Kita tentu masih ingat dengan euphoria bisnis-bisnis ini: tanaman, Gelombang Cinta (Anthurium); batu: Akik; ikan, Arwana, Louhan; burung, Love Bird; dan masih banyak lagi kehebohan peluang bisnis di atas yang menghebohkan masyarakat kita. Harga jual mereka menjadi selangit saat booming.
Saya ingat betul mendiang bapak saya, waktu masih hot-hotnya gelombang cinta, kalau pulang dari tugas luar kota selalu membawa 1 pot tanaman ini. Ibu saya yang mungkin lebih rasional selalu ngomel, karena harganya 1 pot kecil minimal waktu itu 100rb-500rb untuk bibit tanaman yang masih kecil saja.
Bapak bilang kalau sudah besar dipindahkan ke pot, nanti harganya bisa puluhan bahkan ratusan juta. Dan akhirnya semuanya tidak ada harganya saat ini. Kalaupun ada yang membeli ya harganya wajar saja seperti tanaman lainnya.
Dalam dunia bisnis, Monkey Business bukan berarti bisnis monyet secara harafiah, namun bisnis yang diibaratkan seperti monyet yang ketika dia mendapatkan makanan/keuntungan, kemudian akan lari/kabur.
Kira-kira sudah ada gambaran ya, ini bisnis yang seperti apa? Saya akan mencoba memberikan sebuah analogi dengan cerita berikut ini, yang sebenarnya sudah cukup banyak diceritakan juga di tempat lain.
Alkisah suatu hari di desa Sukamiskin, pak Jayeng seorang pendatang yang kaya raya mengumumkan akan membeli monyet dengan harga Rp. 50,000 per ekor. Padahal monyet-monyet disana saat itu sama sekali tidak ada harganya karena jumlahnya yang sangat banyak dan kerap dianggap sebagai hama pemakan tanaman dan buah-buahan.
Para penduduk desa yang menyadari bahwa banyak monyet disekitar desa pun kemudian mulai masuk hutan dan menangkapinya satu persatu. Kemudian pak Jayeng membeli ratusan ekor monyet dengan harga Rp 50,000 per ekornya. Karena penangkapan secara besar-besaran akhirnya monyet-monyet semakin sulit dicari, penduduk Sukamiskin pun menghentikan usahanya untuk menangkapi monyet-monyet tersebut.
Hari berikutnya pak Jayeng kembali mengumumkan akan membeli monyet dengan harga yang lebih tinggi, yaitu Rp 100,000 per ekor. Tentu saja hal ini memberi semangat bagi penduduk desa untuk kemudian mulai untuk menangkapi monyet lagi.
Tak berapa lama, jumlah monyet pun semakin sedikit dari hari ke hari dan semakin sulit dicari, kemudian penduduk pun kembali ke aktifitas seperti biasanya, yaitu bertani dan berkebun. Karena monyet kini telah langka, harga monyet pun meroket naik hingga Rp 150,000 per ekornya.
Tapi tetap saja monyet sudah sangat sulit dicari. Dan akhirnya suatu hari pak Jayeng mengumumkan kepada penduduk desa bahwa ia akan membeli monyet dengan harga Rp 500,000 per-ekor!
Namun, karena Pak Jayeng dan keluarganya harus pergi ke kota karena ada urusan, maka asisten pribadinya akan menggantikan sementara untuk mengelola bisnis atas namanya.