Tak ada selesainya bicara soal nikah. Apalagi oleh pemuda. Lebih-lebih keluaran dari pesantren yang siap mengarungi hidup berumah tangga. Dalam pikirannya beraroma indah. Banyak rasa pula. Bahagia yang ada dalam pikirannya. Hidup berpasangan dengan istri idaman apalagi shalehah. Tumbuh harum mewangi dari cinta. Seakan dunia menjadi saksi kisah cinta bersama belahan jiwa. Kedua mempelai hidup tanpa membuang-buang waktu dengan kata perpisahan. Dan mereka selalu menjaga cinta yang mereka bina. Tanpa memikirkan nestapa yang nantinya akan diterima.
Persepsi seperti ini ada benarnya juga, sebab selain sunnah Rasul, juga manfaatnya luar biasa. Manfaat yang dapat dirasakan dan tercatat sebagai ibadah yang pahalanya luar biasa. Yang paling penting di sini manfaat seperti apa, sehingga tercatat sebagai ibadah yang pahalanya luar biasa?
Pertama, titipan Allah yang berupa anak.
Dengan sebab anak, orangtua akan menjadi hamba yang dicintai oleh Allah. Kok bisa demikian? Seperti halnya majikan yang memasrahkan titipan berupa sawah, cangkul, pupuk dan lain sebagainya untuk dirawat dan dijaga. Lalu hamba tadi mengolah sawah dengan tidak benar dan berbuat kecerobohan. Mungkinkah tuan itu akan senang melihat semua itu? Begitu pun dengan titipan Allah. Allah menitipkan alat kelamin, air mani, tulang punggung dan lain sebagainya. Allah menitipkan rahim untuk menampung anak yang dikandungnya. Jika semua itu titipan itu digunakan bukan pada semestinya. Mungkinkah Allah akan cinta pada hamba tersebut?
Dengan sebab anak membuat dirinya dicintai oleh Rasulullah. Karena beliau sangat senang sekali kepada umat yang banyak. Umat yang banyak penyebabnya adalah banyaknya keturunan yang suatu saat nanti akan menjadi pejuang Allah. Lebih banyak pejuang lebih baik. "Wanita yang paling baik ialah wanita yang banyak anak dan banyak kasih sayangnya" (HR. imam Baihaqi dari Abu Adiyah ash-Shadafi). Bahkan Rasulullah juga menegaskan, kalau wanita yang hitam tapi banyak anak itu lebih baik daripada wanita cantik tidak beranak. Sebagaimana hadisnya Ibnu Hibban dari Bahaz bin Hakim.
Dengan sebab anak, orangtua bisa mengharap berkah doa anak setelah meninggal. Karena semua amal manusia akan terputus ketika orang itu meninggal, kecuali doa anak shaleh. Rasulullah bersabda, "Setiap amal anak Adam itu terputus kecuali tiga perkara. Yaitu doa anak shaleh kepada orangtuanya, amal jariyah dan ilmu manfaat."
Dan dengan sebab anak pula, orangtua bisa mencari syafaat dari anak yang meninggal saat kecil. Hujjatul Islam Imam Ghazali menceritakan dalam kitab Ihya' Ulumuddin menyebutkan, ada seorang pemuda yang enggan untuk menikah. Dia mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Saat malam tiba, pemuda ini bermimpi berada di satu tempat yang saat itu orang-orang merasa kehausan. Tak tahu kemana harus mencari pertolongan, karena waktu itu semua orang juga kebingungan. Tiba-tiba datang anak kecil membawa air minum dan meminumkan kepada orang-orang. Kemudian pemuda ini meminta air kepada anak kecil. Ternyata anak ini tidak mau memberikan. Dengan alasan karena pemuda ini bukanlah ayah dari anak ini. Tiba-tiba pemuda ini bangun dan menawarkan dirinya untuk kawin.
Kedua, membentengi godaan nafsu dan syahwat. Kita tahu bahwa manusia dihiasi dengan nafsu syahwat. Ketika beranjak dewasa manusia akan menghadapi godaan syahwat yang luar biasa. Agar manusia terhindar dari godaan ini, agar asmara tidak kecolongan rayuan syetan yang lebih leluasa menjinakkan akal ketika jiwanya terjerat cinta. Karena bagaimana pun simalakama syetan tidak sulit mengelabuhi pertahanan manusia kala jatuh cinta, maka saran yang terbaik adalah dengan kawin.
Ketiga, menetramkan jiwa. Kita diciptakan tidak lain untuk beribadah kepada Allah. Dengan menikah akan terjadi satu momen bersanding dengan istri idaman, bersenda gurau dan bermesraan. Hal ini dapat memicu adanya ketenangan jiwa. Jiwa yang sehari penuh disibukkan dengan pekerjaan, memuat beban pikiran yang tak kunjung selesai. Semua penat di dada bisa hilang dengan bersenda gurau dengan istri idaman. Jika sudah hilang semua kesibukan, maka manusia akan lebih fokus dan lebih tenang ketika ibadah. Oleh karena itu, manusia bisa menjinakkan jiwanya dengan duduk bersama istri idaman untuk menenangkan saat beribadah.
Namun bagaimana pun penulis di sini tidak untuk membuat presepsi untuk melangsungkan pernikahan tanpa memikirkan jangka panjangnya, tapi setidaknya menimbang lebih lanjut lagi dan mempersiapkan dengan matang dhahir dan bathin. Pasalnya, nikah juga memiliki bahaya yang sangat besar pula. Diantanya, keberadaan istri dan anak dapat mengganggu dari mengingat Allah dan tidak khusyuk lagi dalam beribadah. Memunculkan bermacam-macam gangguan yang bisa menenggelamkan hatinya. Membuat siang dan malamnya habis. Akibatnya, tidak ada waktu untuk merenungkan akhirat dan mentiadakan persiapan sebangsa ukhrawi. Jika memang tadi disebutkan kalau anak dan istri adalah suatu anugerah, maka jangan sampai anugerah itu membuat lupa dan lalai dari tujuan utama kita diciptakan, yaitu ibadah. Karena sekalipun anugerah anak dan istri dan ibadah merupakan kebaikan semuanya, tapi jika salah satu kebaikan itu dapat menggagalkan atau bahkan melemahkan dari kebaikan pula, maka hal seperti ini diharamkan oleh syara'.
Diantaranya lagi yaitu kelalaian dalam menjalankan hak-hak istri. Setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban nantinya di akhirat. Suami adalah penggembala. Dan akan bertanggungjawab pada gembalanya. Orang yang lari dari keluarganya seperti budak yang meninggalkan tuannya. Shalat dan puasanya tiak diterima sebelum mereka kembali. Barang siapa yang melalaikan hak kaum wanita, sekalipun ia berada di tempat tinggal bersama istrinya, maka seperti melarikan diri. Ibrahim bin Ad-Ham enggan untuk menikah.
Dengan alasan karena pertanggungjawaban nantinya akan di pertanyakan. Beliau mengatakan, "Saya tidak ingin memperdayakan wanita dan saya tidak memerlukan mereka." Selain Ibrahin bin ad-Ham, Bisyr juga sejalan pikirannya. Beliau mengatakan, "Andaikan saya berkeluarga banyak, saya khawatir akan menjadi penjual kulit pada jembatan."