Lihat ke Halaman Asli

Sekai no Genjitsu : Mahluk Sosial

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rega berdiri termenung menghadap lift yang masih belum terbuka juga. Padahal dia sudah menunggu lebih dari tiga menit. Beginilah jika jumlah lift terbatas sedangkan mobilitas penggunanya tinggi. Belum lagi Mahasiswa hanya diperbolehkan menaiki lift dari lantai dua. Hal itu dikarenakan lift yang berada di lantai dasar dikhususkan untuk digunakan para dosen. Mau tidak mau, Mahasiswa harus mengalah.

Rega menghela nafas, melemaskan otot lehernya yang terasa kaku setelah berjam-jam duduk manis menghadap dosen mata kuliah umum yang gila perhatian. Saat dia memijat kecil lehernya, dia tak sengaja melihat pantulan dirinya di pintu lift. Pantulan sosoknya itu terlihat cukup jelas di pintu lift yang terbuat dari stainless steel itu. Perlahan matanya mulai menelusuri pantulan tubuh jangkungnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dingin. Itulah kesan dia rasakan. Padahal yang sedang dinilainya adalah sosoknya sendiri. Tapi hati tidak bisa berbohong jika akal membenarkan visual yang dilihat oleh mata. Jauh di dalam lubuk hatinya, Rega mengakui dirinya memang seperti itu. Tak ubahnya bongkahan pahatan patung es berbalut otot dan kulit dengan tambahan organ dalam dan otak.

“Lewat tangga lebih cepat,” ucap sebuah suara datar dari balik punggung Rega.

Secara refleks Rega berbalik dan mendapati Bayu, teman sekelasnya sedang berdiri di belakangnya. “Kamu sendiri?” sahutnya singkat.

Bayu membetulkan letak kacamatanya. “Aku cuma menegur kamu. Dari pada nunggu lama, mending lewat tangga.” Setelah berbicara seperti itu, dengan tenang dia berbalik lalu berjalan menuju tangga yang tepat berada di samping ruang kelas khusus Mahasiswa Asing. Meninggalkan Rega yang menatap sosoknya dengan bingung.

“Anak itu, datang tak diundang, pulang tak diantar. Seperti jalangkung saja,” gerutu Rega. Dia pun kembali mengarahkan pandangannya kepintu lift, namun apa yang dilihat selanjutnya benar-benar membuatnya jengkel. Kedua tombol dengan tanda anak panah terlihat padam, menandakan bahwa lift itu sedang berhenti di salah satu lantai karena menaikkan atau menurunkan penumpang. Dengan kesal Rega pun memutuskan untuk turun menggunakan tangga.

******

Keesokan harinya, hal yang sama terulang. Namun kali ini hal itu tidak terjadi saat Rega hendak turun kelobi, melainkan saat dia hendak naik kelantai 6 tempatnya kuliah. Setelah dua kali naik tangga untuk tiba di lantai 2, dia masih harus mengantri cukup lama untuk akhirnya bisa menggunakan lift.

Sebenarnya Rega bukannya manja, hingga enggan bersusah payah untuk menggunakan tangga. Namun dia memiliki alasan lain. Meski tak banyak yang tahu, dirinya memiliki masalah dengan fungsi hantinya. Hal itu mengakibatkan dirinya mudah lelah dan sering merasa sesak nafas berlebihan ketika harus naik kelantai 6 dengan menggunakan tangga.

“Lain kali aku pakai helikopter saja!” umpatnya dalam hati.

Satu per satu dari mereka turun dari dalam lift. Kebanyakan dari mereka berhenti di lantai 4 dan lantai 5. Sedangkan Rega adalah penumpang yang paling terakhir turun di lantai 6, lantai tertinggi yang ada di gedung Fakultas Bahasa dan Seni Universitas A tersebut.

“Rega Senpai, konnichiwa!” sapa Maria, salah seorang adik tingkatnya di jurusan Bahasa Jepang. Melihat Rega menghentikan langkahnya, Maria pun menghampiri Senpai-nya itu sambil tersenyum centil.

Rega mengangguk kecil, “Konnichiwa!” sahutnya dengan nada yang terdengar seperti terpaksa.

Senpai hari ini ada kuliah sampai jam berapa?” tanyanya sambil menggandeng lengan Rega tanpa rasa canggung.

“Sampai sore.” Rega pura-pura membetulkan letak ranselnya agar Maria melepas gandengannya. Dia merasa risih dengan tatapan beberapa Senpai dan Kouhai-nya yang sedang duduk-duduk di koridor.

“Wah, sama dong Senpai! Gimana kalau pulangnya kita nonton bareng?”

Rega melirik arloji di tangan kanannya. “Maaf, aku ada kuliah sebentar lagi.” Rega mencoba menghindar. Dia hendak melangkah pergi, namun Maria menahannya.

“Tapi Senpai mau ‘kan?”

“Gak peka atau memang gak paham?” sebuah suara dingin menusuk membuat Maria melepaskan tangan Rega.

Bayu yang merupakan sumber ucapan tajam itu menatap Maria lurus. “Jadi orang harus peka. Terkadang orang gak nolak bukan berarti dia mau.” Lanjutnya sebelum kemudian pergi begitu saja meninggalkan Rega dan Maria yang terkejut sekaligus bingung.

“Ih, apa-apaan sih!” umpat Maria kesal. “Bayu Senpai nyebelin banget sih!” lanjutnya sambil kembali mencoba menggandeng lengan Rega, namun dengan cepat Rega menahannya.

“Tapi apa yang dia bilang bener kok,” sahutnya sebelum pergi menuju kelasnya.

“Rega Senpai!” Panggil Maria, namun Rega mengabaikannya dan terus berjalan.

Saat tiba di depan kelas, dengan enggan Rega membuka pintu kayu berlapis rangka baja itu. Suasana kelasnya tidak berubah. Tetap dingin seperti ruangan kosong. Teman-temannya duduk manis mengisi kursi-kursi di bagian belakang. Meski kelas sudah penuh, namun tak ada aktivitas yang sewajarnya ditemukan di dalam sebuah ruangan berisi manusia. Mereka semua sibuk dengan urusan dan dunia masing-masing. Wajah mereka tertunduk menatap layar Smart phone keluaran terbaru yang menempel erat di jemari mereka. Sementara itu deretan kursi paling depan hanya diisi Bayu yang duduk di kursi paling ujung. Sejak awal kuliah hingga sekarang, dia memang selalu duduk di dekat jendela. Dia selalu duduk termenung dengan pandangan mengarah keluar jendela, seperti mencoba melihat sesuatu yang jauh di luar sana.

“Katanya Agung Sensei gak masuk hari ini,” ucap Bayu tiba-tiba saat Rega duduk di sampingnya.

“Tugasnya?” tanya Rega sambil mengeluarkan buku tugasnya.

“Kumpulin di mejanya. Terakhir nanti sore.”

“Hnn.”

Perbincangan pun tak berlanjut di antara keduanya. Sesekali Rega mendengar suara helaan nafas berat yang berasal dari temannya itu. Sepertinya Bayu sedang mengahadapi masalah besar yang membuat dadanya sesak. Meski begitu Rega tak berniat menayakannya. Bayu dikenal sangat pendiam dan tertutup, meski pada Rega terkadang dia berbicara. Namun lebih dari itu, tak ada yang membuat hubungan mereka lebih dekat dari sekedar teman satu kelas. Suasana terasa sangat dingin dan membosankan, hingga tiba-tiba Bayu bangkit dari posisinya dan berjalan menuju jendela yang terbuka.

“Dunia ini, sebentar lagi akan benar-benar mati!” ucap Bayu sambil menatap kerumunan pekerja kontruksi yang sedang mengaspal jalan yang ada di samping gedung Fakultas Bahasa dan Seni itu dengan tatapan kosong.

Disisi lain Rega menatap Bayu dengan perasaan sedikit waswas karena dia berdiri di hadapan jendela kelas yang terbuka, jaraknya tidak lebih dari beberapa senti. Tubuhnya condong kedepan seakan bisa terjatuh kapan saja dari gedung 6 lantai tersebut.

“Apa kamu gak berdiri terlalu dekat sama jendela? Itu bahaya!”

Bayu berbalik menghadap Rega. “Manusia sudah kehilangan rasa kepeduliannya.”

Rega menatap Bayu bingung. “Kamu ngomong apa sih?”

Bayu bersandar pada bingkai jendela, seketika Rega merasa semakin waswas. Dia ingin menarik Bayu menjauh dari sana, tapi entah kenapa tubuhnya tak mau bergerak. Kakinya seakan terpaku di lantai.

“Manusia yang seperti itu, apa bedanya dengan batu?” ucap Bayu dengan nada tajam.

Rega terpaku mendengar ucapan itu.

“Hidup di dunia yang dipenuhi batu berbentuk manusia, apa gunanya? Mereka sudah kehilangan fungsinya sebagai mahluk sosial. Bertahan bersama kemunafikan, apa gunanya? Perlahan kamu akan jadi salah satu dari mereka. Kepalsuan dan rasa permusuhan, itulah realita.”

Rega menatap Bayu dengan wajah terkejut. Dia ingin bicara, namun tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Bayu memejamkan matanya. “Manusia yang masih memiliki sisi kemanusiaan, justru tersingkir dan terlupakan. Seharusnya mereka yang masih memiliki bagian manusia dalam dirinya, tidak berada di sini!”

Pupil mata Rega melebar , tubuh itu terjun menghempas panasnya aspal yang dipapar panas matahari.

Teriakan histeris itu membangunkan seisi kelas dari dunia digital mereka. Dengan Smart phone yang masih digenggam tangan, mereka dikejutkan dengan sesosok tubuh yang kini menyatu dengan aspal panas, tepat beberapa puluh meter di bawah gedung 6 lantai tersebut.

******

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline