[caption caption="Prp"][/caption]
Ibu yang Mengajariku Berbohong
Usiaku sudah 31 tahun. Sudah cukup dewasa untuk bisa hidup mandiri dan bahkan berkeluarga. Aku selalu menganggap bahwa diriku adalah seorang perempuan yang tangguh. Padahal sebenarnya di balik kecantikan, keanggunan, dan kecerdasan yang aku miliki, ada sepotong hati yang rapuh. Hati yang bahkan bisa menjadi sangat jahat sewaktu – waktu dan aku sendiri tidak mampu menghentikannya.
Tepatnya lima tahun yang lalu, saat aku mulai menyadarinya. Hatiku terasa berbeda, dan aku mencari tahu ada apa dengan hatiku ? Saat itu aku melihat hatiku seperti sebuah medan gravitasi yang di dalamnya banyak teori tentang konspirasi yang dimanipulasi secara terorganisir. Aku pun bertanya pada hatiku, sejak kapan dia mulai seperti ini ? Dia menjawabnya seperti angin masa lalu yang begitu dingin dan kelam. Dengan nada mengejek, dia bercerita tentang seorang anak kecil yang nyaris seluruh masa anak – anaknya dihabiskan dengan menonton sebuah pertunjukan drama keluarga yang begitu menarik. Dengan lakon – lakon yang tak bukan adalah ayah, ibu, adik, dan kakaknya sendiri.
Apakah aku mengenal anak itu ? Tanyaku kembali. Namun, hatiku tidak menjawabnya. Ia malah sibuk berkerabat dengan kebencian yang selama ini mengintai dari celah di dekat jantungku. Aku menyadari keberadaannya, sejak malam terakhir aku melihat akhir dari kisah drama keluargaku yang tampak aneh. Aku melihat ayahku tidur di dalam kotak kayu yang kecil. Tidurnya begitu tenang, walaupun di sekelilingnya banyak orang yang ramai berteriak dan menangis serta berbicara dengan kata – katanya sendiri, ia tetap tertidur.
Sejak malam itu, aku melihat ada yang aneh dengan Ibu, Kakak, dan Adikku.
Ibuku seringkali tertawa. Bahkan untuk hal – hal yang menurutku tidak lucu. Misalnya, ketika uang simpanan kami habis, sementara persediaan beras menipis, gas kosong, dan air minum kemasan isi ulang pun habis. Lebih aneh lagi, ketika malam – malam aku melihat ibuku tertawa saat melihat nilai pelajaran kami yang kurang bagus. Kakak ku malah menjadi teman ibuku yang juga sama anehnya.
Dengan bangganya, ia mengatakan bahwa ia berhenti sekolah dan bersedia menjadi istri kelima dari tengkulak besar dari kota yang sering datang membawa tukang pukul ke rumah kami. Padahal sebelumnya, aku sering mendengar suara tangisan dari bilik kamarnya yang bersebelahan dengan kamarku. Belum lagi adikku satu – satunya. Sejak ayahku tidur di kotak kayu itu, dia berhenti menangis dan merengek – rengek manja pada ibuku. Bahkan, ketika aku melihat darah mengalir dari hidungnya, dan mukanya berubah menjadi sangat pucat, ia tidak menangis.
Ibu dan Kakakku mengatakan bahwa Adik sudah sembuh dari penyakit yang dideritanya selama ini. Tapi sama seperti Ayah, aku pun tak pernah melihat Adikku lagi. Sungguh – sungguh sebuah kisah drama yang menarik. Tapi itulah keluargaku. Hingga akhirnya aku putuskan meninggalkan rumah itu. Rumah yang selama ini lapuk oleh kebohongan – kebohongan yang begitu sempurna. Dan keluarga yang mengajariku memiliki hati yang berbeda dengan hati – hati yang lain. Aku pergi ke sebuah tempat baru. Tempat yang istimewa dan hanya orang – orang tertentu yang boleh keluar masuk tempat ini. Tentunya mereka adalah orang – orang yang memiliki hati seperti hatiku.
Di tempat ini, aku biasa bercanda dengan banyak hati yang berbeda. Kadang mereka bertanya padaku, apakah aku takut berada di tempat ini ? Tapi hatiku yang jahat, selalu memaksa bibirku untuk selalu tersenyum menanggapi pertanyaan itu. Kadang – kadang hatiku membisikkan sesuatu kepada otakku. Dan aku tak mengetahuinya dengan pasti, mereka mengajak kebencian untuk berkonspirasi, dan hasilnya aku mendapati tubuhku terbaring di tempat ini.
Suatu hari, aku menemui ibuku. Aku duduk di sebelahnya, di bangku taman yang ada di belakang sebuah gedung tua. Kami bercerita banyak tentang kupu – kupu bersayap pelangi yang hinggap di dahan – dahan bunga yang tumbuh liar di halaman rumah kami dulu. Kami juga menertawakan saat – saat ayah, ibu, kakak, aku dan adikku menonton pertunjukan drama di balai kota, yang berakhir kacau karena tengkulak besar datang mengejar ayah, lalu kami bersembunyi tiga hari lamanya di bawah jembatan dan menumpang tidur di emperan toko saat malam.