Dalam suatu kesempatan menghadiri tabhisan seorang rahib keagamaan, saya dibuat terkesima sejenak. Awalnya, tatkala seorang calon calon rahib keagamaan itu bertutur bagaimana dirinya menapaki jalan panggilannya. Ceritanya yang lugu, sungguh interesan dan menarik hati saya.
Singkat cerita demikian. Ia, sang calon rahib itu, adalah seorang anak yang dibesarkan dari keluarga yang hebat dan terpandang. Setidaknya, menurut ukuran situasi dan strata sosial masyarakat waktu itu. Sebagai anak yang dibesarkan dari keluarga dengan bibit, bobot, dan bebet teruji, ia berpandangan bahwa sudah seharusnya ia bercita-cita tinggi dan menjadi orang hebat pula. Apa yang diidamkan dan dicita-citakan harus menjadi kenyataan.
Dalam kamus hidupnya, tidak ada kata "kalah". Juara di kelas sudah biasa diraihnya. Pergaulannya luas dan disegani. Dia harus menjadi pemenang. "Kalau ia menjadi pemenang maka hidupnya akan senang dan bahagia," pikirnya. Hanya pencundang yang (mau) kalah. Nafsu dan gairah mengalahkan orang lain seolah hanya menjadikannya pribadi ambius, pongah, sombong, dan tidak peduli dengan orang lain.
Selalu menang, sejak kecil hingga dewasa, tidak membuat dirinya semakin bijak. Pengalaman menjadi pemenang rupanya juga tidak memuaskan dirinya. Dia merasa hampa, hatinya kering, dan dahaga tak ada habisnya. Hatinya gelisah - meronta dan selalu bertanya, "kalau aku selalu menang dan jagoan, mengapa diriku merasa sepi dan sendiri?" sebuah gerakan batin mengguncang hatinya.
Guncangan batin itu membawa buah pertobatan. Kemenangan yang selalu diimpikan berubah arah. Bukan lagi perang untuk mengalahkan lawan atau orang lain. Dirinya, itulah sekarang yang ingin dikalahkannya.
Saat ini dia bahagia. Dia telah mengalahkan diri bagi orang lain. Membiarkan dirinya sendiri kalah dan menerima Tuhan yang menundukkan hatinya adalah kemenangan sejati yang dirindukan.
Bermata dua
Dari jaman adam-hawa, menang atau kalah selalu ada. Jaman ini, tak kalah gila. Harta, tahta, dan kuasa telah menjadi bahasa simbolik sosial ukuran kemenangan. Kalah adalah aib. Benarkah demikian yang sebenarnya?
Sejak kecil manusia sejatinya telah belajar bahasa "kalah" dan "menang". Rupanya berbeda meski esensinya sama. Tengoklah masa kecil kita. Banyak anak kecewa dan putus asa karena kekalahan. Hidupnya seolah tak berharga, kehilangan keyakinan dan harapan.
Pengalaman kalah dialami seorang anak dialami sejak mereka masih kecil. Masih ingatkah tatkala kita belajar merangkak dan berjalan? Anak yang terjatuh saat berjalan biasanya menangis. Mungkin dia merasa kalah, gagal berjalan menapaki masa depan di tanah lapang.
Namun demikian, biasanya belajar tak mengenal titik terminal. Uluran tangan orang dewasa (guru, sahabat, kenalan, teman matau lawan) menolongnya bangkit dan kembali berjalan. Demikian, pengalaman itu akan berulang dan setiap anak menerima uluran tangan orang dewasa, merekan akan tersenyum sebegitu rupa. Senyuman yang keluar dari hati yang tidak bisa diterjemahkan oleh kelu lidah yang tak bisa mengeja.