Lihat ke Halaman Asli

Mata Wayang

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Angin malam penuh bau menyengatasap pedupaan. Membaur diantara tiap tarikan nafas manusia. Kental dengan nuansa mistik, tanpa seorangpun berani mengusiknya. Tempat itu lebih mirip pendopo, hanya tidak luas. Pilar-pilar kayu yang telah lapuk seolah menjadi saksi akan kebisuan orang-orang yang berkerumun disana. Tak ada yang berani angkat bicara. Yang dapat terdengar hanyalah gesekan daun dari beberapa pohon beringin besar di sekitar pendopo. Apa yang sedang mereka lakukan di tepi hutan ?

Malam itu sangat berbeda dari malam-malam sebelumnya. Tak pernah sesunyi ini. Tak pernah semuram ini. Di tempat mirip pendopo itu, hanya seorang yang tampak menonjol dengan tutup kepala batik, dari pinggul sampai kaki, mengenakan selembar jarit motif parang rusak yang terikat rapih. Pasalnya, tidak ada yang berpakaian semewah itu di pendopo. Telah lama lelaki berjarit parang rusak itu berdiam diri pula. Kemudian ia beranjak dari duduk setelah menghela nafas panjng dan pergi menuju ke arah luar. Disempatkannya melihat sosok jasad yang terbaring kaku berselimut rangkaian bunga sebelum pergi. Siapa jasad itu ? Entahlah. Kemana lelaki itu akan pergi ? Entah ...

Terhuyung-huyung ia melangkah, mendekat ke arah batu cadas hitam dan berhenti setelah mendengar kecipak air di antara pohon-pohon tinggi di tengah belantara. Matanya nanar. Menatap kosong, perlahan-lahan menitikkan air mata. Sambil terisak, lelaki itu mendekat ke arah sungai. Menembus gulita.

**

“Ayo gek lis. Bangun!” teriak seseorang diluar sambil menggedor-nggedor pintu kamarku. Brak ! Brak ! Kira-kira seperti itulah bunyinya. Ah, mau tidak mau memang aku harus bangun agar suara itu tidak mengganggu lagi. Jujur saja, aku tidak menyukai suara-suara keras, membuat pekak telinga saja. Simbok selalu seperti itu. Padahal sudahku bilang baik-baik agar jangan lagi menggunakan bentakan, apalagi gebrakan. Ia memang keras kepala.

Saban hari pasti menggumam tidak karuan. Entah apa yang ia gerutui. Saat itulah aku merasa bosan di rumah, lebih baik keluar dan ngelmu dengan jagad raya. Mencari makna kehidupan yang sesungguhnya, pikirku.Satu yang kutahu dari guru manusia ini, tidak pernah banyak bicara, meskipun aku sebagai murid sering mencabik badannya sekalipun. Kepalanya diselimuti udara dan angin yang tak pernah teratur, badannya adalah tanah dan gunung-gunung yang menjulang hingga ke langit. Tangannya adalah tumbuhan yang mengakar dalam setiap otot-otot yang kuat. Kakinya terus berputar, membuat magnet besar di alam raya ini. Ketika ngelmu jagad inilah aku sering menjumpai diriku seorang diri, ataukah memang aku yang ingin menyendiri. Entahlah. Walau aku juga bukan seseorang yang bersifat selektif dan menutup diri dari pergaulan manusia.

“Kehidupan seperti apakah yang kamu inginkan ?” tanya seorang kawanku pada suatu kesempatan.

Sejenak aku berfikir, “Hidup bebas, bebas seperti hewan di alam liar. Kehidupan manusia terlalu terbatasi, dijerat tali-tali aturan pada tangan, kaki, dan pikiran kita.

“Itu artinya, kamu membenarkan orang-orang yang ingin berbuat jahat ?”

“Sampai matipun tak akan pernah kubenarkan para bajingan itu.”

“Lantas ?” tanya ia dengan mimik muka keheranan.

“Cukup aturan agama yang membelenggu tangan, kaki dan pikiran kotor manusia. ”

“Bukankah aturan negara dan aturan-aturan di masyarakat dibuat berdasarkan aturan agama ?”

“Kata siapa ? Kamu yakin kalau negara dan masyarakatnya beragama ? Kalau memang mereka beragama, kenapa banyak manusia mati ditangan manusia lain ? Mereka menghakimi dan membunuh dengan pembenaran atas nama agama.” sejenak kuhembuskan nafas. “Apakah itu tabiat agama sesungguhnya ?” tandasku.

Sejurus kemudian ia hanya diam, dari sorot matanya aku tahu bahwa ia sedang kebingungan. Mungkin sedang mencari pertanyaan lain ataukah sedang mencoba memahami pernyataanku. “Tapi kenapa harus mirip hewan di alam liar ? Bukankah manusia adalah manusia di alam teratur ?” lanjutnya.

“Pada intinya, mereka yang mempunyai akal dan budi itu seharusnya tidak perlu banyak aturan. Seperti hewan mengatur dirinya menurut dengan hukum alam, manusia-pun seharusnya mengatur dirinya menurut aturan agama.” tandasku.

**

Perputaran roda kehidupan membuat aku sadar bahwa didalam diri ini telah tumbuh benih-benih jiwa seorang pemberontak. Romo dan simbok sering mengelus dada ketika mereka mencoba mengguruiku. Hanya rasa hormat pada mereka masih tetap terjaga sampai saat ini. Walau sering tak kuhiraukan kata-kata mereka. Karena apa yang ada dalam pikiranku selalu bertolak belakang dengan apa yang mereka pikirkan.

Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk pergi menyendiri ke pelosok gunung Salirang di Tenggara. Sebelumnya memang aku sudah meminta izin pada Romo dan Simbok, bukan restu. Hanya kata-kata kasar yang Simbok berikan.

“Anak tak tahu malu !! Masih kurang apa kamu dirumah ini ??!!” bentak Simbok. “Sudah bertahun-tahun aku mencoba sabar mengasuhmu, dasar anak keterlaluan !! Kamu mau jadi apa diluar sana ??!! Mau jadi bajingan ?? HA !! Sudah pergilah !! Anak tak tahu diuntung !!” tambahnya sambil berlinang air mata. Romo hanya diam dan lebih memilih menenangkan Simbok.

Aku sudah muak dengan segala aturan di rumah. Mereka selalu menuntut tetapi tidak pernah memberikan sesuatu yang lebih berharga daripada tuntutan mereka. Dalam urusan ini aku akan membenarkan segala tindaktandukku. Tetapi aku sadar bahwa sesungguhnya rasa ingin tahu dalam benak ini yang menuntunku melangkah lebih jauh ketimbang sekedar rasa muak dan kebosanan saja.

Aku ingin mencari makna kehidupan dengan jalan hidupku sendiri. Dan hidup selayaknya bersanding suratan takdir Sang Gusti Dewata Mulya Putra. Sebelum pergi, kutinggalkan secarik kertas, sebagai ijin akan kepergianku.

Di beranda ini,

angin tak kedengaran lagi.

Langit terlepas

ruang menunggu

malam hari

Tudung belanga telah kukayuh sebelum malam tiba.

Kudengar angin mendesak ke arah kita.

Di seruling,

bernyanyi baris dari rubaiat.

Di luar,

detik dan bahtera telah berangkat.

Sebelum bait pertama,

sebelum selesai kata.

Sebelum hari tahu,

kemana akan tiba.

Akupun tahu sepi kita semula

Bersiap kecewa,

bersedih tanpa

kata-kata.

**

Rentetan air deras yang turun mengguyur tanah membuat diriku berlindung ke gua di kaki gunung. Gua itu sangat gelap, hingga aku tak bisa melihat dan bergerak lebih dalam lagi. Di mulut gua kucari beberapa ranting kering untuk membuat perapian. Aku tak mau berbasah-basah seperti ini.

Sudah empat musim berlalu. Sudah dua purnama, menyibak hutan belantara. Bertarung dengan harimau lapar, dipatuk ular hijau pepohonan sudah biasa bagiku. Aku pernah terjatuh dari tebing ketika kupanjat dan ternyata aku salah mengambil kuda-kuda pijakan. Enam hari aku tak sanggup bergerak, beruntung aku terjatuh didekat sebuah mata air. Perjalananku tak pernah berakhir, aku ingin menyerah saja. Harus sejauh apa aku mendaki tebing curam ? Harus sekuat apa kakiku melintasi pepohonan ?

Musim bediding selalu membuat sungai-sungai di tengah hutan kehabisan air. Hewan pun tak ada yang ingin keluar menjumpaiku. Inilah masa yang susah bagi diriku. Di tengah hutan, bertahan hidup sendirian. Angin lembah bertiup kencang ketika aku memaksa untuk terus berjalan ke puncak gunung. Aku dapat merasakan lemah denyut nadiku, kemana otot-otot yang dahulu kuat mencengkram disetiap aliran darah. Kutopang badanku dengan patahan kayu jati yang kutemukan di tengah perjalanan. Kapan aku mati ? Pertanyaan itu selalu membayangiku disetiap langkah.

Bulan sedang purnama ketika aku menjejakkan kaki pada bongkahan batu cadas hitam di tepi sungai kering. Lelah menyibak belantara yang tiada habisnya, inilah ujung jalan dari segala pencarian. Meski pada akhirnya aku tahu, aku tak akan pernah menemukan apa-apa dan aku tak akan pernah kehilangan apa-apa. Kini, setiap hembusan nafasku tlah terbaur dengan nafas sang guru, jagad raya. Tiba saatnya merebahkan segala kehidupan yang pernah dititipkan padaku. Kini saatnya kembali ke alam keabadian. Nafas telah terhenti ...

**

Purnama telah berlalu, kini sang rembulan membentuk cahaya tipis menyerupai sabit.Cahayanya temaram. Seolah sedang ikut berbela sungkawa, melihat jasad manusia yang terbaring kaku pada tikar pandan berselimut bunga. Setiap manusia ditempat itu tampak kumuh. Dari pakaian mereka, mereka mirip cantrik -- anak murid pandita. Tak sepatah kata-pun keluar dari mulut mereka. Nafas setiap manusia menyetubuhi asap pedupaan.

Orang dengan tutup kepala dan berjarit itu berada paling dekat dengan jasad di atas tikar pandan. Dari busana yang ia kenakan, semua orang disini pasti tahu bahwa lelaki itu adalah seorang pandita. Ia beranjak dari duduknya, menghidupkan dupa, lalu pergi menembus belantara. Lelaki itu berjalan menuju ke arah sungai di tengah hutan.

Air matanya meleleh tak terbendung. “Terlalu jauh... dirimu mencari makna kehidupan ...” ucap lelaki itu sambil terisak. “Apa yang pernah kau rasakan, apa yang pernah kau lihat, apa yang kau pernah dengar, disitulah hakikat hidup yang sesungguhnya.” sejenak diusapnya butir-butir air yang bergulir deras di pelupuk mata. ”Yang kau cari selama ini adalah cinta. Cinta kepada semua yang kau temui selama ini selama perjalanan hidupmu, Anakku ...”

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline