Mereka manusia biasa yang inginkan rasa cinta
Jangan pandang sebelah mata karena kita semua sama
Penggalan lagu "Kita Semua Sama" yang dipopulerkan oleh Betrand Peto Putra Onsu mengingatkan kita untuk selalu menghormati keberagaman yang ada, baik agama, budaya, suku, ras, maupun golongan. Berkaitan dengan Hari Toleransi Internasional pada 16 November, sebagian masyarakat Indonesia belum mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Terutama pada sila kedua, ketiga, dan kelima, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Namun, sering kali masalah intoleransi diremehkan oleh masyarakat Indonesia. Bahkan, intoleransi dijadikan sebagai bahan candaan. Lantas, bagaimana masalah intoleransi terselesaikan? Tanpa adanya toleransi, apakah dunia aman?
Faktanya, intoleransi terus meningkat setiap waktu. Masyarakat perlu mengerti dan menyadari bahwa intoleransi yang terjadi bukanlah hal yang dapat diremehkan, melainkan harus dihentikan. Di Indonesia, sering terjadi intoleransi antara agama ataupun ras. Dikutip dari Kompas.com, hasil riset Setara Institute menunjukkan, jenis pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang paling banyak terjadi pada 2020 yakni tindakan intoleransi.
Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasa, mengatakan bahwa tindakan intoleransi banyak dilakukan oleh aktor nonnegara, seperti kelompok warga, individu, ormas keagamaan, hingga Majelis Ulama Indonesia. Selanjutnya, Setara Institute mencatat 32 kasus terkait pelaporan penodaan agama, 17 kasus penolakan pendirian tempat ibadah, 8 kasus pelarangan aktivitas ibadah, 6 kasus perusakan tempat ibadah, 5 kasus penolakan kegiatan, dan 5 kasus kekerasan.
Berdasarkan kasus yang tercatat, apakah Indonesia sudah sepenuhnya merdeka? Apakah rakyat Indonesia memiliki hati merdeka? Definisi merdeka sesungguhnya adalah bebas. Bebas atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, dan tidak bergantung kepada pihak tertentu. Artinya, rakyat Indonesia harus dapat menghargai perbedaan yang ada dan tidak bergantung kepada pihak yang ingin memecahkan persatuan Indonesia.
Dikutip dari Kompas.com, dalam artikel berjudul "Mencapai Indonesia Merdeka" (1993), Bung Karno menjelaskan bahwa kemerdekaan hanyalah "jembatan emas". Ia bukan tujuan akhir, melainkan "penghubung" perjuangan rakyat Indonesia dengan cita-citanya: "masyarakat adil dan makmur, yang tidak ada tindasan dan hisapan."
Soekarno benar. Pascakemerdekaan, perjuangan belum selesai. Kehidupan rakyat Indonesia belum didasari oleh nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab belum menjadi prioritas kehidupan berbangsa. Indeks Hak Asasi Manusia Indonesia pada 2020 yaitu 2,9. Nilainya mengalami penurunan dibandingkan dengan 2019 yaitu 3,2. Tigor Naipospos dari Setara Institute, mengatakan bahwa penurunan tersebut karena pemerintahan Jokowi menjadikan ekonomi sebagai panglima. Isu HAM bukan prioritas pemerintahannya. Pendapat Tigor ada benarnya. Pada pidato kenegaraan Jokowi dalam rangka HUT ke-76 RI, Presiden Jokowi tidak menyebut tentang hak asasi manusia, tetapi membahas tentang ekonomi negara dan perkembangan teknologi. Padahal, beberapa pelanggaran HAM di negeri ini masih menjadi isu yang belum terselesaikan. Misalnya, terdapat laporan Komnas HAM, ada enam kasus pelanggaran HAM di Papua yang terjadi pada 1998 sampai 2017.
Tentang Persatuan Indonesia, Jokowi menganggap ekonomi sebagai solusi untuk mengatasi masalah yang ada. Dalam pidato kenegaraan yang sama, Jokowi berkata, "Penyelesaian pembangunan infrastruktur yang memu[d]ahkan logistik, untuk membangun dari pinggiran dan mempersatukan Indonesia, terus diupayakan."
Artinya, nasionalisme dan persatuan bangsa tidak dapat dibangun melalui peningkatan infrastruktur saja karena persatuan bangsa bersifat multi dimensi atau memiliki banyak sudut pandang. Hal tersebut dapat goyah karena intoleransi antara agama, suku, dan perbedaan pilihan politik. Buktinya: setelah 76 tahun merdeka, masih ada beberapa kelompok minoritas yang dipersekusi oleh sesama anak bangsa.
Terakhir, keadilan sosial yang menjadi cita-cita kemerdekaan bangsa, masih jauh dari kata ideal. Dalam sepuluh tahun terakhir, koefisien gini di Indonesia kondisinya tidak tetap dan tidak menunjukkan perbaikan. Pada 2010, koefisien gini sebesar 0,378. Namun, mengalami peningkatan menjadi 0,382 setelah sepuluh tahun berjalan. Artinya dalam sepuluh tahun terakhir, kesenjangan distribusi pendapatan di Indonesia semakin memburuk. Ketimpangan sosial dapat dilihat dalam indeks pembangunan manusia Indonesia (IPM). Walaupun menunjukkan kenaikan setiap tahunnya, IPM wilayah Jawa dan luar Jawa, khususnya daerah Timur Indonesia seperti NTT dan Papua menunjukkan ketimpangan yang serius.