Setiap hari aku bekerja bersama-sama dengan temanku, sebut saja Sara. Dia memakai kerudung, menandakan kalau Sara wanita muslim. Meskipun namanya menurutku bukan nama muslim. Saya pernah menanyakan, namamu bagus, mengapa namamu Sara. Dia bilang, ya ibuku suka dengan nama itu, maka aku diberi nama Sara tanpa mencari tahu arti nama itu, katanya dengan berbinar.
Dia tinggal sekampung denganku, jadi pulang pergi kerja sering bersama-sama satu kereta dan menunggu kereta sama-sama. Pada awalnya aku tidak pernah mengira kalau Sara, wanita Afganistan. Aku selalu mengira Sara wanita Marokko,karena aksen bicara dan gayanya seperti temanku wanita Marokko, Saida, namanya. Menurutku mereka berdua mirip, meskipun yang satu dari Afganistan yang satu dari Marokko. Dua-duanya cantik putih, sangat feminim. Aku suka dua-duanya memiliki rambut panjang bergelombang yang selalu disembunyikan dibalik kerudungnya. Aku suka mengamati saat mereka menyisir dan merapikan rambutnya dan memasang kain kerudungnya, diruang ganti wanita saat mereka berganti baju seragam. Saida dan Sara dua teman kerjaku yang cantik dan mirip tapi toh berasal dari negri berbeda.
Akhir-akhir ini berita - berita di koran-koran, televisi dan radio dipenuhi berita tentang Afganistan. Menurut cerita di bawah kekuasaan Taliban, wanita tidak memiliki kebebasan terutama untuk belajar dan masih banyak pembatasan lagi. Mendengar berita-berita semacam itu terus terang saya ikut sedih dan prihatin.
Sejak Agnanistan jatuh ketangan Taliban, saya ingat teman-teman Afganistaku. Aku hanya mau menyampaikan ikut prihatin dan menanyakan keluarganya di Afganistan semoga baik-baik saja.
Kembali ke Sara, suatu saat kami pulang kerja bersama-sama dan kebetulan kereta datang terlambat hampir satu jam. Dalam kesempatan menunggu ini aku bertanya"Sara dari mana berasal" ya ampun aku kaget, seperti telah saya tulis di atas, selama ini saya mengira Sara dari Marokko. Saya langsung bertanya bagaimana keadaan keluarganya. Aku tanyakan apakah boleh mendengar kisahnya sehingga sampai ke Jerman? Kalau tidak keberatan, karena saya tahu tidaklah mudah untuk membuka lagi kisah yang menyedihkan.
Sebelum mulai bercerita, Sara menghela nafas panjang, matanya jauh menerawang. Saya kasihan dengan gadis ini, aku peluk dan aku usap punggungnya, „Sudahlah, kalau kamu tidak mau cerita,tidak apa- apa lain kali saja "kataku kasihan melihat reaksinya. Sara bilang „ Tidak, saya akan cerita, saya senang kamu mau mendengar cerita perjalananku ke Jerman" Sambil menghela nafas Sara mulai bercerita.
1.Kampung halaman Sara
Dia cerita, lima tahun lalu, dia masih berumur 15 tahun, usia muda sekali, anak ke dua dari empat bersaudara, satu-satunya wanita. Kakak laki-laki dan dua adik laki-laki. Sara bersama ibu, bapak dan dua adik laki-lakinya, tinggal di suatu desa jauh dari Kabul. Di rumahnya di Afganistan tidak ada signal, apa lagi signal, listrik dan air ledengpun tidak ada. Air harus mengambil dari sumur, 50 meter dari rumahnya. Handy tentu saja tidak punya.
2.Sekolah Sara
Saya mulai menanyakan, apakah dulu di Afganistan pergi ke sekolah? Dia mengiyakan „Ya saya pergi kesekolah, dan saya senang sekali ke sekolah.“ „Saya suka membaca dan suka belajar„. Dengan mata berbinar dia bercerita, seakan-akan masa bahagia di Afganistan di depan mata. Dia bahagia di sekolah, meskipun setiap hari harus berjalan kaki 3 kilometer berarti 6 kilometer pulang pergi. Dia bercerita di sekolah dia harus belajar bahasa Dari atau bahasa Persia Afgani dan bahasa Pashtun. Saya menanyakan :“Bahasa apa yang digunakan sebagai bahasa nasional? „ Dia bilang :“Dua-duanya“. Jadi di sekolah diajarkan dua bahasa itu.
3.Informasi dari luar
Saya tanyakan, kalau tidak ada signal di rumahnya , bagaimana informasi dari luar bisa diterima? Dia bilang, mungkin karena dia masih kanak-kanak jadi dia tidak mendengar kabar di luar dan belum tertarik dunia luar. Bapaknya yang seorang pelaut itu kalau kebetulan pulang ke rumah selalu mendengarkan radio. Dari radio itu bapaknya dan seluruh keluarga mendengar perkembangan situasi di luar rumahnya.