Lihat ke Halaman Asli

Thio Hok Lay

Penulis Buku 'Mendidik, Memahkotai Kehidupan'

Hakikat Sanksi dalam Proses Belajar

Diperbarui: 6 Oktober 2020   07:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi gambar: cnnindonesia.com

HARI-hari ini, ungkapan pepatah "Seganas-ganasnya harimau tak akan memangsa anaknya sendiri; betapa pun galaknya orangtua, tidak akan tega mencelakakan anaknya sendiri", rasanya perlu untuk dimaknai ulang.

Di penghujung pekan bulan Agustus lalu, publik kembali dibuat kaget, sedih, kecewa, marah campur aduk jadi satu saat menyimak berita perihal kejadian orangtua yang melakukan penganiayaan terhadap putrinya sendiri (8 tahun), yang masih duduk di bangku kelas 1 SD hingga menjumpai ajal, dan dikubur di Lebak, Banten. Dipicu oleh sang putri yang dianggap susah diajar via pembelajaran dalam  jaringan (daring) selama masa pandemi, menjadikan orangtua kesal dan gelap mata.

Terkait upaya pemberian sanksi terhadap anak oleh orangtua, dulu masih berlaku nasehat, "Diujung rotan ada emas". Mengingat konon lewat rotan yang diayunkan oleh orang tua, dianggap mampu mengusir rasa malas, dan menjadikan semangat belajar anak kembali menyala. Namun demikian, di era kemerdekaan dalam belajar seperti saat ini, rasanya nasehat tersebut sudah tidak lagi relevan.

Jamaknya fenomena aksi kekerasan; baik kekerasan fisik dan psikis yang diterima dan dialami oleh anak (murid) saat proses belajar di rumah dan atau di sekolah; berupa bentakan dan pemukulan oleh oknum orangtua dan tenaga pengajar yang tak bertanggungjawab, senyatanya merupakan ekspresi pengingkaran atas hakekat dari merdeka belajar; yang semestinya berlangsung tanpa paksaan, menyenangkan, dan membebaskan

Pesan Neil Kurshan dalam  Coloroso (2006), dalam bukunya berjudul "Penindas, Tertindas, dan Penonton" -- Resep Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah hingga SMU; perlu mendapatkan perhatian bersama secara serius bahwa tugas terpenting kita sebagai orangtua adalah membesarkan anak-anak yang akan menjadi orang-orang yang baik, bertanggungjawab dan peduli serta membaktikan diri untuk membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih adil dan penuh kasih. Bagi kita dan anak-anak kita, kita dapat menghiasi sebuah dunia yang lebih hangat dan lebih baik yang akan menyingkirkan kegelapan serta isolasi.

Dalam artikel yang berjudul "Proses Belajar yang Menyenangkan dan Mencerdaskan" (Wawasan, 18 Desember 2017), penulis mengutarakan bahwa setiap bentuk "kekeliruan" dan "kenakalan" yang dilakukan dan dijumpai oleh anak (murid) selama proses belajar, sejogyanya ditempatkan dan dimaknai sebagai kesempatan bagi anak (murid) untuk melakukan perbaikan sikap dan karakter.

Perhatikanlah proses  belajar yang berlangsung di Taman Kanak-Kanak (TK); suasana belajarnya begitu luwes dan hidup. Penuh dengan dinamika; diwarnai dengan nyanyian, tarian dan tawa. Tak ada istilah kata keliru dan anak nakal dijumpai di sana; yang ada adalah anak (murid) yang sedang dalam tahap proses belajar, bertumbuh, dan berkembang.

Paralel dengan pernyataan John Madden, bahwa peran dan tugas pembimbing memang harus mengamati yang tidak ingin ia lihat dan mendengarkan yang tidak ingin ia dengar. Terkait dengan proses pendampingan belajar anak (murid), orangtua dan guru sebagai pembimbing membantu untuk menemukan; mengoreksi dan mengevaluasi, guna selanjutnya menumbuhkembangkan dan menyempurnakan setiap potensi dan keunikan personal yang dimiliki anak (murid).

Hakikat sanksi

Sekolah sebagai institusi pendidikan yang hadir di tengah-tengah masyarakat senyatanya merupakan bagian dari jawaban atas cita-cita bangsa ini; sebagaimana yang terumuskan dalam pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945, alinea ke empat; "... memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia..."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline