Lidah api menjilat -- jilat batang kayu mati yang aku pungut di hutan belakang rumahku beberapa hari yang lalu. Perlahan aku sorong sedikit demi sedikit, tugasku hanyalah menjaga agar apinya tetap menyala.
Bagiku ini bukan sekedar rutinitas karena kodrat sebagai seorang perempuan yang mesti aku jalani sedari membuka mata di waktu ayam berkokok bersahut -- sahutan, hingga bunyi kuk -- kuk burung hantu menutup pintu rumahku disusul gelap saat malam menyergap.
Bagiku, ini adalah sebuah harapan. Pada setiap batang kayu yang aku sorong, aku merasa kembali menjadi gadis kecil si penjual korek api. Dalam kedinginan yang teramat sangat, dilihatnya kehangatan di balik jendela rumah -- rumah tempat dimana keluarga bernaung dan bercengkerama melalui nyala sebatang korek api.
Pada nyala yang berikutnya, terhidang makanan dan minuman yang lezat dan bahkan seumur hidupnya belum pernah dirasakannya. Dan nyala -- nyala api pada korek apinya terus menerus membawanya dalam berbagai harapan dan impian yang terus membawanya lupa. Ya, lupa akan kebekuan yang semakin membungkusnya.
Pada akhirnya gadis korek api itu mati. Kau pikir karena kebekuan dan dinginnya udara saat itu ? Itu yang terlihat, namun dalam pandangan tuaku, dia mati karena dia sudah mendapatkan semua harapannya itu. Ketika kau mendapat semuanya, mengapa kau berkata masih kurang ? Nikmat mana lagi yang kau pertanyakan pada yang maha kuasa?
Kemarin dan hari ini tidak pernah sama. Setiap hari bergulir dengan kesempatan yang berbeda di setiap waktunya. Pilihan -- pilhan yang disediakan, hanyalah sebuah peluang untuk belajar bersyukur, bahwa masih akan ada harapan yang bisa kita nantikan.
Jadi, salahkah aku jika kemarin aku memutuskan untuk memilih, yang terbaik dari nuraniku ?
Kasak -- kusuk di kampung yang singgah di telinga tuaku ini tak ku hiraukan. Aku memang menerima pemberiannya, pun sama seperti kalian. Tapi bukan kemiskinanku yang akhirnya aku gadaikan di depan kalian.
Tungku yang diam ini tidak pernah berhenti memberiku harapan. Dia akan terus menyala, walaupun akhirnya kaki dan tanganku yang menua ini tak mampu lagi membakar segenggam beras dan sebatang ubi kayu pengasihanmu.
Bara -- bara api yang diam di dalam tungku, tidak pernah takut memberiku kehangatan. Karena sekali lagi bukan perutku yang memberikan aku hidup sekali lagi setiap hari, namun harapan -- harapanku.
Aku memang tidak berdiri dan mengenal mereka yang terpampang di tempat -- tempat yang terang, namun aku yakin, Tuhan yang maha kuasa sudah terlebih dahulu mengenal hati dan jiwa mereka. Bukan kalian yang akan menentukan siapa dan harus bagaimana. Bagiku, hidup ini adalah kesempatan. Dan selagi aku masih kuat, maka harapan -- harapan itu tetap akan menyeruak dari celah -- celah atap ilalang rumah ini.