Lihat ke Halaman Asli

Disparitas Kesehatan Komunitas Pasien HIV/AIDS Akibat Stigma Negatif Masyarakat

Diperbarui: 13 Juli 2024   17:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Komunitas merupakan sekelompok orang yang saling berinteraksi dan terkait satu dengan yang lainnya dan mempunyai minat atau karakteristik, serta memiliki kepentingan bersama sebagai dasar suatu persatuan (Rasiman et al., 2024). Fungsi komunitas bagi semua anggota didalamnya adalah memiliki rasa kebersamaan dan identitas yang sama, value, norma, saling berkomunikasi, dan mempunyai kepentingan serta rasa sepenanggungan. Sama halnya dengan komunitas pasien-pasien yang memiliki kondisi penyakit yang sama, mereka berkumpul dan menciptakan kelompok berlandaskan keinginan kuat untuk terus berjuang dan saling menguatkan satu sama lain. Salah satunya adalah komunitas orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Seperti yang telah diketahui secara umum, HIV/AIDS adalah penyakit imun yang dapat ditularkan hanya dari cairan tubuh orang yang terinfeksi, termasuk darah, ASI, air mani dan cairan vagina (WHO, 2023) bukan melalui udara atau droplet seperti COVID-19. Cara penularannya yang dinilai asing bagi masyarakat awam membuat penderitanya terus menerima stigma negatif, walaupun HIV/AIDS semestinya sudah diketahui sejak dahulu. Selain stigma negatif, kesenjangan kesehatan yang mereka alami juga menjadi penghambat upaya mengakhiri penyakit ini. Pada penghujung tahun 2020, 12 juta orang yang hidup dengan HIV berisiko meninggal dunia akibat AIDS jika mereka tidak mendapatkan pengobatan, walaupun pada kenyataannya pengobatan yang efektif telah tersedia, dan hampir 700 ribu orang meninggal akibat AIDS (UNAIDS, 2023). Dokumen kajian komprehensif (comprehensive evidence review) menunjukkan bahwa ketidaksetaraan kesehatan yang terjadi di dunia adalah hambatan terbesar yang menyebabkan berbagai upaya yang telah dilakukan tidak mencapai target yang sudah ditetapkan untuk tahun 2020 (UNAIDS, 2020).

Stigmatization of the person living with HIV/AIDS must be resisted by our society at all costs.” -Consolee Nishimwe-

Sebagian besar orang yang baru terinfeksi HIV dan tidak memperoleh akses terhadap layanan HIV berasal dari populasi yang rentan, terutama karena kurangnya pendanaan dan kebijakan yang menghalangi mereka untuk mengakses layanan kesehatan. Baylis et al, (2017) menilai stigma negatif sebagai hambatan dalam mengakses layanan kesehatan. Stigma negatif menjadi faktor penentu sosial dan mengambil peran besar dalam disparitas kesehatan yang terjadi pada penderita HIV/AIDS saat ini. Alasan utama kesenjangan di dalam respons terhadap HIV terus-menerus terjadi adalah kegagalan mengatasi faktor-faktor sosial dan struktural yang meningkatkan risiko penularan HIV dan menghambat kemampuan seseorang untuk mengakses dan mendapatkan keuntungan dari layanan HIV yang tersedia, termasuk stigmatisasi. Tidak semua rumah sakit atau pelayanan kesehatan bersedia merawat ODHA, takut nantinya akan tidak laku karena orang yang terinfeksi HIV dipandang sebagai orang yang mempunyai perilaku negatif.

Sebagai perawat, sangat penting untuk mengetahui bahwa stigma bukan hanya dipengaruhi oleh apa yang dilihat, tapi juga tingkat pengetahuan seseorang untuk mengintepretasikan apa yang dilihatnya. Dalam penelitiannya, Wiginton et al., (2021) menunjukkan bahwa stigma terkait HIV masih sering ditemukan pada suatu fasilitas pelayanan kesehatan. Andriyani et al., (2021) juga meneliti bahwa pengetahuan tentang perawatan dan pengobatan HIV serta cara bersikap terhadap stigma dan diskriminasi pada penderita HIV masih kurang. Pada penelitian Astutik, (2018 dalam Permata et al., 2023) diketahui bahwa faktor yang berhubungan dengan stigma adalah: pengetahuan, pendidikan, derajat disabilitas dan nilai budaya/sosial. Tingkat pengetahuan dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku. Hal ini memberikan landasan kognitif untuk terbentuknya perilaku, semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang tentang HIV/AIDS maka akan semakin kecil kemungkinannya untuk memberikan stigma negatif terhadap penderita.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan pengetahuan tentang HIV/AIDS dapat dilakukan dengan memberi pendidikan kesehatan (Simatupang, 2019). Bisa juga dilakukan dengan melibatkan semua petugas dalam suatu strategi dimana pengurangan stigma layanan kesehatan, bukan hanya oleh profesional kesehatan. Kemudian dalam pelatihan dan penyusunan kebijakan, harus menggunakan metode partisipatif dan melibatkan ODHA dalam pengembangan pelatihan, dan secara berkala memantau stigma di kalangan petugas kesehatan (Darmawan & Permatasari, 2022).

Referensi :

Andriyani, L., Arina, Widihastuti, A., & Nugroho, A. (2021). Challenges and Support to HIV Care and Treatment of Female Sex Workers Living with HIV in Indonesia: A Mixed Method Study. Unnes Journal of Public Health, 10(2), 169–179. https://doi.org/10.15294/ujph.v10i2.40037

Baylis, A., Buck, D., Anderson, J., Jabbal, J., & Ross, S. (2017). The Future of HIV Services in England (Issue April). The King’s Fund.

Darmawan, B. A., & Permatasari, I. (2022). Upaya Penurunan stigma Dan Diskriminasi Terhadap ODHA Menuju Indonesia Bebas HIV/AIDS 2030. Faculty of Public Health Universitas Indonesia, December. https://www.researchgate.net/publication/366658016

Permata, Y., Kodriati, N., & Dahlan, A. (2023). Dampak Stigma terhadap Akses Pelayanan Kesehatan. HIGEIA JOURNAL OF PUBLIC HEALTH RESEARCH AND DEVELOPMENT, 7(2), 197–207. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeiahttps://doi.org/10.15294/higeia/v5i2/39818

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline