A. Pendahuluan
Salah satu upaya dalam merawat persaudaraan lahir dari pemahaman bahwa manusia merupakan makhluk sosial (sosial being) yang tidak hidup dalam isolasi, melainkan terhubung satu sama lain dalam masyarakat. Esensi manusia sebagai makhluk sosial ialah adanya kesadaran manusia tentang status dan posisi dirinya dalam kehidupan bersama dan bagaimana tanggung jawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan itu.[1] Kemampuan manusia untuk berpikir, berbicara dan berkomunikasi memungkinkan manusia untuk membentuk hubungan sosial yang kompleks dan saling mempengaruhi. Dalam hubungan sosial tidak jarang muncul anggapan negative yang dapat merusak indahnya kebersamaan. Misalnya, di Indonesia akhir-akhir ini ditemukan berbagai macam konflik antar agama, suku, ras dan budaya.
Konflik ini menimbulkan adanya perpecahan dalam komunitas atau sosialitas di bumi Indonesia. Setiap suku, ras dan agama menampilkan sisi egonya masing-masing yang mana memberikan suatu legitimasi dan pengakuan bahwa budaya, suku, ras atau agama yang paling benar, selain itu tidak. Hal ini menimbulkan suatu problem yang sungguh-sungguh mendasar dan nyata dalam bumi Indonesia. Melihat fenomena ini, justru menampilkan suatu keprihatinan sosial dalam diri penulis untuk memberikan suatu paradigma sekaligus mendobrak sisi keegoan dari masing-masing doktrin yang cenderung menafikan budaya, suku atau pun agama tertentu. Penulis akan berangkat dari falsafah suku Riung yang sungguh-sungguh menekankan persatuan tetapi tidak menafikan perbedaan. Perbedaan menjadi suatu hal yang patut diperdebatkan melainkan menjadi suatu kekayaan yang darinya ada ke-saling-terhubungan satu sama lain demi tercapainya suatu tujuan bersama yakni bonnum commune. Tujuan penulisan paper ini ialah memperkenalkan falsafah orang Riung Inung Wae Riung Lemong S'dentot yang mengedepankan persatuan antara manusia dalam hidup bersama. Untuk melengkapi falsafah ini, penulis hendak membandingkan dengan konsepsi cinta kasih menurut Jalaluddin Rumi. Adapun tujuan dari pembandingan ini ialah mencari korelasi antar keduanya yang bisa dijadikan sebagai suatu pembelajaran bagi masyarakat Di Indonesia agar tercapainya masyarakat yang aman, tenteram dan damai.
B. 'Inung Wae Riung Lemong Sedentot' dalam kebudayaan orang Riung
1. Suku Riung
Suku Riung adalah salah satu suku yang mendiami wilayah Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia. Suku ini memiliki budaya yang kaya dan unik, di mana tradisi dan kebiasaan mereka masih dipertahankan hingga saat ini. Nurul Muhayat Dkk dalam Jurnal Jurnal Berdaya Mandiri memetakan wilayah suku Riung sebagai berikut:[2]
Secara geografis wilayah utara Riung berbatasan dengan Laut Flores, sebelah barat berbatasan dengan Desa Golo Ite sedangkan untuk wilayah timur dan selatan berbatasan dengan Kelurahan Benteng Tengah. Kelurahan Nangemese merupakan salah satu dari 12 kelurahan/desa yang berada di Kecamatan Riung di mana masyarakat yang berkembang berasal dari beberapa wilayah di Indonesia. Kelurahan Nangamese merupakan wilayah yang strategis, dimana beberapa kantor perangkat pemerintahan tingkat Kecamatan berdiri di wilayah ini. Segala administrasi dan pelayanan kependudukan Kecamatan Riung berada di kelurahan Nangamese. Sementara itu, jumlah penduduk di Kecamatan Riung tidak terlalu padat, terdiri dari 13.916 jiwa dengan luas daerah 103,19 km2. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kondisi sarana dan prasarana di Nangamese sudah lebih baik dari kelurahan atau desa lainnnya di Riung.
2. Pengertian Inung Wae Riung Lemong S'dentot
Inung Wae Riung Lemong S'dentot merupakan salah satu falsafah masyarakat Riung yang cukup terkenal di kalangan masyarakat sekitar kota Riung. Falsafah ini menjadi salah satu peninggalan orang-orang tua sebelumnya. Secara etimologis kata 'inung' diartikan sebagai minum, 'wae' artinya air, 'Riung' ialah nama kota itu sendiri, 'lemong' artinya lupa dan s'dentot artinya tiba-tiba. Jadi, Inung Wae Riung Lemong S'dentot berarti minum air Riung tiba-tiba lupa.
3. Dimensi dalam Falsafah Inung Wae Riung Lemong S'dentot
3.1 Yang Tertinggi
Falsafah Inung Wae Riung Lemong S'dentot sangat dipengaruhi oleh bagaimana orang Riung memandang Yang Tertinggi dalam agama disebut sebagai Tuhan. Orang Riung memandang Yang Tertinggi sebagai pencipta manusia dan alam semesta sekaligus sebagai pemegang kehidupan. Marianus Wele dengan mengutip (Bolong & Sungga, 1999) mengatakan bahwa:[3]
Orang Riung adalah orang yang menjunjung tinggi relasional sekaligus religius. Maka tidak jarang setiap kegiatan dalam masyarakat selalu diwarnai dan disertai Pintu Pazir (doa adat). Pintu Pazir adalah untaian doa adat yang dipakai oleh Mbo Nusi (leluhur, nenek moyang) yang mengekspresikan relasi dan mengungkapkan iman, harapan dan cinta kepada Yang Tertinggi. Bentuk doa kepada Yang Tertinggi berupa doa syukur, pujian, dan permohonan. Pintu Pazir merupakan penanda bahwa orang Riung mempunyai kerinduan untuk terus membangun relasi dengan Wujud Tertinggi.
Relasi dengan Yang Tertinggi inilah yang menjadi landasan dalam falsafah Inung Wae Riung Lemong S'dentot. Relasi dengan Yang Tertinggi mengingatkan Orang Riung bahwa mereka hanyalah manusia lemah yang diciptakan oleh-Nya. Sebagai sesama manusia yang lemah harus hidup rukun, tidak boleh terceria-berai, terpisah dan berjauhan agar terciptanya suatu hidup yang dipenuhi oeh kegembiraan sukacita dan kedamaian.[4] Kehidupan seperti inilah yang ditekankan dalam falsafah Inung Wae Riung Lemong S'dentot.
3.2 Manusia
Orang Riung memegang teguh konsep manusia sebagai makhluk sosial (sosial Being). Dimana, manusia tidak hidup sendirian melainkan selalu bersama dengan yang lain (others). Kebersamaan dengan orang lain menuntut manusia harus membangun suatu relasi dengan orang lain. Tuntutan menjalin relasi dengan orang lain bagi orang Riung terletak dalam Falsafah Inung Wae Riung Lemong S'dentot. Falsafah ini menuntut orang Riung untuk menjalin relasi dengan orang lain, tanpa kecuali dengan mereka yang berada dari luar suku. Dalam berelasi orang harus sampai pada Inung Wae Riung Lemong S'dentot. Artinya orang merasa betah, nyaman, merasa terlindungi, merasa tidak sendirian dan merasa diterima dengan baik.
3.3 Bahasa
Dalam membangun relasi dengan sesamanya, orang Riung menggunakan bahasa. Marianus Wele dengan mengutip (Bolong & Sungga, 1999) mengatakan bahwa:[5]
Dalam berkomunikasi orang Riung menggunakan dua bahasa yaitu Bahasa Indonesia untuk komunikasi situasi resmi dan bahasa lokal Riung untuk situasi tidak resmi dan dipakai dalam upacara adat. Bahasa lokal Riung juga digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Yang sana-sini mempunyai beberapa dialek yang berbeda satu sama lain.
Adanya penggunaan bahasa Indonesia dalam suku Riung ingin menegaskan bahwa, pertama, mereka sangat terbuka dalam menjalin relasi dengan orang lain (di luar suku). Kedua, ingin memperkuat konsep manusia sebagai makhuk sosial (sosial being) yang dipegang teguh oleh suku Riung. Ketiga, memaknai falsafah Inung Wae Riung lemong S'dentot dalam kehidupan sehari-hari bersama dengan yang lain.
3.4 Cinta kasih
Ajakan untuk hidup bersama dalam falsafah Inung Wae Riung Lemong S'dentot juga dilandasi oleh Cinta kasih. Hal ini dipengaruhi oleh relasi Orang Riung dengan Yang Tertinggi. Relasi tersebut mengajarkan Cinta kasih antar sesama manusia. Hidup yang dipenuhi oleh kegembiraan sukacita dan kedamaian lahir dari cinta kasih. Dengan adanya cinta kasih memampukan manusia untuk hidup bersama. Hidup tanpa adanya cinta kasih melahirkan suatu hidup yang dipenuhi oleh konflik, kebencian, kemarahan, kecemburuan dan kemurkahan.
4. Makna Falsafah Inung Wae Riung Lemong S'dentot
Makna artinya sesuatu yang dinyatakan oleh suatu kalimat. Djajasudarm mengartikan makna sebagai pertautan antara unsur-unsur dalam suatu bahasa.[6] Makna merupakan esensi dari studi bahasa. Jika demikian, maka pemakaian bahasa, termasuk falsafah Inung Wae Riung lemong S'dentot dipandang sebagai sebuah bentuk ekspresi yang mengandung makna.
Ungkapan Inung Wae Riung lemong S'dentot dijadikan sebagai falsafah dengan makna yang sangat mendalam, untuk menggambarkan perlakuan masyarakat Riung terhadap orang-orang dari luar daerah yang datang berkunjung. Falsafah ini sangat mengedepankan nilai humanis. Masyarakat Riung dituntut untuk tidak hanya menghargai dan menghormati sesama suku, daerah dan agama, tetapi juga dengan mereka yang berbeda. Hal ini bertujuan agar tercapainya kebahagiaan bersama sebagai sesama manusia. Setiap tingkah laku dan tutur kata diharapkan dijaga dengan baik agar mereka yang berkunjung merasa nyaman dan betah, Kenyamanan ini kalau bisa, membuat ia lupa akan daerah asalnya dan ingin tinggal disana selamanya. Dalam bahasa filsafat memanusiakan manusia (humanisme).
C. Jalaluddin Rumi
1. Biografi
Rumi Muhammad bin Hasin Al-Khattabi Al- Bakri[7] merupakan seorang Filsuf dari timur yang dikenal dengan Jalaluddin Rumi atau Rumi. Ia lahir pada 30 September 1207 Masehi di Balkhi yang sekarang adalah kota di Afghanistan bagian utara.[8] Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang berpengaruh di Balkhi. Ayahnya yaitu Jalaluddin Baha'uddin Muhammad atau dikenal dengan nama Baha Walad, adalah salah satu pemimpin teolog dan guru sufisme di Balkhi.[9] Sejak kecil, rumi sudah mulai diajarkan oleh ayahnya tentang ilmu agama dan ilmu klasik Arab-Persia. Bisa dibilang, ayahnya menjadi salah satu orang yang mempengaruhi Rumi dan pemikirannya.
Rumi wafat pada tanggal 17 Desember 1273 di Konya. Warisannya sebagai penyair, sufi, dan filsuf terus dikenang hingga hari ini. Karya-karya Rumi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan terus menginspirasi orang-orang di seluruh dunia dengan pesan cinta kasih, persatuan, dan pencarian spiritual yang mendalam.
2. Karya-karya Jalaluddin Rumi
Jalaluddin Rumi banyak sekali melahirkan pemikiran-pemikiran tentang spiritualitas dalam bentuk puisi dan cerita[10] selama masih hidup, namun pemikirannya tidak ditulis dan dicetak ke dalam buku olehnya. Pemikirannya banyak dicatat oleh muridnya kemudian diperiksa olehnya, seperti yang tertulis dalam Matsnawi dan Diwan-I Syams-I Tabriz.[11] Berikut karya-karya yang dihasilkan oleh pemikira Rumi:
2.1 Al-Majalis as-Sab'ah
Merupakan karya yang berisi gabungan dari khotbah-khotbah Rumi di berbagai masjid dan majelis-majelis keagamaan.[12] Disamping itu juga berisikan hasil dari pengembaraan hidup Rumi yang mempertemukan dirinya dengan sang guru, Syamsuddin al-Tabrizi.[13]
2.2 Majmu'ah min ar-Rasa'il
Karya ini berisikan sekumpulan surat yang ditulis Rumi kepada para sahabat dan kerabatnya.[14] Karya ini berisikan nasihat-nasihat Rumi kepada murid-muridnya berkenaan persoalan-persoalan amali (praktis) dalam ilmu tasawuf.[15]
2.3 Fihi Ma Fihi
Karya ini banyak berisikan percakapan Rumi dengan sahabat-sahabat dan murid-muridnya, dimana membicarakan persoalan-persoalan sosial dan keagamaan yang ditanyakan oleh murid-muridnya.[16]
2.4 Divan-i Syams-i Tabriz (lirik-lirik Syams Tabriz)
Divan-Syams-iTabriz adalah semacam sajak-sajak pujian seperti qasidah dalam sastra arab.[17] Karya ini banyak berisikan tentang Rumi yang mengungkapkan pengalaman serta gagasannya mengenai cinta transedental yang didapatkannya di jalan tasawuf.
2.5 Masnav-i Ma'nawi
Karya ini berbentuk sajak yang berisikan makna ajaran agama. Karya ini merupakan salah satu karya terbesar Rumi. Karya ini dibuat sebagai persembahan untuk memenuhi permintaan orang yang menjadi sumber inspirasi Rumi yang ketiga, Husamuddin Chelebi.[18]
3. Konsep cinta kasih dalam pemikiran Jalaluddin Rumi
Cinta menurut Rumi ialah sadar akan hadirnya Tuhan dalam diri alam semesta dan dalam diri sesama manusia. Menurut Rumi, cinta dalam diri manusia mengalami perkembangan sebagai berikut: pertama, memuja orang, wanita, uang, anak, pangkat dan tanah. Kedua, Memuja Allah. Ketiga, cinta mistis, dimana Tuhan dirasakan seutuhnya secara personal dan rohaniah.[19] Dalam diri manusia terdapat dua dimensi: Diri yang pertama adalah nafs yang rendah, yang merupakan diri yang palsu dan sering diidentikkan dengan hawa nafsu, sedangkan diri yang kedua adalah diri yang hakiki, yang di dalamnya terpancar Keindahan Tuhan. Penyucian jiwa dari nafs dilakukan dengan pengekangan diri, kerja keras dan kesungguhan diri.[20] Maka dari itulah, untuk menemukan Diri yang sesungguhnya, manusia harus membuang segala bayangan diri.[21] Dengan hilangnya bayangan itu, jiwa dapat berada bersama Tuhan.
Cinta menjadi unsur tertinggi dalam etika sufisme. Bagi Rumi, cinta adalah satu-satunya cara yang sah mendekatkan diri kepada Tuhan. Cinta tidak dapat diterangkan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dipahami melalui pengalaman. Cinta tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata tetapi semua manusia mampu membicarakan cinta. Cinta bukanlah hal yang bersifat materil oleh karena itu cinta hanya dapat ditangkap oleh hal-hal yang bersifat spiritual.[22] Tuhanlah sumber segala cinta dan ia hadir dalam diri sesama manusia dan alam semesta. Dia akan mengasihi sesamanya. Kekerasan di dalam kehidupan manusia tidak akan ada, jika manusia menyadari cinta kasih yang ada dalam hatinya. Pengosongan diri dalam konsep cinta Rumi menjadi penting, karena dengan pengosongan dirilah, manusia dapat mencinta Tuhan dan sesamanya tanpa syarat dan tanpa batas.
D. Korelasi Falsafah Orang Riung: 'Inung Wae Riung Lemong Sedentot' Dan Konsepsi Cinta Kasih Jalaludin Rumi