Lihat ke Halaman Asli

Mereka Hanya Kurang 'Beruntung'

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah bukan hal yang tabu lagi, jika melihat media dengan pemberitaan KORUPSI, baik media elektronik maupun media cetak. Hal inipun tidak menjadi pembicaraan yang “hot” dikalangan pejabat atau orang- orang terkemuka di negeri ini. Kita sudah sangat mudah menjumpai pembicaraan intentang para koruptor- koruptor kita di negeri ini. Mulai dari tukang becak, tukang cuci, ibu rumah tangga, pegawai swasta, anak sekolahan, mahasiswa, PNS, dan masih banyak yang lainnya. Hmmm, sebenarnya hal ini sangat disayangkan, karena hal yang semestinya menjadi “aib” dan tidak pantas untuk diumbar- umbar, kini menjadi perbincangan harian di tengah- tengah masyarakat kita. Namun, di sisi lain hal ini juga sangat tidak mungkin di tutup- tutupi, di karenakan sistem pemerintahan yang transparan. Lantas bagaimana kita menyikapai hal ini?? Saya fikir, untuk hal ini kita kembalikan pada pandangan kita masing- masing.

Namun di sini saya tidak ingin membahas itu, melainkan ingin berbagi sedikit cerita tentang koruptor- koruptor kita yang kurang “beruntung”. Yah ada hal yang menarik dari diskusi saya di kelas kewarganegaraan beberapa waktu lalu, entah apa materi hari itu, yang teringat jelas diingatan saya adalah tentang perkiraan biaya yang dikeluarkan para calon kepala daerah pada saat pilkada, sebenarnya ini sangat lucu, bahkan dosen saya memaparkan banyak hal hingga pada ujung kata- katanya “lalu, darimana mereka dapat mengembalikan uang yang telah di keluarkan jika tidak korupsi sontak saja seisi kelas tertawa dan mengiyakan kata dosen tersebut, lalu tiba- tiba saja salah seorang meneriakkan “yang kedapatan korupsi itu hanya kurang beruntung pak” dan seisi kelas pun kembali tertawa dan mengatakan “setuju” di tambah lagi dengan tanggapan positif dari dosen sambil mengacungkan dua jempolnya.

Sebenarnya jika kita ingin menyelidiki lebih jauh lagi, hampir setiap orang pernah melakukan korupsi namun dalam praktiknya itu berbeda- beda,ada yang melakukannya dengan “luar biasa” dan ada juga yang melakukannya dengan “luar binasa”. Korupsi yang dilakukan dengan “luar biasa” sebenarnya dalam pandangan saya merupakan korupsi yang masih dalam garis yang wajar saja, yah mungkin karena beberapa faktor,salah satunya; tidak dalam hal “merugikan”. Sedangkan korupsi yang dilakukan dengan “luar binasa” ini bagi saya sudah di luar garis kewajaran, yah salah satu sebabnya karena telah “merugikan” yang akhirnya membinasakan orang lain. Yah walaupun kedua- duanya sudah jelas- jelas salah.

Tapi lihatlah, realita yang ada di sekitar kita, yang sekarang sedang dalam proses audit BPKkan diduga terlibat proyek yang dalam jumlah besar, atau para aktor senayan yang sedang dalam pemeriksaan di KPKpun memilik kasus yang sama. Dan mereka inilah yang kurang “beruntung” karena telah melakukan korupsi yang “luar binasa”, melakukan korupsi yang telah membinasakan banyak orang, hingga tidak dapat disembunyikan lagi. Dan akhirnya hanya akan berujung pada sel besi yang sangat dingin itu.

Sangatlah miris melihat mereka yang kurang “beruntung” itu, dengan pendidikan yang tinggi, wajah- wajah yang tampan nan penuh wibawa, serta harta yang sebenarnya cukup namunharus menikmati dinginnya sel tahanan hanya karena kasus “korupsi” yang sudah sangat jelas keharamannya, belum lagi jika jumlah yang menjebloskan para koruptor- koruptor ini ke dalam bui sudah bukan lagi bilangan yang lazim terdengar di telinga kita ini, rasanya sangat kecewa, lantas apalah arti dari semua pendidikan yang selama ini tempuh atau wajah yang sangat kontras dengan kelakuan. Naudzubillah mindzalik.

Cukuplah mereka yang kurang “beruntung” saat ini saja yang merasakaan nikmatnya hasil korupsi, sudah cukuplah deretan panjang nama- nama para koruptor-koruptor di negeri kita ini. Ukirlah keberuntungan yang akan membuat orang- orang di negeri tersenyum bangga dan biarkanlah keberuntungan itu menjadi kisah teladan untuk anak cucu kita kelak, bukan lagi cerita tentang “mereka yang kurang beruntung”.JJJAA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline