Istilah Ekologi pertama kali digunakan oleh Ernst Haeckel (1869), dan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara makhluk hidup dan lingkungannya yang bersifat organik maupun an-organik.[1] Lebih luas, ekologi memiliki korelasi dengan rumah tangga makhluk hidup yang bermuara dalam suatu sistem yang tunggal, ekosistem. Ketegangan yang terbangun dalam ekosistem ekologi kerap kali memunculkan konflik dalam siklus kehidupan antara manusia dengan makhluk lain. Istilah kosmosentrise dipopulerkan oleh seorang teolog kenamaan berkebangsaan Brazil, Leonardo Boff. Kosmosentrisme yang dikemukakan oleh Leonardo Boff membias dari keprihatinan terhadap alam semesta yang "dinomor duakan". Paham kosmosentrisme mengkristalkan paham bahwa seluruh makhluk di alam semesta memiliki hak asasi dan bukan hanya manusia. Awalnya ekologi masih menjadi wacana regional karena berkaitan dengan pelestarian spesies tertentu yang terancam punah atau dengan penciptaan cagar alam yang memastikan kondisi yang lestari bagi berbagai ekosistem hayati. Atau dengan kata lain kehijauan planet ini, terutama hutan tropis yang mangandung keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Namun timbulnya kesadaran akan akibat dari pembangunan industri, ekologi pembebasan menjadi wacana universal.[2] Kendati kosmosentrisme sering kali tersisihkan sebagai masalah kedua setelah industri dan ilmu pengetahuan (antroposentrisme) yang ternyata adalah "rumpun serampangan" yang terus eksis dalam ekosistem kosmik. Mengingat krisis lingkungan semakin realistis, tokoh-tokoh yang berkehendak baik dalam mengusahakan suatu sistem rekonstruksi ekologis, mengingat dunia sedang dihadapkan pada akibat kehancuran lingkungan hidup dan pemanasan global maka lahirlah suatu teologi baru yakni teologi pembebasan. Awalnya teologi pembebasan berbasis pada Asia sebagai respon atas permasalah ekologis, kemiskinan dan keterbelakangan sumber daya manusia.
Penguraian pengetahuan yang diperoleh dari berbagai proyek luar angkasa, menyuguhkan kepada kita suatu kronologi baru yaitu kita dapat mengetahui paradigma yang koheren tentang relasi antara manusia dan alam semesta. Beberapa astronot seperti Isaac Animov, John Jung mengatakan bahwa bumi seukuran telapak tangan, tidak ada kulit putih dan hitam di dalamnya, tidak ada kaum marxis dan demokrat. Yang ada, bumi adalah planet biru-putih yang teramat menakjubkan. Bumi dan manusia merupakan satu kesatuan. Kita manusia tidak hanya berada di bumi tetapi “kita di bumi”. Kita pria dan wanita adalah bumi yang berpikir, berharap, mencintai dan telah memasuki fase pengambilan keputusan yang tidak lagi naluriah tetapi sadar. Kita adalah ekspresi bumi dan kosmos paling kompleks dan unik yang diketahui sejauh ini. Kendati demikian manusia harus bersikap sportif dalam membangun suatu ekosistem dalam siklus kebutuhannya. Sangat tidak bijaksana apabila antroposentrime labih diutamakan dari pada kosmosentrisme. Sekali waktu seorang ahli ekologi Amerika Serikat mengatakan bahwa risiko terakhir yang diambil bumi adalah mempercayakan takdirnya pada keputusan manusia, memberikan komunitas manusia kekuatan keputusan atas sistem kehidupan dasarnya. Dengan kata lain Tuhan telah lalai dengan mempercayakan ciptaan-Nya yang paling sakral dikelola oleh manusia. manusia menggiring bami pada suatu vase evolusi yang amat celaka.
Pada tanggal 24 Mei 2015 siang hari waktu setempat, ensiklik Laudato Si secara resmi dipublish di Vatikan dan pada tanggal 18 Juni 2015 disertai dengan konverensi pers vatikan merilis dokumen tersebut dalam bahasa Italia, Jerman, Inggris, Spanyol, Polandia, Portugis dan Arab. Ensiklik Laudato Si merupakan ensiklik kedua yang di buat oleh Paus Fransiskus setelah Lumen Fidei atas keprihatinan terhadap konsumerisme, pembangunan yang tidak terkendali, kerusakan lingkungan, pemanasan global dan ajakan kepada semua orang dari seluruh lapisan masyarakat di dunia untuk mengambil sikap global terpadu demi rekonstruksi dan pelestarian lingkungan berkelanjutan. LAUDATO SI ', mi' Signore", - "Terpujilah Engkau, Tuhanku". Meneruskan apa yang telah dibangun oleh Santo Fransiskus dari Asisi yang tertuang dalam tulisan; nyanyian saudara matahari, puisi dan doa sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas penciptaan berbagai makhluk dan seluruh aspek bumi. Paus Fransiskus mengingatkan semua orang diseluruh penjuru dunia untuk kembali merefleksikan bahwa bumi adalah rumah kita bersama; seperti saudari yang berbagi hidup dengan kita dan sebagai ibu rupawan yang tak henti-hentinya menerima kita dengan penuh kasih dan tangan terbuka. "Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang memelihara dan mengasuh kami, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan".[1] Ungkapan syukur kepada Tuhan yang menciptakan kita dan bumi sebagai wadah tempat kita berbagi hidup serta kecemasan akan krisis lingkungan hidup, menjadi gagasan dasar Paus Fransiskus menggaungkan seruan yang tertuang dalam ensiklik Laudato Si, agar semua orang diseluruh dunia merasakan kecemasan yang sama sebagaimana Paus Fransiskus merasakannya.
Selain Paus Fransiskus, ada pula pendahulunya Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II, Paus Benedictus XVI, ada pula teolog, ahli, filosof dan ada segelintir orang yang hidup terpisah di berbagai tempat yang berkehendak baik untuk merekonstruksi bumi rumah kita bersama. Mereka menyerukan dan menggaungkan dialog agar semua orang yang hidup di planet ini memiliki empati untuk bersikap dan memerangi tindakan-tindakan yang merusak bumi. Semua orang di bumi, di ajak untuk membangun hubungan yang intim dan mengalami kesatuan dengan alam semesta sebagai bagian tak terpisah dari dirinya. Membangun hubungan yang intim dengan semesta berarti melihat kerusakan di bumi sebagai luka yang mesti dirasakan dan disembuhkan bersama. Kerusakan yang terjadi di bumi adalah cerminan dari keserakahan kita yang lupa bahwa bumi adalah tempat kita saling mengisi. Tokoh-tokoh dunia melihat bahwa bumi sedang dalam kondisi yang amat memprihatinkan sebagai akibat dari kemerosotan moral dan etika ekologi. Lingkungan hidup mengalami degradasi yang signifikan.
Seruan yang digelontorkan oleh Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si, merupakan seruan, ajakan dan dialog yang masih sangat aktual. Bukan baru pertama kali dan tidak terlepas dari apa yang digaungkan oleh Paus Paulus VI, Santo Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benedictus XII. Beberapa tokoh katolik paling berpengaruh dunia ini, membangun dialog dalam "tataran katolik" regional dan universal untuk memperhatikan lingkungan hidup. Paus Paulus VI mengajak semua orang di dunia melalui ensiklik Pacem In Terris untuk melihat masalah ekologis sebagai akibat tragis dari aktifitas manusia yang tak terkendali karena eksploitasi alam secara tidak bertanggungjawab. Pertumbuhan ekonomi menimbulkan risiko kehancuran yang akibatnya manusia sendiri menjadi korban dari degradasi ini. Ia juga mendesak pihak Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk intens melihat krisis ekologis yang akan menjadi bencana nyata akibat pengaruh peradaban industri, dan menekankan "kebutuhan mendesak akan perubahan radikal dalam perilaku umat manusia", karena "kemajuan ilmiah yang sangat luar biasa, kemampuan teknis yang sangat menakjubkan, pertumbuhan ekonomi yang sangat mencengangkan, bila tidak disertai dengan perkembangan sosial dan moral autentik, akhirnya akan berbalik melawan manusia".[1]
Penegasan ini bertumpa pada konsekuensi mengenaskan yang sewaktu-waktu akan dialami manusia karena ulah sendiri. Kecemasan akan degradasi dan konsekuensi sebagai akibat dari aktifitas serampangan manusia, maka Paus Paulus VI berdasarkan refleksinya, mengajak dunia untuk melihat dan merangkul bumi yang "sedang terluka" sebagai saudari dan ibu yang mesti di kasihi. Keserakahan tidak boleh memperoleh tempat seincipun di bumi. Seyogianya, manusia mesti menjadikan bumi sebagai "dirinya sendiri" yang ketika digores, maka yang merasakan sakitnya harus manusia.
Sedangkan Santo Paus Yohanes Paulus II bersikap secara lebih teologis. Ia melihat tindakan perusakan dan degradasi moral dan etik terhadap lingkungan hidup sebagai dosa berat; kendati menggunakan diksi perkara, Santo Paus Yohanes Paulus II beranjak dari ketegasannya agar terdapat pertobatan ekologis global. "Penghancuran lingkungan manusia merupakan perkara sangat berat, tidak hanya karena Allah telah mempercayakan dunia kepada manusia, tetapi karena hidup manusia itu sendiri merupakan anugerah yang harus dilindungi dari berbagai bentuk kemerosotan. Setiap upaya untuk melindungi dan memperbaiki dunia kita memerlukan perubahan besar dalam "gaya hidup, dalam pola-pola produksi dan konsumsi, begitu juga dalam sistem maupun struktur-struktur pemerintahan yang sudah membaku, yang sekarang ini menguasai masyarakat". Pengembangan manusia yang autentik memiliki sifat moral. Ini mengandaikan penghormatan penuh terhadap pribadi manusia, tetapi juga harus peduli terhadap dunia di sekitar kita dan "mempertimbangkan sifat setiap makhluk dan hubungan satu sama lain dalam suatu sistem yang tertata". Dengan demikian, kemampuan manusia untuk mengubah realitas harus dilakukan berdasarkan pengaruniaan segalanya oleh Allah menurut maksud-Nya semula"[1]. (Paus Yohanes Paulus II; Pertobatan Ekologis)
Santo Paus Yohanes Paulus II memandang bumi sebagai karunia Allah yang diberikan secara Cuma-Cuma, mencakup lingkungan alam, lingkungan alam hayati dan manusia di dalamnya sebagai pelindung. Manusia diberi marwah khusus untuk mengelola, merawat, menjaga dan menggunakan alam ciptaan secara bertanggung jawab demi kelangsungan hidup dan demi kemuliaan Allah Sang Pencipta (kreator). Dengan pandangan yang lebih teologis, maka menjadi lebih falid dan kohoren apa bila merusak bumi adalah perkara/dosa berat. Tidak berlebihan untuk perkera sebesar itu dianggap sebagai tindakan berdosa. Santo Paus Yohanes Paulus II, menuntut moral dan etika dari setiap orang yang mendiami planet ini dalam mengelola dan menggunakan apa yang melekat dan bumi itu sendiri.
Paus Benedictus XVI lebih menyoroti lembaga-lembaga struktural ekonomi dan mengkritik model-model pertumbuhan yang tidak memberi rasa hormat pada lingkungan hidup. Paus Benedictus membangun suatu peringatan kepada dunia bahwa lingkungan alam tidak terbatas pada satu aspek tertentu melainkan adalah satu kesatuan tak terpisahkan dari lingkungan, kehidupan, seksualitas, keluarga dan hubungan sosial. Maka kerusakan alam sangat erat dengan habitus yang membentuk koeksistensi manusia. [2]
Yang teraktual, Paus Fransiskus melalui ensiklik Laudato Si, Ia melihat dan mengalami lebih dalam, bagaimana kerusakan lingkungan hidup dan akibat buruk yang merugikan manusia. Dewasa ini, akibat-akibat kerusakan alam tidak lagi terbatas pada perkiraan dan wacana, melainkan telah menyata dalam kehidupan konkret. Paus Fransiskus ketika terpilih sebagai pemimpin gereja katolik roma yang kedua ratus enam puluh enam dalam konklaf pada tahun 2013 silam, ia terinspirasi oleh semangat Santo Fransiskus Asisi yang amat mencintai semua orang, tak terkecuali kaum miskin dan yang tersisih. "Santo Fransiskus Asisi juga adalah contoh unggul dalam melindungi yang rentan dan dalam suatu ekologi integral, yang dihayati dengan gembira dan autentik. Dia adalah santo pelindung semua orang yang mempelajari dan bekerja di bidang ekologi, dan ia juga sangat dicintai oleh orang non-Kristiani. Dia telah menunjukkan kepedulian khusus terhadap ciptaan Allah dan kaum miskin serta mereka yang tersisihkan. Dia mengasihi dan sangat dikasihi karena kegembiraannya, pemberian dirinya yang murah hati, dan keterbukaan hatinya. Dia adalah seorang mistikus dan peziarah yang hidup dalam kesederhanaan dan keselarasan yang indah dengan Allah, dengan orang lain, dengan alam, dan dengan dirinya sendiri".[3] (Paus Fransiskus; Laudato Si., hlm. 10).