Kita tahu bahwa kuburan adalah masa depan kita semua yang sudah pasti. Namun dalam kefanaan ini, tak kurang bahasa 'selamanya' terus kita ucapkan kepada orang atau objek apapun yang ingin kita hidup bersamanya. Seperti syair 'kita abadi, yang fana itu waktu' menggambarkan kerinduan manusia untuk bisa merasakan hidup dalam waktu yang lama. Lalu apakah hal itu mungkin? Berikut adalah sedikit ulasan dari buku 'Homo Deus' mengenai hal kematian yang bisa ditunda oleh Yuval Noah Harari, yang bisa mengantar kita pada konsep keabadian.
"Lebih baik hidup daripada mati; kematian adalah kejahatan melawan kemanusiaan"
~ Yuval. N. Harari
Buku : Homo Deus
Karya : Yuval Noah Harari
Didalam Agenda Baru Umat Manusia, Yuval menyebutkan salah satu kemungkinan di masa depan manusia yaitu imortalitas. Bahwa manusia mulai melakukan upaya serius menuju keabadian, dimana ini adalah upaya melawan usia tua dan mengatasi kematian.
Ia menerangkan, bukan tanpa alasan hingga ini dijadikan mungkin oleh manusia. Sedangkan dalam jangka waktu yang cukup cepat manusia secara perlahan telah menaklukkan banyak penyakit, dan mengimbangi hukum alam.
Dalam memandang hidup, manusia selalu dikampanyekan bahwa kehidupan adalah hal paling sakral di alam semesta. Ini dilakukan baik oleh para guru, para politisi, pengacara, bahkan para aktor di panggung-panggung teater. PBB sendiri mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah nilai paling fundamental kemanusiaan. Oleh sebab itu, bagi Yuval kematian adalah kejahatan melawan kemanusiaan karena kematian jelas melanggar hak untuk hidup dan manusia akan berperang habis-habisan melawannya.
Kendati demikian, hal ini bertolak belakang dengan ideologi agama-agama yang tidak tegas menguduskan kehidupan. Agama cenderung menyakralkan sesuatu diluar eksistensi duniawi, karenanya kematian dianggap sebagai yang sarat makna. Hal ini karena agama memiliki pandangan akhirat sebagai penentu nasib, dimana adanya idaman untuk mendiami keindahan surga yang dinantikan. Yuval mengajak kita membayangkan agama-agama yang tanpa kematian; tanpa surga, tanpa neraka, atau tanpa reinkarnasi.
Disisi lain, sains modern memiliki pandangan yang berbeda, mereka tidak memandang kematian sebagai misteri metafisik. Bagi orang-orang modern, kematian adalah sebuah masalah teknis yang bisa dan seharusnya dipecahkan. Manusia mati karena kesalahan teknis: jantung berhenti memompa darah, arteri tersumbat timbunan lemak, sel kanker menyebar di hati. Semuanya adalah masalah teknis. Dan, setiap masalah teknis memiliki solusi teknis. Kemajuan solusi teknis masa kini telah mengatasi banyak masalah seperti tuberkulosis, kanker, dan masalah jantung. Ini berarti kematian sedang dilemahkan.
Yuval optimis dengan menyarankan agar semuanya dimulai dengan tujuan sederhana yaitu melipatgandakan angka harapan hidup. Sebagian ahli telah percaya bahwa manusia akan mengatasi kematian pada tahun 2200, yang lainnya menyatakan 2100. Kurzweil dan de Grey bahkan lebih optimistis bahwa pada tahun 2050, manusia akan menghasilkan pencapaian serius dalam imortalitas. Yuval kembali mengingatkan kata-kata masyur Max Planck, bahwa sains mendahului sebuah pemakaman dalam satu waktu. Artinya, hanya ketika satu generasi berlalu, teori-teori baru punya kesempatan untuk membersihkan teori lama.
Akhirnya profesor sejarah asal Israel ini menyimpulkan bahwa jika, dan ketika sains mencapai kemajuan signifikan dalam perang melawan kematian, maka pertempuran riilnya akan beralih dari laboratorium ke gedung-gedung pengadilan dan jalan-jalan. Begitu upaya sains mencapai mahkota sukses, hal itu akan memicu konflik-konflik sengit. Semua perang dan konflik dalam sejarah ternyata menjadi pendahuluan mentahan bagi pergulatan riil didepan kita: pergulatan untuk keabadian usia muda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H