praktik yang membuat seseorang menjadi tangguh dan disiplin tidak sepenuhnya salah atau benar karena masalah moral, namun dalam konteks perploncoan selama 3-7 hari di MOS/Ospek? Delusional, karena perploncoan dalam MOS/Ospek, sekali lagi, hanyalah selebrasi. Toh, pada dasarnya kita semua sedang mengalami perploncoan terkejam yang pernah kita jalani, sebuah praktik perploncoan yang bernama kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline