Lihat ke Halaman Asli

Pendahuluan

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

LATARBELAKANG [caption id="attachment_139101" align="alignleft" width="300" caption="Tarian dolo-dolo dalam Perkawinan Adat"][/caption]

Suatu saat, di tahun 1544, pelaut Portugis bernama S. M. Cabot melakukan pelayaran di perairan Nusantara. Di ujung sebuah pulau, Cabot begitu terpesona dengan keindahan cendawan karang raksasa, Flores. Cabot, tak pelak memeterainya dengan nama Cabo de Flores, dan hanya wilayah inilah yang kemudian tetap menggunakan kata Flores dalam memeteraikan kabupaten Flores Timur sebagai salah satu dari enam kabupaten yang ada di pulau Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kabupaten Flores Timur mencakup Flores Timur daratan (bagian paling Timur pulau Flores), pulau Solor dan pulau Adonara. Realita ini menjadikannya sebagai sebuah kabupaten kepulauan, sehingga sering dilukiskan sebagai “miniature Nusa Tenggara Timur”. Dengan karakter geografis demikian, kabupaten Flores Timur mengandung sumber daya alam yang begitu beragam berupa tapak-tapak kepurbakalaan, kesejarahan, kebudayaan, flora dan fauna yang unik-spesifik serta kebaharian yang amat potensial.

Potret jati diri masyarakat Lamaholot (kesatuan adat budaya Lamaholot: yang berbahasa Lamaholot) yang khas dan spesifik itu misalnya prosesi Jumad Agung warisan Portugis di Larantuka, harta kepubakalaan berupa situs “Nopin Jaga” di Tanjung Bunga, harta kesejarahan berupa titisan kerajaan Larantuka atau kerajaan Lamahala, rona budaya seperti rumah adat, perkampungan tradisional dengan berbagai situs tradisional yang digelar secara terpadu : seni, tari dan tenun, serta di pelataran pulau Solor dan Lewotoby yang masih membersitkan harumnya kayu cendana dan gaharu di masa silam. Semuanya merupakan jati diri dan lensa bumi air Flores Timur, sekaligus sebagai bagian integral dari sebuah bangsa yang besar : Bangsa Indonesia ( Michael Beding dan Lestari Beding, 1998 ).

Untuk selanjutnya tulisan ini lebih berfokus pada masalah kebudayaan dengan titik beratnya pada eksistensi gading gajah dalam sistem perkawinan masyarakat Larantuka Flores Timur.

Perkawinan adat adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Flores Timur. Ilmu Antropologi mencatat bahwa hampir semua adat masyarakat memetakan hidup seorang individu ke dalam tingkat-tingkat tertentu atau stages along the life cycle; misalnya masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pubertas, masa sesudah nikah, masa hamil, masa tua dan kematian. Peralihan hidup seorang individu dari satu stage ke stage berikutnya selalu disertai upacara ritual tertentu. Hal ini karena ada anggapan bahwa saat peralihan dari satu tingkat ke tingkat hidup berikutnya, atau dari suatu lingkungan sosial ke lingkungan sosial lain itu merupakan saat yang gawat atau penuh bahaya, nyata maupun gaib. Untuk menolak bahaya gaib yang mengancam hidup individu serta lingkungannya, maka diadakan upacara waktu krisis, yang dalam ilmu Antropologi disebut sebagai crisis-rites, atau upacara peralihan ( rites de passage ). Upacara-upacara itu juga mempunyai fungsi sosial yakni menyatakan kepada khalayak ramai tingkat hidup baru yang dicapai indiviidu bersangkutan. Gejala ini bersifat universal karena hampir terdapat di semua kebudayaan manusia. Dari semua upacara ritual dalam kehidupan manusia itu, perkawinan merupakan tingkatan terpenting dalam putaran hidup semua manusia di seluruh dunia ( dari tingkatan remaja ke hidup berkeluarga ) ( Koentjaraningrat 1992 : 92-93 ).

Van Vollenhoeven ( seperti yang dikutip oleh Bakker 1984 ) menunjukkan bahwa Indonesia terdiri dari 19 wilayah hukum adat. Flores Timur merupakan satu dari ke-19 wilayah hukum adat itu. Sementara itu, di Flores sendiri masih terdiri dari sub-sub suku bangsa yang memiliki keanekaragaman kebudayaan dan bahasa, yakni 1) orang Manggarai, 2) orang Riung, 3) orang Ngada, 4) orang Naga Keo, 5) orang Ende, 6) orang Lio, 7) orang Sikka, dan 8) orang Larantuka ( Koentjaraningrat 1999 : 190 ). Karena berdiri sebagai satu wilayah hukum adat maka masyarakat Flores mempunyai aturan perkawinan tersendiri. Umumnya, masyarakat Nusa Bunga ( Flores ) dan Flores Timur khususnya mengenal system perkawinan eksogami clan dengan pola patrilineal. Perkawinan dihayati tidak sekedar ikatan laki-laki dan wanita tapi perkawinan antara dua clan menjadi satu keluarga. Artinya bahwa, perkawinan perkawinan antara laki-laki dan wanita menjadi medium yang mempersatukan segenap anggota clan menjadi satu keluarga. Perkawinan menjadi suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan wanita tetapi juga mengikat –dalam suatu hubungan- kaum kerabat dari si laki-laki dan si wanita. Hal ini membawa implikasi bahwa jika laki-laki clan A mengawini wanita dari clan B maka tertutup kemungkinan bagi anggota keluarga A dan B yang lainnya untuk saling kawin ataupun dikawini karena mereka telah menjadi satu keluarga. Dalam hal ini, pemuda dari clan B harus mencari anak gadis dari clan C sebagai calon mempelainya. Oleh karena itu maka, masyarakat Flores Timur – Larantuka mengenal system perkawinan tiga tungku ( lika telo ): tiap-tiap clan serentak duduk sebagai Pemberi dan Pengambil anak dara: Conubium ( Ficher 1980 : 94 ).

Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa peralihan hidup seseorang dari satu tingkat ke tingkat berikutnya senantiasa disertai upara ritual tertentu, demikian pula perkawinan dalam kehidupan masyarakat Lamaholot senantiasa disertai upacara ritual yang tidak kecil sekaligus merupakan tingkatan terpenting dalam kehidupan masyarakat. Untuk membicarakan sebuah upacara ritual perkawinan, hal yang paling rumit dan interesant adalah gading sebagai belis ( mas kawin ) yang deserahkan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita. Gading sebagai mas kawin dalam hal ini menjadi hak yang diterima oleh pihak keluarga wanita sekaligus adalah kewajiban pihak lelaki. Suatu perkawinan bahkan dinilai aib apabila tanpa ( bala ). Dari sini dapat diketahui bahwa betapa pentingnya gading sebagai syarat demi terjadinya perkawinan dalam budaya masyarakat Flores Timur umumnya dan Lewotoby khususnya.

Waktu berubah dan pola pikir manusiapun turut berubah di dalamnya. Seirama dengan perubahan pola pikir manusia itu, kebudayaanpun turut mengalami perubahan kerena keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang yang lainnya. Kehidupan manusia dalam budayanya adalah suatu hal yang rumit dan kompleks. Di satu pihak manusia imanen di dalam dirinya, artinya bahwa manusia hidup dan tumbuh dalam suatu lingkungan budaya yang melingkupinya. Ia berperilaku dan bersikap berdasarkan ikatan norma dan asas yang berlaku dalam budayanya. Sedangkan di lain sisi, dalam batas tertentu serta dalam perjalanan kedewasaannya, manusia mampu mengekspresikan kemanusiaannya dengan berkreasi dalam bentuk norma ataupun asas-asas baru, mengubah dan memperbaiki tatanan yang telah ada.

Pernyataan di atas mengandung pengertian bahwa kehidupan manusaia yang berbudaya itu menuntunnya untuk tunduk dan patuh pada peraturan yang berlaku, sekaligus menuntutnya untuk menciptakan, mengubah atau memperbaikinya ( transformasi ) ( Mardimin 1994 : 13 ). Menangkap gejala itu, Louis Leahy dengan bahasa yang berbeda mengatakan bahwa manusia secara biologis belum rampung. Manusia tidak pernah dewasa ( sempurna ) karena eksistensinya merupakan sebuah proses pencapaian dan proses belajar tanpa akhir.

Sejalan dengan ide yang ada, Jakob Sumardjo ( 2002 : ix ) mengatakan bahwa semua manusia menempati suatu ruang social, waktu dan temapt tertentu, dan dari sini ia memperoleh pengetahuan tentang apa yang berharga dan tidak berharga dalam hidupnya. Lebih lanjut, -masih menurut Jakob- berdasarkan pengetahuan yang diperoleh itu dan bersama manusia lainnya ia menghidupi tatanan yang ada dalam ruang sosial, waktu dan tempat itu, sekaligus mengubah dan menolaknya karena kodratnya yang memiliki potensi-potensi kejiwaan ( rasio, perasaan, hasrat dan kerohanian intuitif yang bebas ).

Pola pikir masyarakat Larantuka tidak luput dari dua kenyataan di atas. Di satu pihak mereka tunduk dan menghidupi adat kebiasaan yang mengatur hidup mereka. Tetapi tidak bisa diingkari bahwa pada kenyataan lain, mereka dinamis dalam kaitan dengan usaha transformasi adat kebudayaan yang memanage pola tingkah laku mereka. Mas kawin dalam budaya perkawinana adat masyarakat ujung timur pulau Bunga ( Flores Timur ) tidak luput dari arus perubahan karena pola pikir manusia pendukungnya berubah dalam waktu yang berubah.

Apakah perkawinan itu? Para antropolog telah berusaha membuat perbandingan antara adat istiadat perkawinan di semua kelompok budaya, namun selalu terjebak dalam dilemma definisi perkawinan itu sendiri. Hal ini dilatarbelakangi oleh kebiasaan yang sangat berbeda dalam sistem perkawinan antara satu dengan kelompok masyarakat lainnya.

Gough ( seperti dikutip oleh Keesing 1981 : 6 ) melihat perkawinan disepanjang masa dan di semua tempat sebagai suatu kontrak menurut adat kebiasaan. Dalam hal ini, yang menjadi sentral atensi Gough adalah dengan perkawinan itu seorang anak memperoleh hak legitimasi aar dapat diterima oleh lingkungan masyarakatnya. Goodenough ( dikutip oleh Keesing 1981 : 6 ) dalam usahanya mencapai definisi perkawinan yang universal, melihat perkawinan itu sebagai suatu transaksi yang menghasilkan kontrak( pria atau wanita, korporatif atau individual, secara pribadi atau melalui wakil ) yang memiliki hak secara terus menerus untuk menggauli saeorang wanita secara seksual. Goodenough memprioritaskan perkawinan itu pada hak untuk menggauli secara seksual seorang wanita baik yang sedang dimiliki maupun yang kemudian menjadi milik orang lain terhadap wanita itu, sampai kontrak itu berakhir dan wanita bersangkutan memenuhi syarat untuk melahirkan anak.

Koentjaraningrat ( 1992 : 93 ) yang melihat perkawinan dari sudut pandang kebudayaan kendefinisikannya sebagai pengatur kelakuan manusia, terutama yang berkaitan dengan kehidupan seksnya. Akibat dari perkawinan ini, menurut Koentjaraningrat, seorang laki-laki tidak dapat bersetubuh dengan wanita lain tetapi dengan satu atau beberapa wanita tertentu dalam masyarakat. Akibat dari perkawinan yang berfungsi sebagai pengatur kelakuan hidup sex manusia itu adalah seorang laki-laki terikat pada ikatan dengan satu atau beberapa wanita saja.

Analisis komparatif para antropolog terhadap definisi perkawinan di atas, dapat dilihat benang merah untuk memahami perkawinan itu sendiri. Perkawinan adalah media yang mengatur tingkah laku kehidupan seksual manusia dalam jangka waktu tertentu ataupun bersifat tetap yang di dalamnya legitimasi anak mendapat tempat dalam kehidupan sosialnya. Dari point-point di atas kita dapat menyusun sejumlah hal penting untuk memahami perkawinan itu:

1.Secara karakteristik, perkawinan itu tidak sekedar hubungan antara individu tapi lebih dari itu adalah kontrak antara sekelompok orang dalam jangka waktu tertentu ataupun tetap.

2.Karena perkawinan itu merupakan transaksi, maka tentu ada peralihan-perpindahan hak antar kelompok.

3.Perkawinan itu tidak harus monogami.

4.Perkawinan itu tidak selalu memprioritaskan hak seorang suami untuk menggauli wanita, karena ada perkawinan antar wanita, peminjaman isteri, love affairs, dan lain-lain ( Keesing 1992 : 6-7 ).

5.Perkawinan itu menjadi alat yang mengatur kelakuan hidup seksual manusia.

Seperti yang diutarakan dalam bagian latar belakang bahwa perkawinan merupakan suatu peristiwa sosial, maka orang yang hendak mengambil inisiatif untuk kawin harus memenuhi syarat – syarat tertentu. Syarat – syarat untuk kawin dalam adat istiadat berbagai suku bangsa dapat dibagi dalam tiga kelompok yakni:

1.Mas kawin ( bride-price ).

2.Pencurahan tenaga untuk kawin ( bride-service )

3.Pertukaran gadis ( bride-exchange)

Pembahasan lebih lanjut akan berfokus pada syarat pertama dalam perkawinan.

Apakah mas kawin itu? Mas kawin merupakan sejumlah harta yang diberikan oleh pemuda kepada gadis dan kaum kerabatnya. Arti dasar mas kawin pada mulanya adalah sebagai pengganti kerugian karena di dalam suatu kelompok kekerabatan yang kecil seseorang warga adalah tenaga potensial demi kelangsungan hidup keluarga itu. Dengan demikian, jikalau sang gadis diambil untuk dibawa kawin harus diganti dengan sejumlah harta karena kerugian atas tenaga kerja ( Koentjaraningrat, 1992 : 103 ). Ide ini sejalan dengan Goodenough –yang melihat perkawinan itu sebagai kontrak yang diadakan antara kelompok-kelompok kekerabatan- di dalamnya memuat arti bahwa ada hak-hak yang diberikan kepada kelompok mempelai pria sebagai tukaran dari barang-barang bermakna simbolis yang diterima mempelai wanita: system barang/uang antaran ( bride wealth ). Barang antaran ini merupakan gejala universal dalam masyarakat Asia Tenggara yang organisasinya mengikuti garis kognatis, tapi tampaknya lebih merupakan transaksi antar keluarga sebagai imbalan bagi kerabat mempelai wanita karena kehilangan tenaga kerjanya dan sebagai upacara terbentuknya rumah tangga baru ( Keesing, 1992 : 7-8 ).

Wilken memandang mas kawin sebagai sejumlah harta yang oleh pihak lelaki diberikan kepada kaum kerabat gadis dengan tujuan untuk memuaskan hati mereka dan meredamkan rasa dendam karena salah seorang gadis di antara mereka dilarikan atau bruidschaking (melarikan anak gadis). Dalam persepsi Wilken, mas kawin adalah hal yang survival dalam masa peralihan antara masyarakat yang matrilineal ke yang patrilineal. Perspektif ini lahir karena Wilken adalah penganut pandangan yang mengatakan bahwa dalam sejarah perkembangan masyarakat manusia terjadi evolusi, yakni perubahan dari tingkat promiskuitas; dari matrilineal ke patrilineal dan parental sebagai tingkat tertinggi. Perspektif Wilken ini didasarkan pada alasan bahwa jikalau tidak demikianmaka setiap lelaki yang hendak mengawini seorang gadis harus datang dan berdiam ( menetap ) di rumah keluarga gadis itu. Menghindari kemungkinan itu maka dirasa perlu untuk melarikannya ke rumah lelaki. Dengan pertimbangan ini maka Wilken berpendapat bahwa bruidschat itu merupakan suatu zoengave ( silih ) dan bukab suatu kooprijs ( harga pembelian ( Hans Daeng, 2004: 4-5 ).

Pada hakekatnya, perumusan arti mas kawin itu tidak mudah. Memang kata-kata local untuk mas kawin dalam masyarakat Indonesia; seperti tukan – bahasa Jawa, pangolin, boli, tuhor – Batak, welin – bahasa Maluku, belis – NTT, semuanya berarti beli, namun tidak begitu saja lantas diinterpretasikan sebagai harga pembelian, karena :

1.Pihak keluarga gadis biasanya memberi hadiah balasan atas mas kawin yang dibawa.

2.Besar kecilnya mas kawin itu sudah digariskan sesuai dengan kedudukan social/keturunan orang-orang yang kawin.

3.Dalam banyak etnik di Indonesia,kedudukan pihak pemberi gadis dianggap lebih tinggi, kerena itu harus dihormati (Daeng 2000 : 10 – 11 ).

4.Adalah tidak biasa dalam masyarakat bahwa pihak pembeli menjual kembali yang dibelinya. Laki – laki yang kawin itu sesungguhnya tidak boleh menjual isterinya kepada orang lain ( Fischer; 1980 : 106)

Terhadap hal ini, dapat dilihat bahwa fungsi mas kawin itu pada banyak suku bangsa di Indonesia adalah sebagai syarat yang harus dilakukan, artinya bahwa perkawinan itu berlangsung dengan syarat harus terlebih dahulu memberikan mas kawin. Sedangkan Fischer ( 1980 : 107 ) lebih melihatnya sebagai tukaran hadiah antar kaum kerabat kearena kebiasaan saling berkunjung untuk memperkuat hubungan baik di antara mereka.

Perkawinan yang mengenal mas kawin umumnya terdapat dalam masyarakat penghasil pangan (tribal). Mengapa system mas kawin atau barang antaran itu karakteristik bagi masyarakat yang melakukan usaha tani atau penggembala dan tidak karakteristik bagi masyarakat pemburu-peramu, atau sistem masyarakat yang lebih kompleks? Sebagaimana yang dikemukakan Koentjaraningrat di atas, dalam hal ini sifat pekerjaan dan surplus produksi merupakan unsur – unsur yang menentukan. Surplus produksi dapat digunakan untuk memelihara prestise dan kegiatan politik member nilai tinggi pada tenaga kerjanya kaum muda pria dan wanita dan kepada reproduksi fisik tenaga kerja. Bagi masyarakat tribal yangmelakukan usaha tani, barang-barang antaran/mas kawin itu keanekaragamannya amat mencolok serta mengandung nilai simbolis, prestisius serta magis; seperti gong kuningan, gelang gading, taring gajah, gigi kucing, cincin kulit kerang yang sudah memfosil, gulungan kain dari bulu burung, perhiasan emas, hewan ( kerbau, kuda, kambing ), dan lain-lain. Betapapun keanekaragamannya, namun dapat dicatat beberapa karakteristik yang sama :

1.Barang – barang itu cukup langka ( sering dari luar daerah ) sehingga tidak mudah diperoleh dengan usaha perorangan.

2.Peredarannya dikendalikan oleh para orang tua, sehingga orang muda harus berbakti dan menempatkan diri di bawah orang tua.

3.Melalui pengawasan itu, para orang tua menguasai pembagian tenaga kerja wanita dan kesuburan wanita, kapasitas yang memungkinkan reproduksi manusia ( Keesing; 1982 : 8 ).

Besar kecilnya mas kawin itu berbeda-beda pada berbagai suku bangsa. Kadang-kadang besar kecilnya harus ditetapkan secara berunding antara kedua pihak yang bersangkutan. Unsur-unsur seperti kedududukan social, kepandaian/keterampilan, kecantikan, umur dari si gadis turut pula berpengaruh dalam penentuan besar kecilnya mas kawin tersebut.

Pihak – pihak yang biasanya memperoleh hak atas mas kawin itu ada tiga kemungkinan :

1.Kaumkerabat gadis dengan dijelaskan lebih lanjut siapakah di antara kaum keluarga itu yang menjadi penerimanya.

2.Si gadis itu sendiri.

3.Sebagian kepada si gadis dan sebagian kepada kaum kerabatnya ( Koentjaraningrat, 1992 : 103 – 104 ).

Pihak – pihak yang biasanya memperoleh hak atas mas kawin itu ada tiga kemungkinan :

1.Kaum kerabat gadis dengan dijelaskan lebih lanjut siapakah diantara kaum keluarga itu yang menerimanya.

2.Si gadis itu sendiri.

3.Sebagian kepada si gadis dan sebagian kepada kaum kerabatnya ( Koentjaraningrat, 1992 : 103-104 ).

Terbayar lunas tidaknya mas kawin itu turut berpengaruh pula terhadap pola menetap atau tempat tinggal sesudah perkawinan. Jika mas kawin tidak terbayar lunas maka pola tempat tinggal yang berlaku adalah uxorilokal ( wajib diam di keluarga isteri ). Sebaliknya, jika dibayar lunas maka pihak suami akan memboyong isterinya untuk menetap di keluarganya ( virilokal ). Namun sering pila terjadi bahwa walaupun mas kawin terbayar lunas namun pola menetap sesudah perkawinan adalah uxorilokal, sebaliknya walaupun tidak terbayar lunas, suami dapat membawa isterinya untuk tinggal di tempat lain ( neolokal ). Hal ini terutama terlihat pada para pegawai negeri yang tidak menetap di suatu tempat ( Daeng, 2000 : 9 ).

Tidak dapat disangkal bahwa walaupun mas kawin itu sesungguhnya sudah ditetapkan oleh adat sehingga setiap pendukungnya harus menaatinya, namun cukup sering juga orang mengadakan perubahan. Mas kawin kian lama kian terdesak oleh zaman. Hal ini tidak lepas dari aspek kemanusiaan manusia yang yang oleh Louis Leahy ( 1998: 281 ) disebut sebagai makluk paradoksal dan penuh dengan kontras. Manusia sekaligus terbatas dan terbuka kearah ketidakterbatasannya, terkondisi dan bebas, kodrati dan budayani, fisik dan rohani, individual dan social, kosmis dan historis. Ia terbatas dan terkondisi untuk taat pada adat yang berlaku dalam masyarakat ( termasuk menghidupi aturan mas kawin ), sekaligus terbuka dan bebas untuk melakukan perubahan atas adat itu.

berlanjut...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline