Lihat ke Halaman Asli

Tak Baik Menjadi Orang Baik

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa minggu ini, tak banyak pelajaran yang kudapatkan. Satu-dua kali pelajaran yang kuterima terasa menyakitkan. Mungkin benar kata orang-orang diluar sana, di dunia ini tak ada tempat untuk orang baik. Orang baik hanya ada di surga, semesta tanpa akhir. Di saat-saat seperti ini, kata-kata bijak Rabindranath Tagore selalu menghiburku. Melalui Nikhil, beliau berbicara kepadaku bahwa kebahagiaan dan kesedihan kita hanya membebani kita bila kita hanya mengumpulkannya saja. Menyimpan dan menumpuk kebahagiaan dan kesedihan kita sama-sama tak ada manfaatnya.

Ya, tak ada manfaatnya memang. Hanya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mengawang-awang di hati dan pikiran saja. Lupakan ! Everything is gonna be ok ! Tak banyak yang dapat aku ceritakan pada Senja, hanya gumpalan-gumpalan kegelisahan dalam jiwa. Apakah salah menjadi orang yang mencoba baik dan menghormati ?Pelajaran hari ini, mereka yang bekerja akan kembali bekerja, mereka yang berkomentar akan kembali berkomentar sambil mengacungkan jari telunjuk mereka dan mereka akan tersenyum ketika kita benar-benar bekerja dan menghamba.

Apakah aku harus menyelesaikan semua ini ? Mencari jalan dengan keluar dari kungkungan kekerabatan yang serba rumit ini ? Serba salah memang, diombang-ambingkan oleh perasaan sendiri. Pelajaran hari kemarin, seringkali kita lebih berkehendak dengan pikiran kita. Namun tak banyak dari kita yang berkehendak dengan hati. Bukankah nurbuat Tuhan terpancar di setiap hati manusia ? Memang, pikiran selalu menguntungkan, tapi hati selalu memberi kita kebenaran.

Pelajaran yang lalu, apalah arti hidup ini ? Ketika kesombongan menjadi jeruji bagi jiwa-jiwa kita. Memang tak ada yang salah dengan teori eksistensi manusia demi sebuah jati diri. Patut kita renungkan lagi, ketika eksistensi menjadi benih-benih api ego semata. Lalu membara dan membara menjadi kobaran api besar bernama kesombongan itu sendiri.

Banyak orang yang berkata melalui mulutnya, banyak orang yang berbicara dengan pikirannya, dan banyak orang yang bersuara dengan segala tindakannya. Namun tak banyak orang yang berkata, berbicara, dan bersuara lantang dengan hatinya. Ah, apalah arti kegelisahan dalam hati. Aku tak pernah membenci si A atau si B, manusia-manusia itu. Aku hanya membenci sifat yang dimilikinya, bukankah semua manusia terlahir dari bayi-bayi mungil yang selalu tersenyum manja ?

Apa pelajaran yang akan aku dapatkan di hari esok, aku pun tidak tahu. Namun satu yang kutahu, aku telah benar-benar siap untuk semua ini sebelum aku mengetahuinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline