Lihat ke Halaman Asli

Muaz

Penulis, Pemerhati Kehidupan

Agar Ajaran Agama Tertanam Kuat dalam Diri Anak

Diperbarui: 19 Desember 2024   07:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Anak Membaca Kitab Suci (Pexels.com/Mohamed Zarandah)

Pada artikel ini, kita akan membahas mengenai bagaimana mengajarkan Agama kepada anak, agar ajaran tersebut tertanam kuat dalam diri anak. Kemudian ajaran yang tertanam pada anak adalah hal-hal yang baik kepada Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, dan alam semesta. Kita akan membahas mengenai pengajaran agama ini dengan sederhana, agar langsung bisa dipraktekan sehari-hari.

Ada satu tulisan populer dalam mendidik anak dari Al-Hikmah, sebagai berikut:

  • Jika anak dibesarkan dengan celaan .... dia akan belajar memaki
  • Jika anak dibesarkan dengan cemoohan .... dia akan belajar rendah diri
  • Jika anak dibesarkan dengan permusuhan .... dia akan belajar menjadi jahat
  • Jika anak dibesarkan dengan hinaan .... dia akan belajar menyesali diri
  • Jika anak dibesarkan dengan dorongan .... dia akan belajar percaya diri
  • Jika anak dibesarkan dengan pujian .... dia akan belajar menghargai
  • Jika anak dibesarkan dengan rasa aman .... dia akan belajar menaruh kepercayaan
  • Jika anak dibesarkan dengan dukungan .... dia akan belajar menyenangi diri sendiri
  • Jika anak dibesarkan dengan toleransi .... dia akan belajar menahan diri
  • Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan .... dia belajar keadilan
  • Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan .... dia akan belajar menemukan cinta dalam hidupnya.

Dari penjelasan Al Hikmah, dengan jelas dapat dipahami bahwa sifat dan perilaku manusia, ditentukan dari hal-hal yang diajarkan dan ditanamkan padanya. Maka dalam beragama, jika kita mengajarkan tentang kasih sayang dalam beragama, maka anak akan menjalankan agamanya dengan menebarkan cinta kasih. Jika anak selalu diajarkan tentang ketakutan terhadap neraka, ancaman kemarahan Tuhan, maupun kekerasan jika anak tidak menjalankan ritual agama, maka anak akan menjalankan agamanya dengan ketakutan, bisa jadi menebarkan kekerasan, bahkan sampai menuai kebencian. 

Dengan merenungkan hal ini, diperlukan keseimbangan dalam mengajarkan cinta kasih dan larangan Tuhan kepada anak.

Berdasarkan prinspi psikologi dasar manusia, orang yang terbiasa dengan kelembutan, dia seantiasa akan menunjukkan perilaku lembut. Anak yang terbiasa diajarkan berbagi dan keikhlasan, dia akan menjadi pribadi yang senantiasa berbagi. Begitupun, jika anak berada di lingkungan penuh kekerasan, kemungkinan anak akan menunjukkan sikap maupun perilaku kasar.

Hal lainnya dijelaskan oleh George Charlin, seorang Komedian Pemerhati Kehidupan, sebagai berikut: 

  • Menyalip di jalan raya

Di jalan raya, banyak motor dan mobil saling menyalip satu sama lain. Mengapa? Karena dulu sejak kecil, di rumah dan di sekolah, mereka dididik untuk menjadi lebih cepat dan bukan menjadi lebih sabar. Mereka dididik untuk menjadi yang terdepan dan bukan yang tersopan.

  • Menambah kecepatan di jalan raya

Di jalanan, pengendara motor lebih suka menambah kecepatannya saat ada orang yang ingin menyeberang jalan dan bukan malah mengurangi kecepatannya. Mengapa? Karena dulu sejak kecil, di rumah dan di sekolah, anak kita setiap hari diburu dengan waktu, di bentak untuk bergerak lebih cepat dan gesit, dan bukan dilatih untuk mengatur waktu dengan sebaik-baiknya, dan dibuat lebih sabar dan peduli.

  • Korupsi

Di hampir setiap instansi pemerintah dan swasta, banyak para pekerja yang suka korupsi. Mengapa? Karena dulu sejak kecil, di rumah dan di sekolah, anak-anak dididik untuk berpenghasilan tinggi dan hidup dengan kemewahan, mulai dari pakaian hingga perlengkapan, dan bukan diajari untuk hidup lebih sederhana, ikhlas, dan bangga akan kesederhanaan.

  • Penegak hukum

Di hampir setiap instansi sipil sampai petugas penegak hukum, banyak terjadi kolusi, manipulasi proyek, dan korupsi anggaran uang rakyat. Mengapa? Karena dulu sejak kecil, di rumah dan di sekolah, mereka dididik untuk menjadi lebih pintar, dan bukan menjadi lebih jujur dan bangga pada kejujuran.

  • Mudah marah dan merasa paling benar sendiri

Di hampir setiap tempat, kita mendapati orang yang mudah sekali marah dan merasa diri paling benar. Mengapa? Karena dulu sejak kecil, di rumah dan di sekolah, mereka sering dimarahi oleh orang tua dan guru mereka, dan bukannya diberi pengertian dan kasih sayang.

  • Sikap tidak peduli

Di hampir setiap sudut kota, kita temukan orang yang tidak lagi peduli pada lingkungan atau orang lain. Mengapa? Karena dulu sejak kecil, di rumah dan di sekolah, mereka dididik untuk saling berlomba untuk menjadi juara, dan bukan saling tolong-menolong untuk membantu yang lemah.

  • Mengkritik tanpa koreksi diri

Di hampir setiap kesempatan, termasuk di media sosial, selalu saja ada orang yang mengkritik tanpa mau melakukan koreksi diri sebelumnya. Mengapa? Karena dulu sejak kecil, di rumah dan di sekolah, anak-anak biasa dikriktik, dan bukan didengarkan segala keluhan masalahnya.

  • Ngotot

Di hampir setiap kesempatan, kita sering melihat ada orang "ngotot" dan merasa paling benar sendiri. Mengapa? Karena dulu sejak kecil, di rumah dan di sekolah, mereka sering melihat orang tua atau gurunya "ngotot" dan merasa paling benar sendiri.

  • Pengemis

Di hampir setiap lampu merah dan rumah ibadah, kita banyak menemukan pengemis. Mengapa? Karena dulu sejak kecil, di rumah dan di sekolah, mereka selalu diberitahu tentang kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan mereka, dan bukannya diajari untuk mengenali kelebihan-kelebihan dan kekuatan-kekuatan mereka.

Jadi sesungguhnya potret dunia dan kehidupan yang terjadi saat ini adalah hasil dari ciptaan kita sendiri di rumah bersama-sama dengan dunia pendidikan di sekolah. Jika kita ingin mengubah potret ini menjadi lebih baik, maka mulailah mengubah cara mendidik anak-anak kita di rumah dan di sekolah atau tempat khusus yang dirancang bagi anak untuk menjadi manusia yang berakal sehat dan berbudi luhur.

Inilah penjelasan prinsip sederhana dari mengajarkan agama kepada anak. Maka cara seperti apakah yang kita pilih untuk mengajarkannya kepada anak-anak tercinta, calon penerus bangsa, dan pemegang panji-panji agama? Sesungguhnya didikan kita dalam agama kepada anak, akan membawa agama kita kelak akan seperti apa di masyarakat. Masihkah agama kita menjadi sandaran ketenangan batin bagi manusia dan karunia bagi alam semesta?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline