Lihat ke Halaman Asli

Perang Medang - Sriwijaya [Novel Nusa Antara]

Diperbarui: 21 Maret 2020   20:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ribuan prajurit.

Panglima perang Medang, Joko Wangkir, memacu perlahan kudanya melewati formasi pasukan Kerajaan Medang yang berbaris di kiri -- kanannya. Ia mengamati dengan seksama kesigapan para prajurit dan kelengkapan persenjataan yang mereka miliki. Prajurit muda memiliki pedang di pinggangnya serta belati di kakinya, sedangkan perwira dan komandan bebas memilih untuk menggunakan tombak, lembing, atau pedang. Kemampuan beladiri yang berbeda -- beda membuatku mengambil keputusan untuk membebaskan mereka.

Joko Wangkir menatap ke depan. Di hadapannya ombak dengan tenang menyapu ke atas daratan. Angin sepoi -- sepoi mengibas dedaunan pohon kelapa di Pantai Kalingga. Di sebelah kanannya berdiri istana Kalingga dengan keempat menara menjulang di pojok -- pojoknya. Sinar matahari senja memantulkan warna keemasan di permukaan laut.

Sungguh indah. Akankah ini menjadi lautan darah lusa nanti?

Seseorang di bawah pohon kelapa sedang menikmati air kelapa langsung dari batoknya. Joko Wangkir menghampirinya dan berharap orang itu segera berdiri, namun orang yang dimaksud tetap menikmati air kelapanya sembari menatap sang panglima.

"Kau ini beruntung. Luka lebam di kepalamu menjadi pengingat bagiku untuk tidak perlu menghajarmu lagi. Duduk sajalah, aku ingin membicarakan sesuatu."

"Apapun itu, panglima."

"Aku memintamu untuk menarik pasukanmu dari sini. Aku tahu kau ini adalah seorang yang sangat berani dan kau secara sukarela telah berjanji untuk menjadi pasukan terdepan. Tapi tidak perlu seperti ini. Tak perlu kau hadapi Sriwijaya di Pantai Kalingga. Iyang Taslim, Unggun Krama, dan Limawijaya sudah kuinstruksikan untuk mengatur barisan di dataran tinggi Dieng. Raka Saputro kusuruh untuk menjaga raja dan kotaraja. Bahkan Awan Senggana sudah menyiapkan pemuda -- pemuda desa seandainya pasukan kerajaan dikalahkan."

Anggabaya menggeleng.

"Mpu Panca berkorban di sebelah timur. Aku akan berkorban di sebelah barat. Seharusnya kau malu dengan dirimu sendiri, panglima. Harusnya kau berada di sini, bukan diriku."

"Tidak, Anggabaya, aku memiliki taktik yang lebih baik. Pasukan Sriwijaya tidak mengenal perbukitan Dieng. Kita bisa melakukan penyergapan mendadak di sana. Kau berada di sini, kau bunuh diri. Peran Mpu Panca berbeda. Kita berharap ombak ganas yang berada di daerah tebing terjal mengacaukan navigasi dan kemampuan bertempur pasukan laut Sriwijaya. Pasukan Mapala Senadi dan Harian Adhyaksa hanyalah pendukung saja."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline