Lihat ke Halaman Asli

thomas edison soinbala

Pelajar sekolah

Tolo

Diperbarui: 12 Februari 2023   20:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tolo 

 

Aku memiliki cita-cita. Menjadi pelayan. Selalu kudengungkan, "jika Tuhan berkenan, aku akan menjadi pelayan dari dunia religious, tetapi jika tidak demikian maka hedaknya Tuhan memperkenankan aku melayani dari dunia politik". Itulah cita-citaku. Aku sangat berambisi untuk menjadi salah satu dari kedua profesi itu. Aku belajar Filsafat tetapi di rak bukuku, penuh dengan buku-buku politik. Aku merefleksikan bahwa jika melalui jalan religi seseorang mempertemukan sesama dengan Tuhan, maka dengan politik seseorang mestinya memaparkan eksistensi Tuhan, bersaksi bahwa sejatinya melayani adalah melebur dan mengorbankan diri untuk menjadi jembatan kesejahteraan masyarakat luas. Karena politik adalah ladang untuk menabur bersama dan menuai bersama.  

Namun, Perlu aku ceritakan padamu, bahwa dalam diriku ada seekor piton raksasa buas yang sangat ganas dan berbahaya. Ia biasanya muncul ketika aku dikelilingi orang banyak. Pergerakkannya sangat perlahan, lembut tetapi sangat menggelikan. Aku selalu merasa ngeri ketika piton raksasa itu muncul. Karena itu, begitu ia muncul berubahlah aku kaku dan menjadi begitu pesimis. Seketika itu pula aku akan berubah menjadi seperti seorang muslim fanatik yang menyesal setelah makan babi guling. Sumpah, aku sangat jijik terhadap diriku. Bahkan aku selalu berniat untuk melenyapkan diriku sendiri. tapi apa daya? Begitu ia muncul, aku menemukan potret diriku berubah menjadi tampak sangat bodoh, tak berdaya. Sangat menyedihkan. Sungguh, kalau kau turut merasakannya, kau akan mengakui bahwa itu memang sangat amat tragis. Hey sobat. Itu baru kemunculannya. Belum ia meronta. Bayangkan saja. Baru muncul aku sudah dibikin tak berkutik di depan diriku sendiri, apa lagi kalau ia berontak. Aku hancur lebih tegas dan lebih lekas. Bahkan lebih lekas dari sedetik dan lebih tegas dari pelornya amunisi yang keluar dari laras sniper. Kepada piton itu, aku memberonya nama tolo. Mengapa tolo? Karena tolo itu sangat ganas. Ia akan menjadi apa saja sesuai keinginannya. Tidak pernah menggubris apa yang sedang didendangkan batin. Kau tahu? Tolo itu sudah berontak dua puluh dua tahun, delapan ribu tiga puluh hari, seratus Sembilan puluh dua ribu tujuh ratus dua puluh jam, sebelas juta lima ratus enam puluh tiga ribu dua ratus menit, enam ratus sembilan puluh tiga juta tujuh ratus Sembilan puluh dua ribu detik. Bayangkan. Betapa hebatnya tolo itu. Ketika ia berontak aku selalu diterkam. Dimamah habis-habisan. Aku dipencundanginya sampai tak enak rasanya tapi herannya, aku tidak mati-mati juga. Dan ketidakmatianku adalah ketololan yang sungguh-sungguh luar biasa. Jujur saja, aku ingin sekali mati. Aku tidak peduli apakah akan duduk di sebelah tuhan sambil minum moke atau di sebelah lucifer, yang penting aku mati. Hanya satu pinta saja, kalau nanti di sana aku disuguhkan teh dan rokok biar lambungku tetap berabak pinak. Sobat. Aku sangat parah. Merana laksana kelamin gadis berumur empat tahun yang diperkosa om-om.   

Oh ya. Nama permandianku Timoti Kusat, tapi bagiku, nama itu bahkan lebih menjijikan dari ketololan tolo itu. Akhirnya aku menamai diriku tolo, karena aku yang Timoti kini lebih kerdil dari tolo itu. Kesiahan ya? Entah mengapa, Tolo bertumbuh begitu pesat dan drastis tanpa membutuhkan sedikitpun drama layaknya sambo. Adakalanya aku berteriak-teriak meminta pertolongan agar hendaknya aku ditolong tim basarnas atau sejenisnya. Ataukah aku memang pantas dibikinnya merana? Sudahlah! Saya tidak ingin mempedulikannya karena toh pada akhirnya Tolo itu akan menang jugakan? Yang pasti, saya sudah hancur berkeping-keping tapi entah atas kehendak siapa, saya pantang mati. Dan untuk terus berkutat pada zona ini adalah pilihan yang memang membutuhkan segunung ketangguhan untuk tidak menjadi malu saat dengan mata sendiri menatap kubangan menjijikan yang tersedia pada bagian lain diri sendiri itu. Sobat. Betapa sangat memalukan. Sangat menjijikan tapi memang sangat kasihan juga. Saya saja kasiah apa lagi kau? Ah kau tidak mungkin. Sejak kapan kau mau tau siapa saya? Kau mungkin hanya rajin melantunkan kredo yang serasa menggelitik perutmu dan menghasilkan tawa ketimbang merasakan betapa merananya saya. Saya harus mengutuhkan kembali, Timoti yang telah resmi mengalami trasfigurasi dari bercahaya menjadi mistis dan menjijikan. Sebat. Satu-satunya jalan untuk mengutuhkan kembali Timoti yang kini berubah menjadi Tolo adalah dengan memungut kembali satu demi satu serpihan itu.

Mulailah pada kamis malam bersama sinar bulan yang ranum, saya kembali dari awal di mana serpihan perdana itu terletak. Saya sering berdoa agar serpihan itu tidak begitu jauh dari saya yang tinggal sepenggal di sini disaat ini. Apabila terlalu jauh dibalik sejarah yang kini using termakan waktu, maka usaha untuk tiba pada titik itu, membutuhkan waktu yang Panjang, besar dan banyak yang saat ini masih terbungkus rapi di depan sana dan sangat disayangkan untuk dibuang hanya untuk mencari diri sendiri. Tapi apakah untuk menemukan diri sendiri adalah kesia-siaan? Mungkin. Mengapa? Karena bagaimana dengan tanggung jawab yang mesti dipenuhi intuk hidup saat ini. Oh tuhan semoga serpihan itu tidak terlalu jauh agar lekas ketemu. Betapa benarnya bahwa perjalanan paling jauh dan paling lama adalah menuju diri sendiri terutama yang sudah hancur sejak lama. Tapi apalah hidup ini jika harus menyusuri waktu yang akan datang tanpa bersama diri yang utuh, tidak sepenggal tidak setengah-setengah. Saya memang harus pulang. Saat ini, sekarang ini juga.

Masih di kamis malam, yang adalah saat ini. untuk kembali dan menyisir masa lalu, saya mala mini menyediakan seperangkat ketabahan dan segudang keheningan dalam kesendirian yang utuh. Tentu saja ransel adalah waktu dan alat transportnya. Maka dengan hati-hati, dalam ransel itu saya Menyusun dengan rapi keheningan, doa dan harap serta ketabahan. Di tangan kanan tak lupa secangkir teh dan di tangan kanan sebatang rokok yang sedang bernyala sebagai pawang dalam menghadapi ganasnya riuh. Di bahu kanan kutenteng keberanian, dibahu kiri kujinjing sebagian harapan, didada kukemas rapi rapuh dan lara agar menekan kepiawaian tolo itu agar tidak merampok habis bawaan yang ada dibahu dan ransel. Sementara di kepala, kutodongkan ambisi yang siap menerkam apa saja yang berani mengganggu. Bertumpukan niat, saya memulainya.

Jumat pagi, setelah semalam mempersiapkan segalanya, bermulakan tanda salib, saya pun berlayar. Waduh sobat. Pintu masuknya sangat keras, sangat gelap dan kau tahu, sangat kotor. Dari kekerasan, kegelapan dan aroma busuk itu, saya menyimpulkan bahwa ternyata tolo itu hidup dari kekerasan dan cinta yang kering. Kupandang kekejauhan ternyata jejak kaki cinta kasih sama sekali tak ada. Yang ada hanya gelapnya kekerasan dan kekurangan. Tak bisa kusangkal bahwa itulah saya maka teh di tangan kanan kuhabiskan sekali sesab dan mengambil senter yang ada di ransel dan meneliti setiap pijakan siapa tahu ada satu serpihan yang kebetulan jatuh disitu. Gelap. Keras dan hampa, tetapi sangat riuh seperti ada kertak gigi dan ratap tangis. Sekilas terlintas dipikiranku bahwa ternyata yang dikisahkan tetang neraka memag benar adanya. dari selimut kegelapan itu, terpantul suara tangis anak-anak memohon ampun pada mamanya yang mungkin sedang mencambuknya dengan rotan atau semacamnya. Sementara disela-sela itu, terdengar mengeggelegar juga pekikan dan bentakan laki-laki disertai dengan ratapan anak kecil. Dari suara anak itu mencerminkan kekosongan yang sungguh-sungguh mengharapkan belalian. Sejenak saya berdiri untuk mendengar dengan saksama ratapan itu. Dari ratapan itu rupanya dari suara anak kecil yang sama. Serasa suara itu tak begitu asing. Sangat akrab ditelingaku. Nyaliku ciut. Jiwaku goyah menimbang apakah mesti kuhampiri itu atau pulang dan tidur. Tidak. Saya harus ke sana. Saya menolong anak itu. Dia membutuhkan uluran tangan saya. Ransel masih tetap utuh dan rokok di tangan kiri masih belum setengah. Asap masih mengepul dan sesekali saya menghelanya. Oh rokok. Terima kasih sudah meemani saya dalam paruh waktu yang tak biasa. Saya mencintaimu. Bagaimnana mungkin saya mencintai rokok? Ah sudahlah. Bergegas. Jangan lama-lama ada banyak duka yang mesti kau hampiri setelah ini. perjalanan bermodalkan niat dan waktu, saya tetap maju. Saya akan pergi jauh. Lebih jauh dan jauh lagi. Saya mau mengambil kembali diri saya yangmasih tertinggal di sana. Ahahahahhahahha. Dasar jelek. Lu bisa apa? Anak miskin. Lebih baik lu mati saja. Bodok. Bobrok. Kotor. Lu pu muka ke babi. Anjing. Tolo. Kamatek. Dalam puki eeeee. Cukardeleng. Ko hebat apa?  Kalimat. Kata. Dan ejekan itu tergiang dikepalaku. Merampok sebagaian niatku. Membunuh sedikit waktuku. Dan saya masih berdiri dengan senter itu dalam gelap yang ganas. ah kepala, kenapa kau begitu? Kenapa kau mendengar itu? Ada apa? Kenapa kau memelihara teriakan itu? ..... Timoti, sadarlah. Ratapan, tangisan dan teriakan-teriakan kotor jahanam itulah yang melahirkan piton dalam dirimu. Piton itu siapa? Hey. Piton yang kau namakan tolo. Dia lahir dari sini kau hanya sedang mereplay saja. Teriakan itu kau. Kau yang malang. Ah yang benar saja kau ini. kepala jangan ngawur. Sebentar, sebentar. Timoti. Bergegas. Ambilah dirimu dikegelapan sana sebelum terlambat. Ranselmu hampir koyak. Kau siapa lagi. Kenapa ada dua orang di sini? Tolol. Bodok. Badaki. Anjing. Timoti anjing. Tolo. Lu bajingan ko? Kalian siapa? Timoti. Ini saya. ini hatimu sedang bicar. Jangan dengar teriakan dari kepalamu. Ikuti saja aku, hatimu. Ah kenapa kau mau ikut hati. Hati itu lemah. Saya ini yang perkasa. Kepala. Ingat kepala yang paling Tangguh. Timoti. Pergilah kemana hati membawamu pergi. Ingat itu. 

Senter ditanganku padam. Niatku melemah. Ransel koyak. Dan kegelapan menang. Niatku tak mampu mengasai kejamnya hampa, kekerasan dan tak mampu menerima betapa saya sangat kacau sangat menderita dan sangat rapuh. Piton. Si Tolo itu menang lagi, dan saya kalah lagi. Kasihan sudah dua puluh tiga tahun. Saya benar benar kehilangan diri saya. semua lenyap dan Thimoti pun sadar dari tidurnya.

Rupanya ini hanya mimpi.........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline