Saat melihat ada tiket Lion Air Jakarta-Bangkok dijual seharga 400 ribuan, saya tak pikir panjang lagi untuk membelinya. Tiket itu untuk keberangkatan 6 bulan kemudian. Lalu saya mengecek tiket Bangkok-Jakarta 5-7 hari setelah keberangkatan, harganya sekitar 800 ribuan. Saya pikir masih agak mahal, jadi saya tunda dulu pembelian tiket balik ke Jakarta. Beberapa hari kemudian, saya mengecek lagi. Aduh, harganya malah sudah mencapai 1 juta. Akhirnya saya putuskan untuk membeli tiket seharga 1 juta itu daripada semakin mahal di kemudian hari.
Penantian selama kurang lebih 6 bulan akhirnya tiba. Tiket yang sudah saya beli jauh-jauh hari sempat mengalami beberapa kali perubahan jadwal dari pihak maskapai. Untungnya perubahan tidak berbeda jauh dengan jadwal semula. Rencananya, saya akan berada di Thailand selama 6 hari 5 malam dengan tujuanBangkok – Pattaya – Ayutthaya. Untuk akomodasi, saya sudah booking sebulan sebelumnya. Awalnya saya mencoba booking di www.nusatrip.com dan www.traveloka.com. Jenis penginapan yang ditawarkan ternyata tidak banyak, terutama untuk kelas budget hostel, berbeda jauh dengan situs Agoda yang menawarkan banyak pilihan. Seperti trip sebelumnya, saya kembali memesan di www.paradise-indonesia.com, penginapan yang ditawarkan sebanyak di Agoda, tanpa kartu kredit, dan harganya tidak jauh beda dengan memesan langsung di Agoda.
Akomodasi kali ini, saya memilih penginapan di daerah Silom, tepatnya di The Urban Age. Saya booking di dormitory room yang diisi 6 penghuni. Total tarifnya sekitar 450 ribu rupiah untuk 5 malam, non breakfast. Murah bukan? Ya iyalah, namanya juga hostel kelas backpacker. Saya memilih daerah Silom karena letaknya yang strategis di tengah kota, pusat keramaian, dan yang terutama karena dilalui jalur BTS (Skytrain) dan MRT. Namun bagi yang ke Bangkok bersama anak kecil, Silom tidak dianjurkan, karena daerah ini adalah red light-nya Bangkok. Sama halnya dengan daerah Sukhumvit yang merupakan pusat hiburan malam di Bangkok. Area yang paling populer bagi backpacker di Bangkok adalah Khaosan Road, disanalah berkumpul para backpacker dari seluruh dunia. Banyak hostel murah di kawasan ini, sekaligus sebagai pusat perbelanjaan yang menawarkan aneka macam barang. Untuk yang datang bersama keluarga, menurut saya area ini juga kurang cocok, karena suasananya terlalu berisik. Selain itu Khaosan Road tidak dilewati jalur BTS ataupun MRT, jadi akses ke kawasan ini hanya menggunakan bus, taxi, ataupun tuktuk. Menginap di daerah Siam mungkin lebih cocok bagi yang datang bersama keluarga.
Kendala utama berpergian ke Bangkok, -yang tidak ditemui di Singapura dan Kuala Lumpur-, adalah soal bahasa. Banyak yang bilang jika sebagian besar orang Thailand tidak bisa berbahasa Inggris. Jangankan bicara bahasa Inggris, sebagian bahkan tidak bisa membaca huruf abjad biasa, karena mereka sehari-hari menggunakan huruf Thai. Sebagai antisipasi, saya menuliskan beberapa kosakata penting di kertas, lengkap dengan terjemahan menggunakan tulisan huruf Thai. Diantaranya adalah kata “no pork”, juga lokasi-lokasi tujuan wisata yang sekiranya agak sulit dicari, sehingga saya cukup menunjukkan tulisan itu kepada orang yang ditanya. Beberapa kalimat penting dalam bahasa Thai juga saya pelajari, seperti “sawatdee krab” (halo) dan “khop khun krab” (terima kasih). Masyarakat Thailand akan lebih senang apabila berbicara dengan orang asing yang berusaha berbicara dengan bahasa mereka. Lucu juga, saya berusaha mengucapkan kata-kata dalam bahasa Thai namun masih menggunakan logat Jawa yang kental. Bodohnya saya, kata-kata penting dalam bahasa Thai yang sudah saya tulis dalam huruf Thai, akhirnya malah lupa saya print. Saya baru ingat saat sudah tiba di bandara. Duh! Satu lagi yang menjadi kendala di Thailand adalah soal makanan bagi mereka yang muslim. Dimana-mana selalu ada menu prak-prok prak-prok alias menu babi. Tapi jangan khawatir, selalu akan ada jalan untuk setiap permasalahan. Setidaknya saya membawa roti cukup banyak dari Jakarta untuk antisipasi kelaparan namun dalam keadaan sulit mencari makanan halal.
Setelah membaca berbagai sumber yang berkaitan dengan backpacker ke Thailand, saya pun menyusun itenary. Enam hari hanya untuk di Bangkok saya rasa terlalu lama. Saya pun memasukkan Pattaya dan Ayutthaya sebagai destinasi lain karena jaraknya dekat dengan Bangkok. Phuket ataupun Chiang Mai tidak saya masukkan dalam daftar karena bakal memakan banyak waktu jika harus ditempuh lewat jalur darat. Itenary yang susun juga mencakup estimasi biaya, total sekitar 6000 Baht. Biaya ini tentu saja di luar biaya tiket pesawat dan penginapan. Sebagai amannya, saya menyiapkan 9000 Baht untuk 6 hari di Thailand. Saat saya menukar rupiah ke baht, nilai tukarnya sedang tidak bagus, mencapai 390 rupiah per baht. Jangan mencoba untuk menukar rupiah saat di Thailand. Tidak setiap money changer menerima rupiah, dan kalaupun ada, hanya dihargai nol koma nol nol sekian baht untuk satu rupiah.
Hari 1
Pesawat yang saya tumpangi landing di bandara DMK, Bangkok sekitar jam 11 siang. Sebenarnya saya lebih ingin pesawat landing di bandara Suvarnabhumi karena ingin melihat langsung bandara kebanggaan warga Thailand tersebut. Namun karena Lion Air sudah memindahkan operasionalnya di bandara DMK (bersama Air Asia), ya apa boleh buat. Terminal kedatangannya biasa saja, suasananya hampir sama dengan bandara Cengkareng, namun masih kalah megah dengan Changi ataupun KLIA. Sebelum melanjutkan perjalanan, saya berniat mencari makan dulu di bandara. Karena cukup lapar, saya ingin makan nasi. Kendala yang saya khawatirkan langsung terjadi di awal kedatangan, yaitu sulit menemukan menu selain prak-prok prak-prok. Akhirnya saya ketemu juga dengan nasi kotak, menunya nasi goreng + ayam + telur rebus. Pada sendokan pertama, saya merasakan ada yang aneh dengan nasinya. Rasanya tidak nyaman di lidah, dan saya memutuskan untuk tidak doyan. Saya malah curiga masih ada unsur prak-prok prak-prok di nasi goreng ini. Apalagi akhirnya saya tahu jika di tempat saya membeli nasi goreng ini juga menyediakan menu lain yang mengandung prak-prok prak-prok. Nasi itu pun saya buang, dan saya makan roti saja yang dibawa dari Jakarta.
Dari bandara DMK, saya melanjutkan perjalanan menggunakan shuttle bus bertuliskan A1. Shuttle bus ini menghubungkan DMK dengan stasiun BTS, tepatnya di stasiun BTS Mo Chit. Tarifnya 30 Baht, waktu tempuh kurang lebih 45 menit. Kesan pertama saya tentang Bangkok, suasananya kurang lebih sama dengan Jakarta ataupun Kuala Lumpur, baik dari jalan tol yang saya lalui ataupun bangunan-bangunan di sekitarnya.
Akhirnya saya tiba di stasiun BTS Mo Chit. Banyak turis asing yang juga turun disini. Dan ini adalah pengalaman pertama saya naik BTS di Bangkok. Selalu ada perasaan deg-degan tiap pertama kali akan menggunakan mesin tiket dimanapun itu. BTS di Bangkok cukup sederhana karena hanya mempunyai dua jalur, yakni Silom Line dan Sukhumvit Line, dengan stasiun BTS Siam sebagai stasiun pertukaran. Jalur MRT lebih sederhana lagi karena hanya mempunyai 1 jalur, dengan stasiun MRT Silom dan stasiun MRT Sukhumvit sebagai stasiun penghubung antara jalur MRT dan BTS. Ditambah dengan satu jalur Airport Line yang menghubungkan bandara Suvarnabhumi dengan stasiun BTS Phaya Thai dan stasiun MRT Phetchaburi, sistem perkeretaapian di Bangkok secara umum terlihat simpel. Selengkapnya mengenai transportasi di Bangkok bisa dilihat di www.transitbangkok.com.
Mesin tiket otomatis BTS hanya menerima uang koin pecahan 1, 5, dan 10 Baht. Jika tidak memiliki uang koin, kita bisa menukarnya di tempat penukaran yang ada di tiap stasiun. Tarifnya bervariasi tergantung jarak, dari 15 Baht hingga lebih dari 50 Baht. Setiap mesin tiket dilengkapi dengan peta jalur BTS yang menginformasikan berapa jumlah uang yang harus kita bayar. Tinggal lihat kemana stasiun tujuan, di sebelah tulisan stasiun ada informasi angka yang harus dibayar. Lalu kita tekan angka yang dipilih, masukkan koin, lalu keluarlah kartu BTS dan uang kembalian (kalau ada). Alhamdulillah percobaan pertama saya hari ini lancar tidak ada masalah. Kartu tersebut kemudian dimasukkan ke lubang di sebelah gate, lalu ambil kembali, dan gate akan terbuka. Begitu pun saat keluar stasiun, tinggal masukkan kartu ke lubang sebelah gate, namun tidak perlu mengambilnya kembali. Bila ingin melihat tata caranya secara lebih jelas dan detail, bisa disearch di youtube, disitu diperlihatkan secara lengkap langkah-langkahnya.
BTS bersama MRT adalah solusi utama yang dikembangkan di Bangkok untuk mengatasi kemacetan. Perbedaannya, jika lintasan BTS ada di atas jalan raya, lintasan MRT berada di bawah tanah. Kabarnya, lalu-lintas di Bangkok sama macetnya dengan Jakarta. Kalau sekilas saya melihatnya, memang macet sih, namun tidak separah Jakarta. BTS yang saya naiki ini nyaman dan cepat, tidak perlu waktu tunggu yang lama. Tujuan saya adalah ke stasiun BTS Siam karena hari ini akan mengunjungi Museum Madame Tussauds di Siam Discovery. Kawasan Siam sendiri dikenal sebagai pusat perbelanjaan utama di Bangkok, karena disinilah berdiri mall-mall besar. Dari stasiun BTS Siam sudah terlihat gedung-gedung pusat perbelanjaan seperti Siam Paragon, Siam Discovery, MBK, dan sebagainya. Sebenarnya agak repot jika mengunjungi objek sambil membawa tas ransel besar dikarenakan saya belum check in. Apa boleh buat, waktu mesti dimanfaatkan secara optimal, dan kebetulan Siam Discovery ini letaknya searah menuju penginapan saya di Silom.
[caption id="attachment_362965" align="aligncenter" width="300" caption="Siam Paragon"][/caption]
[caption id="attachment_362966" align="aligncenter" width="300" caption="Siam Discovery (1)"]
[/caption]
[caption id="attachment_362967" align="aligncenter" width="300" caption="Siam Discovery (2)"]
[/caption]
Museum Madame Tussauds terletak di lantai 6 Siam Discovery. Untuk mallnya sendiri, tidaklah berbeda dengan mall-mall di Jakarta. Harga tiket masuknya 800 Baht. Saya mendapat diskon 10% sehingga hanya membayar 720 Baht. Saya sendiri tidak tahu dapat diskon dalam rangka apa. Yang sempat saya baca, diskon diberikan kepada mereka yang memesan secara online, lalu datang saat museum baru buka ataupun mau tutup. Saya sengaja tidak memanfaatkan fasilitas ini karena berarti membuat itenary yang sudah saya susun menjadi tidak fleksibel.
Museum Madame Tussauds di Bangkok adalah yang ke 10 dunia. Dan katanya, adalah museum pertama yang patung-patung lilinnya boleh disentuh ataupun dipeluk. Di dekat pintu masuk, ada patung Leonardo Di Caprio yang menyambut. Walau saya belum pernah melihat aslinya, tapi menurut saya patungnya sangat mirip dengan aslinya. Detail-detailnya terlihat sangat diperhatikan. Mudah-mudahan patung-patung lainnya yang ada di dalam museum juga sama bagusnya.
[caption id="attachment_362968" align="aligncenter" width="300" caption="Patung Lilin Leonardo di Caprio"]
[/caption]
Patung lilin pertama yang bisa dilihat di dalam museum adalah patung raja dan ratu Thailand. Memang, dari sekitar 70 patung yang ada disini, 30% adalah tokoh-tokoh penting di Thailand. Sementara sisanya adalah para negarawan, artis, atlet, tokoh film, ataupun ilmuwan dari seluruh dunia. Setelah patung raja Thailand, yang kemudian terlihat adalah patung Bapak Soekarno, presiden pertama RI. Sebagai orang Indonesia, saya cukup bangga Bapak Soekarno ditempatkan di barisan paling depan setelah raja Thailand. Patung negarawan lain yang ada disini antara lain Mahathir Muhammad dan Mahatma Gandhi. Dari kalangan artis ada Brad Pitt dan Angelina Jolie. Dari atlet ada David Beckham dan Tiger Wood. Patung Albert Einstein mewakili kalangan ilmuwan. Sementara tokoh filmnya ada Doraemon dan Wolverine. Semua patungnya menurut saya menarik dan dibuat detail. Para pengunjung pun beramai-ramai berfoto dengan tokoh idolanya masing-masing. Di sejumlah patung, ada petugas yang memberi jasa fotografi kepada pengunjung. Dan sahabat terbaik saya selama di museum tentu saja adalah tongsis saya. Thanks God. Kehadiran tongsis membuat single traveler seperti saya menjadi tak mati gaya di tengah keramaian. Walau hanya bisa bergaya terbatas itu-itu saja, menurut saya sudah lebih dari cukup. Setidaknya tidak perlu repot mencari orang yang bersedia memfoto saya. Foto favorit saya hari itu adalah ketika saya berfoto dengan Doraemon. Hehehe.
[caption id="attachment_362969" align="aligncenter" width="300" caption="Patung Lilin Bp. Soekarno"]
[/caption]
[caption id="attachment_362970" align="aligncenter" width="300" caption="Patung Lilin Lady Diana"]
[/caption]
[caption id="attachment_362971" align="aligncenter" width="300" caption="Patung Lilin David Beckham"]
[/caption]
[caption id="attachment_362972" align="aligncenter" width="300" caption="Patung Lilin Mario Maureer"]
[/caption]
Puas berkeliling museum, perut saya menjadi lapar karena dari pagi sampai sesore ini belum makan nasi. Yang ada di otak saya, saya ingin makan masakan Indonesia di MBK. Salah satu referensi tempat makan halal yang saya dapat adalah di restoran Djimbaran di MBK lantai 5. Stasiun BTS terdekat menuju ke MBK adalah stasiun BTS National Stadium yang hanya berjarak 1 stasiun dari stasiun BTS Siam. Dari stasiun BTS National Stadium ada jembatan penghubung menuju ke MBK lantai 2. Saya tinggal naik beberapa escalator lagi untuk mencapai tujuan. Hari ini agenda tunggal saya ke MBK hanyalah untuk makan saja, tidak ada yang lain. Aktifitas mengeksplore MBK lebih dalam sudah saya jadwalkan untuk beberapa hari ke depan. Restoran Djimbaran terletak di dalam food court The 5th Food Avenue bersama dengan sejumlah restoran lain. Saya langsung menuju ke tujuan tanpa melihat restoran-restoran lain. Harga makanan di restoran Djimbaran minimal sekitar 150 Baht. Aduh, harga ini jauh diatas anggaran yang sudah saya tetapkan untuk sekali makan, yaitu antara 30-50 Baht. Ok, mungkin karena ini di dalam mall, sementara saya menggunakan standard makan di pinggiran jalan. Gak papa lah, toh saya sudah menganggarkan 3000 Baht untuk biaya tak terduga. Saya pun memesan nasi goreng udang seharga 160 Baht, plus jus kiwi seharga 80 Baht. Belum apa-apa sudah banyak pengeluaran di hari pertama ini. Saya bisa bilang, makanan disini enak dan memuaskan.
[caption id="attachment_362973" align="aligncenter" width="300" caption="MBK"]
[/caption]
Selesai makan, saya langsung bertolak ke penginapan di kawasan Silom. Kawasan Silom bisa dicapai dengan naik BTS dari stasiun BTS National Stadium, turun di stasiun BTS Saladaeng. Dari stasiun BTS Saladaeng, saya berjalan kaki mencari penginapan saya di Silom 6. Kawasan Silom adalah kawasan yang sangat ramai, sebagai pusat perkantoran, perbelanjaan, sekaligus pusat hiburan malam di Bangkok. Tak sulit menemukan The Urban Age yang merupakan nama hostel saya. Dari luar, hostelnya terlihat kecil sebagaimana layaknya hostel-hostel backpacker pada umumnya. Setelah check in, saya diantar petugasnya menuju ke kamar. Betapa terkejutnya saya karena ternyata kamar saya di lantai 6. Cukup capek juga berjalan naik tangga sampai lantai 6 sambil menggendong ransel yang masih penuh. Tapi setidaknya saya tidak sampai ngos-ngosan seperti mbak-mbak petugas hostel yang mengantar saya.
[caption id="attachment_362974" align="aligncenter" width="300" caption="The Urban Age"]
[/caption]
Beberapa informasi penting terkait kamar hotel saya tanyakan kepada petugasnya. Kamar mandi bersama ada di lantai 5, yang berarti saya mesti turun naik 1 lantai untuk ke kamar mandi. Wifi tidak tersedia sampai ke lantai 6, jadi saya mesti turun ke lantai dasar untuk bisa main internet. Oke sip. Lampu kamarnya hanya satu lampu neon besar, tidak ada lampu kecil untuk masing-masing kasur seperti halnya kamar-kamar dorm di Singapura. Begitu pun dengan colokan listrik, terpusat jadi satu di dekat pintu, sehingga agak menyusahkan saya yang mendapat kasur di dipan atas karena mesti naik turun untuk sekedar mengecharge hp. Ketika saya mencoba menyalakan AC ternyata tidak bisa, petugasnya bilang jika AC memang dimatikan dari jam 11 siang sampai jam 5 sore. Hah? Baru kali ini saya mendapati aturan hostel yang seperti itu. Padahal sekarang belum jam 5, dan saya ingin beristirahat ngadem karena perjalanan cukup melelahkan dari pagi. Akhirnya saya beristirahat dengan hanya memakai celana pendek dan pintu kamar setengah terbuka. Esok hari perjalanan akan panjang.