Kultur atau budaya sekolah merupakan salah satu pilar yang penting dalam kehidupan sekolah sekalipun jarang mendapat perhatian dalam persekolahan di Indonesia. Saya ingin berbagi tentang pengalaman Stephen Covey, penulis dan motivator legendaris tentang hal ini, khususnya membangun kultur sekolah terkait dengan kepemimpinan.
Covey (2009), mengamati bagaimana praktek pendidikan kepemimpinan yang dijalankan oleh sebuah sekolah dasar bernama A. B. Combs Elementary, sebuah sekolah negeri, di Raleigh, North Carolina. Dalam studinya, Covey (2009) menemukan bagaimana secara unik sekolah ini membangkitkan budaya kepemimpinan sekolahnya melalui empat (4) dimensi yakni perilaku, bahasa, artefak/ benda purbakala, tradisi/ ritual, dan kisah yang melegenda. Strategi yang dipilih sangat inspiratif dan pada hemat saya dapat diimplementasikan pada sekolah pada jenjang dan berbeda.
Pertama, membudayakan perilaku kepemimpinan. Karena keyakinan dasar akan pengaruh budaya sekolah terhadap daya belajar para siswa maka sekolah ini “mengorbankan” minggu pertama dalam awal pembelajaran untuk tidak mengajarkan pelajaran akademik (inti).
Sebaliknya, waktu tersebut digunakan untuk mengolah bersama guru-siswa materi terkait unsur-unsur kepemimpinan seperti bagaimana menempatkan tanggungjawab pribadi/ bersama , solidaritas sesama siswa, membangun relasi dan kebersamaan antara siswa “lama” dan “baru”, mengkampanyekan makna “hormat pada sesama” (respect to others) dll. Mereka mengistilahkan itu sebagai menyiapkan lahan/ tanah yang subur bagi tumbuhnya tunas-tunas kepemimpinan para siswa pada waktu mendatang.
Kedua, membudayakan bahasa kepemimpinan. Sekolah ini, pada setiap levelnya, senantiasa menggunakan bahasa positif terhadap siswa. “Kami memfokuskan diri pada hal positif, pada apa yang siswa lakukan dan bukan pada apa yang tidak dapat siswa lakukan” ungkap Mr Murriel, sang kepala sekolah. Hal tersebut juga berlaku dalam relasi siswa-siswa dan guru-guru. Prinsipnya, hampir tidak pernah waktu terlewat tanpa menyakini dan mengungkapkan potensi siswa secara verbal. Tentu, selalu mengapresiasi siswa bukan berarti sekolah tidak boleh menghukum siswa karena perilaku indisipliner yang dilakukannya.
Situasi ini nampak berbeda dengan keseharian praktek pendidikan di banyak sekolah di negeri ini. Berapa banyak apresiasi verbal yang bisa diungkapkan guru kepada siswa, guru terhadap guru/ administrator, atau sebaliknya? Sejumlah guru telah menghayati itu dalam puluhan tahun masa baktinya namun acapkali kultur itu belum merasuk lapisan muda guru. Indikatornya sederhana, misalnya, apakah para siswa ini merasa tetap dicintai dan istimewa setelah melalui sekolahnya?