Lihat ke Halaman Asli

[Review Buku] "Max Havelaar"

Diperbarui: 5 Januari 2019   12:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kisah Max Havelaar dimulai dari karakter seorang makelar kopi di kota Amsterdam, Belanda, yang bernama B. Droogstoppel. Tuan Droogstoppel merupakan pebisnis kopi yang sukses, hidup berkelimpahan, dan memiliki keluarga baik -- baik serta taat kepada Tuhan. 

Dalam menjalankan bisnisnya ia selalu mengedepankan kebenaran, kejujuran, dan tentu saja, untung dan rugi. Jika ada sesuatu yang berada di luar penalarannya, maka Droogstoppel tidak segan -- segan untuk mempertanyakan dan mencari kebenarannya.

Pada suatu ketika, Tuan Droogstoppel menemui seseorang yang berpenampilan kumuh, mengenakan syal pada lehernya. Setelah mengingat -- ingat, ia mengenalnya sebagai teman masa kecilnya. Namun kini setelah melihat penampilan sahabatnya, yang kita sebut saja Mr Sjaalman karena mengenakan syal, Droogstoppel menghindarinya karena sahabatnya itu terlihat miskin dan tidak baik untuk kelangsungan bisnisnya. 

Perkiraan Droogstoppel tepat, karena keesokan harinya ia menemukan tumpukan manuskrip di depan rumahnya. Manuskrip -- manuskrip itu kepunyaan Sjaalman, dan ia memintanya untuk menerbitkan buku. Pada awalnya Droogstoppel tertarik, karena beberapa catatan di dalamnya adalah tentang informasi perdagangan kopi Hindia Belanda, seperti kopi Cirebon. 

Namun ternyata, setelah ia meminta kerabatnya untuk menyusun manuskrip -- manuskrip menjadi keutuhan cerita, ditemukan suatu kisah kelam yang terjadi jauh di daratan timur sana. Di sinilah kisah yang sebenarnya tentang Max Havelaar dimulai.

Max Havelaar mengisahkan tentang seseorang bernama sama, yang merupakan seorang asisten residen (wakil Belanda untuk pemerintahan kolonial, setara dengan bupati) di Hindia Belanda. Pada awalnya ia merupakan asisten residen di Natal, kemudian dipindahkan menuju Lebak karena permasalahan dengan Gubernur Jenderal. 

Menjabat mulai dari sangat muda, Max Havelaar mempertahankan idealisme dalam karakternya. Ia tidak tahan dengan penderitaan orang. Seringkali ia menderita karena mengorbankan diri, seperti meminjamkan uang kepada seseorang yang terjerat hutang rentenir. Akibatnya Max Havelaar dan istrinya hidup miskin. Namun ia tetap mempertahankan prinsip hidupnya.

Max Havelaar bukanlah orang bodoh. Ia tahu keputusannya sering merugikan diri sendiri. Ketika ia mulai menjabat sebagai asisten residen Lebak, ia mengumpulkan bupati dan para demang, kemudian mengucapkan sumpah untuk mempertahankan kebenaran sekuat tenaga. Menurut saya inilah salah satu kisah penting di buku ini. 

Orang -- orang menilai bahwa Max Havelaar merupakan buku yang membuka mata tentang kolonialisme di Indonesia. Sebagian besar buku sejarah (termasuk buku -- buku yang saya baca ketika SD dulu, hehe), menyatakan bahwa Belanda BERTANGGUNG JAWAB PENUH atas kolonialisme di Indonesia. Kenyataannya tidak seperti itu. Ucapan Max Havelaar di depan para pemangku jabatan pribumi memberi kesan bahwa mereka pun ikut andil dalam menindas rakyatnya sendiri.

Ucapan ini diperkuat dengan kisah -- kisah selanjutnya, seperti ketika bupati harus mempekerjakan ratusan orang di kebun tanpa bayaran untuk membayar upah kepada Belanda, dan ia sendiri mendapat porsi yang cukup besar. Gaya hidup mewah bupati membuatnya harus menyediakan pesta besar ketika Bupati Cianjur datang berkunjung, lagi -- lagi dengan mempekerjakan orang tanpa upah. 

Dan Max Havelaar memahami bahwa hidupnya dalam bahaya, ketika ia mengetahui bahwa asisten residen sebelumnya ada kemungkinan diracun oleh salah satu demang, akibat berupaya mempertahankan keadilan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline