Lihat ke Halaman Asli

Ferry_Darmin

Fakultas Teologi, Program Studi Filsafat Keilahian, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Belajar Tentang Arti Cinta dari Kitab Kidung Agung

Diperbarui: 26 Juni 2023   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Cinta Tidak Hanya Berbicara Tentang Orang Yang Tepat, Tetapi Juga Waktu Yang Tepat

Sebanyak empat kali, di dalam ayat 2:7; 3:5; 5:8; 8:4, firman Tuhan dengan lantang mengatakan: 

"Jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya!"

Larangan untuk 'membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya' dalam 2:7; 3:5; 5:8; 8:4 sesungguhnya berbicara tentang waktu yang tepat, sebab sukacita alami dari cinta dan seksualitas bisa dirusak oleh hubungan yang prematur. Penyebutan beberapa nama hewan ketika gadis Sulam menyumpahi puteri-puteri Yerusalem, "Ku sumpahi kamu, puteri-puteri Yerusalem, demi kijang-kijang atau demi rusa-rusa betina di padang," merupakan contoh tingkah laku yang salah untuk diikuti, dimana manusia seyogyanya tidak bertingkah seperti binatang yang hanya mengikuti hasratnya tanpa pengekangan diri.

Membahas tentang waktu yang tepat juga menyangkut hubungan seksual. Waktu yang tepat untuk berhubungan seksual adalah ketika sudah terikat pernikahan. Hubungan seksual di luar pernikahan adalah dosa, namun menjadi ekspresi yang indah jika dilakukan dalam lingkup pernikahan. Usaha untuk bersabar menanti waktu yang tepat bagi hubungan seksual juga bisa dilihat dalam Kidung Agung 8:9 yang berbunyi: "Bila ia tembok, akan kami dirikan atap perak di atasnya; bila ia pintu, akan kami palangi dia dengan palang kayu aras." Menurut Kirby, bagian ini menjelaskan kenangan gadis Sulam akan masa kecilnya, dimana ayah gadis Sulam itu rupanya sudah meninggal ketika ia masih kecil sehingga ia diasuh oleh kakak-kakaknya dan ketika ia memasuki masa remaja, kakak-kakaknya merundingkan bagaimana menjaga kesuciannya. Dalam kedua ayat tersebut, 'tembok dan pintu' dipakai sebagai metafora terhadap pilihan sikap gadis Sulam. Makna dari kedua metafora tersebut dikemukakan oleh Tanner yang menjelaskan: 

Tembok dan pintu menggambarkan jalan alternatif yang ia ikuti menuju kedewasaan. Tembok menjelaskan pembatas dan penahan yang melarang orang masuk. Di pihak lain, pintu didesain untuk dimasuki orang dan memberi akses menuju ruangan." Tembok dan pintu adalah pilihan jalan yang gadis Sulam bisa pilih dalam perjalanan hidupnya. Tembok adalah gambaran dari seorang wanita yang menolak hubungan seks pra-nikah dan bila ada laki-laki yang mencoba menggodanya, ia tetap bertahan seperti tembok yang kokoh dan tak dapat digoyahkan. Sedangkan pintu adalah gambaran dari seorang wanita yang mudah menyerah pada godaan dan perlu usaha ekstra untuk melindunginya guna memastikan bahwa ia tidak dalam keadaan dimana ia dengan mudah menyerahkan hasratnya.

Sungguh sangat menarik bahwa gadis Sulam memutuskan untuk menjadi seperti tembok, sebagaimana yang ia katakan dalam ayat 10, 'Aku adalah tembok' saat mencapai kedewasaan seksual, yakni perkembangan dari 'tak punya buah dada' kepada 'buah dada seperti menara', ia bisa menjaga kemurnian moral hingga ia menikah. Pernyataan 'aku adalah tembok' menunjukkan bahwa gadis Sulam bersedia menjaga keperawanannya hingga ia menikah. Di akhir ayat 10 pun dikatakan bahwa ia merasa seperti orang yang telah mendapat damai kebahagiaan. Inilah berkat bagi orang yang bersabar. Keindahan yang sempurna dari sebuah hubungan diawali dari kesediaan menanti waktu yang tepat. Di dalamnya terkandung ketaatan dan penyerahan diri pada Tuhan yang berkuasa atas waktu manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline