Lihat ke Halaman Asli

Perkawinan

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

EKSISTENSI GADING GAJAH SEBAGAI MAS KAWIN

DALAM SISTEM PERKAWINAN

MASYARAKAT LARANTUKA FLORES TIMUR

PENGANTAR

Studi etnografi menunjukkan perkembangan yang menggairahkan. Pendekatan etnografis dalam melihat fakta-fakta sosial budaya ataupun keagamaan suatu masyarakat yang beragam serta yang masing-masing memperlihatkan orisinalitasnya yang khas, jelas menginspirasikan suatu gejala baru, yakni bangkitnya “suara yang diam” ke permukaan, setelah sekian lama mengalami marjinalisasi, keterkungkungan, tuduhan sebagai yang “tidak beradab”, primitive dan setumpuk tudingan lain yang mendiskreditkan. Budaya, tradisi dan kepercayaan lokal sering dipandang sebagai entitas sosial budaya yang tidak rasional, kumuh, terbelakang dan cermin kebodohan yang tidak memiliki visi kemajuan.

Persepsi demikian lahir karena bias dari modernisasi. Peradaban modern yang mengklaim diri sebagai yang ilmiah dan universal, sebenarnya memiliki watak penetrative dalam dirinya. Universalisme adalah kebenaran yang dinilai paling rasional sehingga perlu melakukan penyelamatan terhadap manusia dari “peradaban lumpur” itu. Akibatnya, banyak hal dilakukan atas nama kemajuan dan modernitas justru membenamkan manusia ke dalam kondisi ketimpangan, pengingkaran hak asasi dan alienasi.

Sementara itu, ketika pariwisata dianggap mampu menjawabi devisa Negara terbesar di luar sector non-migas, berbagai elemen lantas mengemas sesuatu yang asli –dalam wujud tradisi, budaya, keperayaan asli maupun pelbagai entitas yang dipandang antik lainnya- untuk dikonsumsi wisatawan. Hal ini menunjukkan bahwa ketika modernitas memperlihatkan gemanya, yang asli dan luhur di atas dipandang sebagai penghalang gerak maju. Tetapi ketika pariwisata mampu memperlihatkan perannya, yang asli itu lantas menjadi komoditi yang layak untuk dijual.

Perhatian tulisan ini adalah pada masalah tradisi local masyarakat Lewotoby, sebuah dusun di kecamatan Lewotoby kabupaten Flores Timur provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, berkenaan dengan mahar ( belis ). Pada satu pihak, mahar dipandang mampu menjaga tata krama pergaulan dan menjamin adanya rasa saling menghormati antara masyarakat, namun seiring waktu yang berubah, mas kawin itu dianggap perlu untuk untuk diadakan perubahan, khususnya terhadap materi mas kawin itu sendiri. Tentu saja hal ini bukan merupakan suatu persoalan selama tidak merusak tatanan yang telah dibangun bersama.

Mas kawin yang diberikan dalam lingkungan masyarakat Flores Timur adalah Gading Gajah, suatu hal yang amat fenomenal, karena jika kita menoleh kebelakang maka realita akan berbicara bahwa Flores bukan merupakan habitat spesies gajah. Lantas akan muncul pertanyaan darimana munculnya gading tersebut? Mengapa harus Gading gajah yang digunakan sebagai Mas Kawin? Atau, siapa yang mula-mula memulainya sebagai mas kawin? Apa kedudukannya dalam sistem perkawinan? Dengan melihat kenyataan bahwa Flores bukan merupakan tempat tinggal gajah, tentu akan berakibat pada semakin punah atau menghilangnya gading tersebut. Jikalau demikian, apakah proses perkawinan masih terjadi kalau tidak ada lagi gading tersebut?

Thomas Kedang

Jogjakarta, January 2003

berlanjut...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline