Weekend ini saya isi dengan kegiatan yang menyenangkan. Kata orang sih sekalian 'nguri - uri kabudayan Jawi, warisaning poro leluhur' atau dengan kata lain melestarikan kebudayaan Jawa, warisan para leluhur.
Saya pernah mencoba olahraga tradisional ini sewaktu jalan-jalan di Candi Borobudur beberapa tahun lalu. Dan baru saja, saya mencobanya kembali bersama Komunitas Paseduluran Langenastro.
Saat ditawari oleh admin Kompasianer Jogja (KJOG) untuk mengikuti acara ini, langsung deh saya tak bisa menolaknya. Ada yang mau bermain Jemparingan bareng saya?
Melestarikan Kebudayaan dengan Konsep "Paseduluran"
Singkatnya, jemparingan adalah olahraga yang mirip dengan panahan modern namun posisi membidiknya dilakukan dengan duduk bersila. Terdengar unik ya? Betul. Apalagi si pemanah biasanya dilengkapi dengan pakaian surjan, kebaya dan udeng/blangkon sebagai pemanisnya.
Alasan saya antusias mengikuti olahraga yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan tentang Jemparingan.
Sebagai seorang guru, saya merasa bertanggung jawab untuk memberikan ilmu pengetahuan sejarah yang saat ini mungkin semakin langka untuk ditemukan.
Hal baiknya, beberapa paguyuban panahan tradisional menghidupkan lagi kebudayaan ini sehingga para gen millenial, seperti saya... (ahaaaa merasa masih muda) bisa mengenal dan praktek jemparingan seperti saat jaman Kerajaan Mataram Jogja di masa lalu.
Sebelum praktek Jemparingan, saya dan teman-teman KJOG mendapat sambutan hangat dari tim Langenastro dan mereka bersemangat memberikan kisi-kisi tentang olahraga panahan ini. Dimulai dari sejarah jemparingan, manfaat olahraga ini, asal-usul Langenastro, istilah yang sering digunakan dalam jemparingan, filosofi yang terkandung serta goals dari permainan ini.
Setiap insight yang saya dengar benar-benar membuat saya takjub. Bukan hanya karena teknis bermainnya, namun karena maknanya yang erat dengan alur kehidupan manusia.