Hari 2
Di hari kedua ini, saya berencana mengeksplore objek-objek wisata utama di Bangkok. Bicara tentang Bangkok, objek wisata di kota ini tentulah didominasi bangunan pagoda. Dari sumber-sumber yang saya baca, pagoda-pagoda yang menjadi objek utama adalah ; The Grand Palace, Wat Arun, dan Wat Pho. Ketiganya terletak dalam satu area yang berdekatan. Belum sah ke Bangkok kalau belum mengunjungi ketiga objek tersebut. Saya pun menjadikan kunjungan ke tiga pagoda ini sebagai agenda utama sebelum nantinya berlanjut menelusuri Bangkok lebih jauh. Satu hal yang membuat saya lebih bersemangat, saya bakal naik kapal menyusuri sungai Chao Phraya untuk mencapai objek-objek tersebut, yang mana transportasi sungai seperti ini tidak saya temui di Jakarta.
Dari stasiun BTS Saladaeng, saya naik kereta ke stasiun BTS Saphan Taksin. Nah, dermaga kapal menuju ke objek-objek wisata di atas, terletak di dekat stasiun BTS Saphan Taksin. Nama dermaganya adalah Sathorn Pier. Begitu turun tangga dari stasiun BTS Saphan Taksin, dermaganya sudah terlihat. Kapal-kapal yang beroperasi di sungai Chao Phraya dibedakan berdasar warna bendera di atas kapal. Ada oranye, biru, dsb. Saya tidak terlalu hapal semua jenis bendera beserta pengoperasiannya. Yang saya tahu, kapal yang sering dipakai di kalangan turis backpacker adalah yang berbendera oranye. Ada pula yang berbendera biru dengan harga tiket lebih mahal karena dilengkapi dengan informasi wisata. Kapal berbendera biru ini dikhususkan untuk turis, sedang kapal berbendera oranye merupakan gabungan antara turis dan warga lokal yang memanfaatkan kapal tersebut untuk aktifitas sehari-hari. Saya sempat bingung mencari dimana tepatnya pemberhentian untuk kapal oranye karena disini ada beberapa pemberhentian kapal. Saat saya tanyakan kepada petugas dengan sepatah dua patah kata dalam bahasa Inggris, petugasnya menjawab dengan kalimat yang sangat panjang dalam bahasa Thai, yang membuat saya semakin bingung. Haduh, dikiranya saya orang sini. Akhirnya saya mencari antrean terpanjang yang banyak bulenya, lalu saya tanyakan kepada orang yang antre di depan saya, dan ternyata benar ini adalah antrean kapal oranye. Hehehe.
[caption id="attachment_365854" align="aligncenter" width="300" caption="Sathorn Pier"][/caption]
Perjalanan dengan kapal menyusuri sungai Chao Phraya ini lumayan menyenangkan. Sungainya lebar dan lumayan bersih. Walaupun tidak sepenuhnya bersih karena saya sempat melihat sejumlah sampah, tapi setidaknya jauh lebih bersih dibanding sungai Ciliwung. Tarifnya 15 baht untuk semua tujuan. Jika ingin ke Wat Arun/Wat Pho terlebih dahulu, kita turun di Tha Tien Pier, sementara jika ingin ke The Grand Palace terlebih dahulu, turun di Tha Chang Pier. Saya sendiri menyusun urutan perjalanan dari Wat Arun – Wat Pho – The Grand Palace, sehingga saya turun di Tha Tien Pier. Dari Tha Tien Pier menuju ke Wat Arun, saya masih harus naik kapal sekali lagi karena letak Wat Arun berada di seberang sungai. Tarif kapal untuk menyeberang ke Wat Arun adalah 3 baht untuk sekali perjalanan. Dari Tha Tien Pier ini, keindahan Wat Arun sudah terlihat.
[caption id="attachment_365855" align="aligncenter" width="300" caption="Kapal Penyeberangan Wat Pho-Wat Arun"]
[/caption]
[caption id="attachment_365856" align="aligncenter" width="300" caption="Wat Arun Tampak dari Tha Tien Pier"]
[/caption]
Tiket masuk Wat Arun adalah 50 baht. Loketnya terletak tidak jauh dari pintu masuk. Saat melewati petugas pemeriksa karcis, ternyata tiket saya tidak ditanyakan, dan saya terus berjalan begitu saja. Lhah? Sementara turis-turis bule ataupun dari Jepang/Cina, mereka mesti menunjukkan tiket, lalu sebagian tiketnya disobek. Kalau tahu bakal begini, mending saya gak usah beli tiket, karena bisa masuk dengan gratis. Tiket saya pun masih utuh. Akhirnya saya paham, saya dikira warga lokal yang datang ke Wat Arun untuk keperluan beribadah, bukan berwisata. Memang demikianlah yang saya baca, pagoda-pagoda Thailand adalah gratis bagi warga lokal.
Wat Arun sering disebut juga sebagai Temple of the Dawn. Pagoda utamanya yang bergaya khmer dinamakan prang, dengan tinggi sekitar 80 meter. Di sekeliling pagoda utama juga terdapat sejumlah prang lain dengan ukuran lebih kecil. Saya berjalan menaiki tangganya untuk menuju puncak. Tidak terlalu tinggi, namun sudut tangganya yang sangat terjal sempat membuat saya berhenti di pertengahan. Saya jadi galau untuk terus lanjut atau cukup sampai disini. Sudut kemiringinnya lebih dari 60 derajat. Setiap anak tangganya lumayan tinggi, sedang alas pijakannya tidak lebar. Untuk menaikinya mungkin tidak terlalu seram, namun untuk turunnya nanti, saya rasa merupakan uji nyali yang menantang bagi anda yang pada dasarnya takut ketinggian. Akhirnya saya membulatkan tekad untuk memberanikan diri. Toh belum tentu suatu hari nanti bakal bisa kesini lagi. Pelan-pelan yang penting selamat, saya pun bisa sampai ke puncak walau dengan kecepatan siput, lalu berhasil turun ke bawah lagi walau mesti memegang handrail erat-erat.
[caption id="attachment_365858" align="aligncenter" width="300" caption="Pagoda Utama Wat Arun"]
[/caption]
[caption id="attachment_365859" align="aligncenter" width="300" caption="Tangga Menuju Puncak Wat Arun"]
[/caption]
[caption id="attachment_365860" align="aligncenter" width="300" caption="The Grand Palace & Wat Pho ; Tampak dari Wat Arun"]
[/caption]
Tujuan saya berikutnya adalah Wat Pho. Saya kembali menyeberangi Chao Phraya menuju ke Tha Tien Pier. Dari Tha Tien Pier ke Wat Pho, saya tinggal berjalan kaki. Di sepanjang jalan menuju Wat Pho, banyak sekali penjual aneka makanan. Saya tertarik dengan jajanan buah-buahan karena Thailand selama ini juga dikenal dengan buahnya. Semua buah sudah dipotong kecil dan dibungkus dalam plastik sehingga memudahkan kita untuk menyantapnya. Harga per bungkus rata-rata 20 baht. Ada nanas, mangga, jambu, dsb. Saya mencoba buah nanasnya. Rasanya segar, walau tak beda jauh dengan di Jakarta. Yang paling membedakan, semua buah potong yang dijual disini kualitasnya bagus, sementara di Jakarta, terkadang kita mesti repot untuk jeli memilih biar tak salah pilih.
Dari pusat jajanan ini, Wat Pho sudah terlihat. Tiket masuknya seharga 100 baht. Bedanya dengan di Wat Arun, kali ini tiket saya tak lepas dari pemeriksaan. Hahaha. Padahal saya sudah sesumbar bakal kembali dikira orang Thailand sehingga bisa lolos dari petugas. Mungkin karena waktu itu saya sambil menenteng-nenteng tongsis, jadi ketahuan kalau saya adalah wisatawan. Wat Pho sering disebut juga sebagai The Temple of The Reclining Budha. Disini adalah juga kompleks vihara terluas di Thailand. Banyak patung, ukiran, ataupun lukisan Budha yang tersebar di kawasan ini.
[caption id="attachment_365861" align="aligncenter" width="300" caption="Denah Kawasan Wat Pho"]
[/caption]
Yang paling menarik pengunjung di sini adalah patung Budha raksasa berbaring yang berlapis emas. Untuk bisa masuk dan melihatnya, kita mesti melepas alas kaki. Antrean orang yang masuk lumayan ramai. Orang-orang berlomba untuk bisa memotret dengan latar belakang patung Budha berbaring secara utuh. Tentu saja ini sangat susah. Panjang patungnya hampir 50 meter, sementara ruang gerak di sekitarnya tidak terlalu lebar, apalagi dalam kondisi pengunjung yang penuh.
[caption id="attachment_365862" align="aligncenter" width="300" caption="Patung Budha Berbaring"]
[/caption]
Cuaca Bangkok siang ini yang lumayan panas membuat saya tak tahan untuk tak membeli minuman dingin di dalam kompleks Wat Pho. Sebenarnya tiket masuk seharga 100 baht tadi sudah termasuk sebotol air mineral dingin yang bisa diambil di tempat penukaran. Menurut saya kurang mantap kalau cuma air mineral, jadi saya membeli air kelapa. Harganya 100 baht, agak mahal sih kalau menurut saya. Tapi saya iba dengan penjualnya yang sudah nenek-nenek, dan dia membelah kelapa-kelapa itu sendiri dengan pisau besarnya. Di dalam kompleks ini juga ada pusat souvenir yang menjual cinderamata seperti gantungan kunci, kaos, dll. Sepintas saya melihat,harganya lumayan mahal, walau kemungkinan masih bisa ditawar. Saya juga melihat ada transaksi tawar-menawar antara penjual dengan seorang turis. Karena kendala bahasa, mereka berkomunikasi dengan kalkulator sebagai sarana tawar-menawar.
[caption id="attachment_365863" align="aligncenter" width="300" caption="Pagoda-pagoda di Wat Pho (1)"]
[/caption]
[caption id="attachment_365865" align="aligncenter" width="300" caption="Pagoda-pagoda di Wat Pho (2)"]
[/caption]
Perjalanan saya berlanjut ke The Grand Palace yang letaknya di samping Wat Pho. The Grand Palace adalah objek wisata paling utama dan wajib dikunjungi di Bangkok. Sebelum kesini, saya seringkali membaca tentang scam yang berkenaan dengan The Grand Palace. Katanya, banyak sopir tuktuk ataupun mobil-mobil travel di sekitar The Grand Palace yang mengincar para wisatawan demi keuntungan pribadinya. Aksi mereka adalah dengan mengatakan jika The Grand Palace masih tutup, lalu mengajak wisatawan untuk berkeliling Bangkok dengan kendaraannya. Namun dalam perjalanan dari Wat Pho menuju The Grand Palace, saya tak menjumpai yang seperti ini tuh. Atau mungkin lagi-lagi saya dikira orang Thailand, sehingga luput dari sasaran. Ah, entahlah.
Pintu masuk The Grand Palace adalah dari Na Phra Lan Road yang ada di seberang Sanam Luang Park. Jika berjalan dari pintu keluar Wat Pho, pintu masuk ini adalah bagian terjauh dari The Grand Palace. Saya kembali berjalan di bawah teriknya matahari Bangkok. Belum sampai di Na Phra Lan Road, saya sudah melihat sebuah gerbang The Grand Palace. Ada beberapa orang keluar masuk disana. Pikir saya, ini adalah pintu masuk bagian samping. Saya pun masuk ke dalamnya dengan santai, tanpa ada orang yang menegur. Lantas saya melihat sekeliling mencari loket penjualan tiket. Ternyata tidak ketemu. Yang saya lihat hanya vihara-vihara, dan juga kerumunan turis berlalu-lalang. What? Apakah ini artinya saya sudah resmi berada di dalam The Grand Palace? Tidak mungkin objek ini gratis, karena yang saya baca, harga tiket masuknya mencapai 400 baht. Akhirnya saya mendapat pemahaman sendiri, jika saya tadi ternyata masuk dari pintu keluar. Kalaupun ada orang yang masuk dari pintu tersebut, mereka adalah warga lokal. Hal ini semakin dikuatkan ketika saya melihat ada turis mau masuk dari pintu itu, namun oleh petugasnya diarahkan untuk masuk dari pintu lain. Hahaha. Lumayan. Menghemat 400 baht bok!
Salah satu informasi penting jika akan memasuki The Grand Palace, kita dilarang memakai kaos tanpa lengan ataupun celana pendek. Pihak pengelola memang menyediakan kain panjang sebagai penutup, namun tentu akan lebih nyaman bila kita sudah menyiapkan sendiri sebelumnya. Aturan ini juga berlaku untuk pagoda-pagoda lain seperti Wat Arun dan Wat Pho. The Grand Palace dulunya merupakan tempat tinggal raja, sebelum sekarang dipindah ke Dusit. Bangunan-bangunan di kompleks ini berarsitektur khas Thailand, dengan atap-atapnya didominasi kombinasi warna hijau dan oranye. Bagian dari The Grand Palace yang paling ramai dikunjungi adalah The Royal Pantheon, dimana di dalamnya tersimpan Emerald Budha, yaitu patung Budha tersuci di Thailand setinggi 75 cm mengenakan pakaian dari emas. Untuk bisa melihatnya, pengunjung diwajibkan melepas alas kaki terlebih dahulu.