Lihat ke Halaman Asli

Sekolah Swasta yang Tidak Unik, Ditinggalkan Orang

Diperbarui: 23 Juli 2015   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - pendaftaran sekolah (print.kompas)

Masa depan sekolah swasta di berbagai daerah di Indonesia mulai banyak yang “kritis”. Tidak terkecuali sekolah swasta yang berafiliasi dengan aliran atau bernafaskan agama tertentu.

Bahkan, angka jumlah pendaftar di sekolah swasta kelas menengah ke bawah maupun cacah sekolah dari waktu ke waktu cenderung menunjukkan penurunan.

Di lain pihak, situasi yang berbeda terjadi. Banyak sekolah swasta yang dikelola oleh pemodal-pemodal besar atau raksasa property baru bermunculan, baik dikelola oleh swasta tertentu maupun pribadi dengan misi yang samar antara social atau kepentingan bisnis yang kental.

Belum lagi kebijakan pemerintah menggratiskan biaya pendidikan mulai tingkat SD-SMA di sekolah negeri, menghentikan program bantuan guru DPK, menerapkan standar ganda guru negeri dan swasta dalam sertifikasi semakin melengkapi ancaman perkembangan sekolah swasta di masa depan.

Jika sekolah swasta tidak peka atau kurang mampu menangkap kebutuhan stakeholder secara luas, berlalunya era “kejayaan” sekolah swasta akan menjadi keniscayaan. Kita tidak boleh lupa bahwa bapak pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara adalah pendiri sekolah swasta, Taman Siswa.

Selera konsumen saat ini

Harus diakui, saat ini, para orang tua semakin kritis memilih sekolah. Mereka tidak hanya menggunakan alasan fanatisme agama sebagai dasar pemilihan sekolah bagi anak-anaknya.

Parameter itu sudah bergeser. Sekarang para orang tua mulai menggunakan parameter baru. Beberapa pertimbangan itu antara lain a) seberapa kualitas layanan guru/ karyawan, yang bisa mereka berikan bagi anaknya. Indikatornya sederhana misalnya apakah selama ini siswa-siswa puas atau banyak keluhan yang dialamatkan guru/ karyawan, b) sejauhmana kenyamanan lingkungan belajarnya (learning environment), c) sejauhmana fasilitas (learning facility) yang dimiliki, d) program-program sekolah (school programs) yang ditawarkan dan e) tingkat keterjangkauan (accessible), baik dari segi demografi, transportasi, dan finansial.

Sekolah yang inklusif (terbuka bagi siapa saja) lebih diminati ketimbang sekolah eksklusif (hanyak untuk kelompok tertentu). Sekolah inklusif lebih bisa diterima dan menerima keberagaman dalam berbagai aspek dari para siswa maupun pada praktek pembelajarannya.

Bahkan dalam sebuah survey, sebagaimana dikutip Covey (2009), dunia kerja membutuhkan karyawan yang memiliki sifat dan karakter, seperti: terampil berkomunikasi, jujur/ integritas, kerjasama tim, terampil individu, inisiatif, etos kerja, terampil analisa, terampil teknologi, terampil organisasi, dan berpikir kreatif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline