Lihat ke Halaman Asli

Mawa Nahra

Direktur di PT Minyak gas dan bumi Alias depot bensin eceran

Seperti dendam, Pelestarian tokuwela harus dibayar tuntas.

Diperbarui: 15 Oktober 2022   19:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bulan September kemarin, saya berkesempatan bertemu dengan seseorang yang sangat berperan penting atas suksesnya Event tahunan hari jadi kampung igobula, salah satu kampung di kabupaten Halmahera Utara.

Event itu juga menjadi menarik sebab,mempertemukan dua sultan yaitu Ternate dan Tidore, momentum itupun dianggap sangat berharga. Karena mempertemukan dua orang Sultan sekaligus Pasalnya Belum pernah terjadi dan peristiwa tersebut ini menjadi sebuah catatan sejarah untuk dikenang oleh warga desa Igobula dan Galela pada umumnya

Ko hi ribano begitu sapaan akrab saya ke beliau, orang dibalik layar atas suksesnya peristiwa bersejarah tersebut, beliau menceritakan ke saya rangkaian kegiatan yang mereka lakukan, salah satunya keinginan mereka menampilkan Tokuwela.

Suksesnya rangkaian kegiatan tersebut tidak mudah ketika mereka menyadari kalau menemukan penutur nyanyian Tokuwela dalam bahasa galela untuk mengiringi atraksi sulit dan menjadi tantangan tersendiri bagi panitia.

Bagi yang belum tahu, Singkatnya tokuwela adalah salah satu jenis tarian khas Galela di kabupaten Halmahera Utara dan sangat jarang dimainkan hari ini.

Tokuwela masuk ke dalam pencatatan warisan budaya takbenda Kemendikbud dengan domain seni pertunjukkan. Kenapa harus dicatat Kemendikbud ? Karena program warisan budaya Takbenda selanjutnya disingkat WBTB ini merupakan bagian dari program Intangible Heritage  yang di agendakan oleh UNESCO selaku lembaga tertinggi yang mengurusi bidang kebudayaan.

Sejak dicatat, tokuwela seolah-olah berada dalam rumah kaca, terus dibangga-banggakan tapi minim upaya pewarisan kepada generasi selanjutnya.

Bagi saya, selain mengapresiasi langkah pemerintah daerah mencatat WBTB. Kelemahan klasik dari program ini yang tak kalah penting adalah Pemerintah daerah Halmahera utara kita terkesan fokus mencari pengakuan dan legitimasi pemerintah pusat atas suatu karya budaya, dari pada melestarikan materi budaya itu sendiri.

Bagaimana mungkin Tokuwela yang telah dicatat Kemendikbud ini bisa dilestarikan jika penutur nyanyiannya saja Masih sedikit karena minimnya pewarisan kepada generasi penerusnya. Mestinya, upaya pelestarian juga menjadi perhatian khusus karena sejauh ini belum terlihat apa yang dibuat dalam hal pemajuan kebudayaan. jika tidak, pencatatan terhadap WBTB kita hanya sia-sia belaka.


Menurut saya, tidak perlu mengajari pemerintah daerah dalam hal ini dinas terkait soal pemajuan kebudayaan, tapi apa salahnya jika saling memberi kritik demi tetap terjaganya ingatan masa lalu dimasa depan.

Pendataan, pencatatan hingga penetapan warisan budaya takbenda harus menjadi pintu masuk ke ruang yang lebih luas dari pemajuan kebudayaan, agar tidak terkesan seperti bendahara kelas yang mencatat uang senin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline