Lihat ke Halaman Asli

Cornelis De Houtman [Novel Nusa Antara 3]

Diperbarui: 7 Mei 2019   12:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kita hanya melaju sepuluh knot saja. Angin ekuator sialan.

Sang petinggi dewan melangkah keluar dari kabin, bergerak menuju anjungan. Langkahnya berat, menghargai hawa panas dan penyakit yang dideritanya. Sebuah teleskop panjang berada di tangan kanannya. Ia mengarahkannya ke arah kanan, kemudian ke depan. Seseorang di sampingnya menyadari kehadirannya, dan memberikannya opini. Sebuah opini yang menghancurkan.

"Kita akan mati, bukan, Houtman? Inilah hari -- hari terakhir kita di muka bumi!"

Cornelis menyingkirkan teleskopnya, mendelik ke samping. Ia bertatap -- tatapan dengan orang itu, menantangnya dalam keberanian.

"Sepengecut itukah seorang lelaki yang mengaku -- ngaku berasal dari Tuhan?"

Lawan bicaranya tersenyum sinis, "Aku hanya seorang pelayan Plancius saja, Houtman, bukan orang suci. Dan orang suci itu sudah bukanlah orang suci lagi. Ia adalah seorang navigator, pembuat map. Akuilah hal itu, kau tidak akan membantahku!"

Cornelis memalingkan mukanya. Ia benar. Plancius bodoh itu dan Linschotenlah yang membuat kami menderita seperti ini. Mereka juga: Jan Carel, Henrik Hudde, dan Reynier Pauw. Ketika kukenang teriakan menggema di rumah Pauw, bahwa kami pasti akan menemukan pulau rempah dalam perjalanan ini, seakan -- akan Tuhan berada di sana dan tersenyum pada kami. Wewangian pala dan cengkih di udara pun dapat kucium saat itu.

Salah seorang awak kapal yang berada di haluan terbanting secara tiba -- tiba, membuat Cornelis dan kompatriotnya bergidik. Sang kompatriot bergegas menuruni tangga, namun Cornelis mencegahnya.

"Keyser! Tidak perlu menolongnya, ia sudah tidak bisa diselamatkan lagi!"

Keyser menoleh, "Apa maksudmu?"

Cornelis menunjuk orang yang dimaksud. Ia menggelepar di geladak. Mukanya sangat memelas, seperti menahan sakit yang teramat sangat. Air liur menggenang di samping wajahnya. Bibirnya kemerahan, pecah -- pecah. Seketika kemudian, ia tergeletak lemas. Dan saat itu juga, Cornelis mengutuk ide menuju Timur. Awak kapal yang lain menghampiri, dan dengan enggan mengangkat tubuh awak kapal itu melewati pagar kapal, melayang menuju lautan bebas. Seperti sudah terbiasa, para awak kapal itu kemudian bubar dan kembali menuju pekerjaannya masing -- masing. Namun langkah mereka berat, menahan sakit akibat bertemu dengan hawa panas dan kekurangan asupan air bersih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline