Lihat ke Halaman Asli

Enrique Justine Sun

Technical Information Student • Psychology and Philosophy Enthusiast • Organizational Activists

Kupas Tuntas Korupsi: Warisan Budaya atau Penyakit Politik???

Diperbarui: 15 Agustus 2024   18:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dibuat sendiri menggunakan DALL-E

 Korupsi, sebuah penyakit sosial yang membusukkan tatanan kehidupan bermasyarakat, sudah lama menjadi momok menakutkan bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Fenomena ini seringkali dikaitkan dengan dua hal utama: warisan budaya dan penyakit politik. Lantas, manakah yang lebih dominan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melakukan perjalanan panjang menelusuri sejarah korupsi, baik di Indonesia maupun di dunia. 

Jejak korupsi sudah terendus sejak zaman peradaban kuno. Di Mesir Kuno, misalnya, praktik suap-menyuap dan penyalahgunaan kekuasaan sudah menjadi hal biasa di kalangan pejabat tinggi. Demikian pula di Romawi Kuno, di mana para senator seringkali terlibat dalam skandal korupsi. Pada masa Abad Pertengahan, korupsi semakin merajalela, terutama di kalangan gereja dan monarki. Kolonialisme membawa sistem pemerintahan yang koruptif ke berbagai belahan dunia. Pejabat kolonial seringkali melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam dan rakyat pribumi. Seiring dengan perkembangan teknologi dan globalisasi, bentuk korupsi semakin canggih dan kompleks.

Di Indonesia, korupsi telah menjadi bagian dari sejarah yang panjang. Zaman kerajaan-kerajaan Nusantara sudah mengenal praktik korupsi. Kolonialisme Belanda memperparah kondisi korupsi di Indonesia. Masa Orde Lama ditandai dengan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang memicu maraknya korupsi. Orde Baru, di balik kestabilannya, melahirkan sistem korupsi yang terstruktur. Era Reformasi membawa harapan baru, namun praktik korupsi masih terus terjadi hingga saat ini.

Pertanyaan mengenai apakah korupsi adalah warisan budaya atau penyakit politik seringkali memicu perdebatan sengit. Kubu yang pertama berpendapat bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari budaya Indonesia, yang diturunkan dari generasi ke generasi. Nilai-nilai budaya yang toleran terhadap praktik-praktik yang tidak etis, sistem kekerabatan yang kuat, dan orientasi pada kekuasaan serta kekayaan yang tinggi menjadi dasar argumen mereka. Di sisi lain, kubu kedua berpendapat bahwa korupsi adalah penyakit politik yang muncul akibat sistem yang lemah dan tidak transparan. Sistem politik yang tidak demokratis, lemahnya pengawasan, dan adanya celah hukum menjadi penyebab utama maraknya korupsi.

Definisi dan Asal Usul Kata 'Korupsi'

Korupsi, dalam pengertian yang paling sederhana, adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk keuntungan pribadi. Namun, definisi ini terlalu sempit untuk menggambarkan kompleksitas fenomena korupsi. Secara umum, korupsi mencakup berbagai tindakan yang melanggar hukum dan etika, seperti:

  • Penyuapan: Memberikan atau menerima sesuatu yang bernilai untuk mempengaruhi tindakan seseorang dalam menjalankan tugasnya.
  • Kolusi: Persekongkolan antara pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan bersama dengan cara yang melanggar hukum.
  • Nepotisme: Memberikan keistimewaan kepada keluarga atau kerabat dalam hal pekerjaan atau jabatan.
  • Penggelapan: Mengambil atau menggunakan uang atau barang milik orang lain atau negara untuk kepentingan pribadi.

Asal Usul Kata "Korupsi"

Kata "korupsi" berasal dari bahasa Latin "corruptio" yang berarti "kebusukan" atau "kerusakan". Istilah ini kemudian menyebar ke berbagai bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia.

Secara etimologis, kata "korupsi" merujuk pada suatu proses pembusukan atau kerusakan yang terjadi secara bertahap. Dalam konteks sosial, korupsi dapat diartikan sebagai proses degenerasi atau kemerosotan nilai-nilai moral dan etika dalam suatu masyarakat.

 Sejarah Awal Korupsi di Indonesia

Jejak korupsi di Nusantara sudah terendus sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Praktik pungutan upeti yang sewenang-wenang, suap-menyuap untuk mendapatkan posisi atau proyek, hingga penyelewengan kekuasaan untuk kepentingan pribadi sudah menjadi hal yang umum. Sistem patronase yang kuat pada masa itu, di mana kesetiaan kepada penguasa menjadi kunci untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan, turut mempermudah terjadinya praktik korupsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline