Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merupakan tulang punggung sistem jaminan kesehatan nasional di Indonesia, memberikan akses layanan kesehatan bagi jutaan penduduk. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, BPJS Kesehatan menghadapi tantangan serius terkait keberlanjutan finansialnya.
Defisit anggaran yang terus meningkat menimbulkan kekhawatiran akan kemampuan lembaga ini untuk terus menyediakan layanan optimal tanpa membebani masyarakat dengan kenaikan iuran yang signifikan. Sejak diluncurkan pada tahun 2014, jumlah peserta BPJS Kesehatan meningkat pesat dari 133,4 juta menjadi 276,5 juta per Oktober 2024.
Namun, hanya sekitar 50 juta peserta yang aktif membayar iuran, menyebabkan ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Pada tahun 2023, BPJS Kesehatan mencatat pemasukan iuran sebesar Rp149,61 triliun, sementara kewajiban jaminan kesehatan mencapai Rp158,85 triliun, menghasilkan defisit yang signifikan.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan 2025 menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Langkah ini diambil untuk menutupi defisit yang mencapai Rp7,9 triliun akibat tingginya klaim dibanding pendapatan. Data BPJS menunjukkan 82% peserta memanfaatkan layanan kelas III, yang memberikan beban besar pada subsidi pemerintah.
Namun, masyarakat khawatir kenaikan ini semakin membebani ekonomi keluarga, terutama di tengah pemulihan pasca-pandemi. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan dapat memberikan dampak positif dan negatif. Di satu sisi, peningkatan iuran dapat membantu menutup defisit anggaran dan memastikan keberlanjutan layanan.
Namun, di sisi lain, hal ini berpotensi membebani masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah, yang mungkin kesulitan membayar iuran lebih tinggi. Kenaikan iuran juga dapat menyebabkan penurunan jumlah peserta aktif, yang pada akhirnya mengurangi pendapatan BPJS Kesehatan.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan penggunaan dana cukai rokok. Sebagai salah satu sumber pendapatan negara yang signifikan, dana cukai rokok telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 untuk mendukung pembiayaan jaminan kesehatan.
Namun, realisasinya di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan. Dengan pengalokasian yang lebih terarah, dana dari cukai rokok dapat menutup sebagian besar defisit anggaran BPJS Kesehatan. Hal ini akan mengurangi tekanan untuk menaikkan iuran, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang sudah sangat bergantung pada program jaminan kesehatan ini.
Selain itu, efisiensi operasional harus menjadi prioritas utama. BPJS Kesehatan dapat memanfaatkan teknologi digital untuk memperbaiki sistem administrasi dan klaim. Transformasi digital memungkinkan proses yang lebih cepat, akurat, dan hemat biaya, sehingga mengurangi potensi pemborosan dana.
Misalnya, dengan implementasi sistem klaim digital yang terintegrasi, risiko kecurangan dan kebocoran dana dapat diminimalkan. Efisiensi ini tidak hanya membantu mengurangi biaya operasional, tetapi juga meningkatkan kepuasan peserta melalui layanan yang lebih cepat dan transparan.
Pengawasan yang lebih ketat terhadap penggunaan dana juga merupakan langkah penting. Kecurangan dalam klaim kesehatan, baik dari pihak peserta maupun fasilitas kesehatan, menjadi salah satu penyebab kebocoran dana yang signifikan.