Lihat ke Halaman Asli

Udayaditya Mahardewa 1 [Novel Nusa Antara]

Diperbarui: 2 Januari 2019   10:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sebuah kursi goyang bergoyang ke depan dan ke belakang.

Sudah dua hari berlalu sejak Udayaditya dan Balaputradewa menjejakkan kaki di istana Prambanan. Perlakuan orang -- orang di istana membuatnya betah. Udayaditya terkesan dengan ajudan yang selalu mengawalnya ketika ia melangkah kemana saja kakinya membawanya. Segala permintaannya terpenuhi. Ia tahu bahwa ia membawa tugas kerajaan dari Palembang, namun tentu saja ia ingin menikmati keramahan yang diberikan oleh kerajaan pamannya itu.

Sang pemuda melihat ke sekelilingnya. Dari atas kursi goyangnya ia dapat melihat halaman istana Kerajaan Medang yang luas. Di belakangnya adalah paviliun kerajaan tempat ia dan pamannya menginap, sedangkan jauh di hadapannya menjulang istana Medang yang megah. Tentu tidak dapat dibandingkan dengan istana Palembang, namun Udayaditya tidak berharap bahwa dirinya akan mendapati pemandangan yang mengagumkan. 

Halaman istana dikelilingi oleh paviliun -- paviliun lain di sisi -- sisinya, dan Udayaditya tidak berminat untuk menjelajahi lebih lanjut isi ruangan -- ruangan tersebut, setelah langkah pertama ke dalam salah satu ruangan pada hari pertama memperlihatkan rak -- rak buku tinggi yang membuatnya pusing. Namun hal itu tidak membuatnya kehilangan antusiasme. Taman Anyelir dan pemandian air panas merupakan salah satu hiburan yang menarik, selain berjudi di Pasar Kliwon. Permainan kertas bergambar sungguh menarik. Kau harus memiliki kemampuan intelektual yang baik, namun pada akhirnya tetap keberuntungan yang menentukan. Lagipula, manakah orang yang disebut Joko Tingkir itu?

Menggoyangkan kursinya ke depan dan belakang, Udayaditya mengingat -- ingat kembali ketika ia akan berangkat dari Pelabuhan Musi. Ia hanya berdua dengan pamannya, Balaputradewa, mengemban misi yang memenuhi pemikiran sang raja berbulan -- bulan lamanya. Sang raja benar -- benar bergumul ketika ia akan memberikan misi ini. Hal itu terlihat dari tindakannya yang mengadakan rapat pejabat dari sebulan sekali menjadi setiap minggu. Ia terlihat gusar dan bimbang ketika akan memberikan misi ini, namun tampaknya hampir seluruh pejabat kerajaan mendesaknya untuk segera melaksanakan misi.

Sebaliknya, Balaputradewa terlihat tenang ketika ia dipercaya untuk menjadi pemimpin untuk melaksanakan misi. Pemimpin apanya, anggotanya hanya aku dan dirinya. Udayaditya terkekeh -- kekeh sendiri ketika ia bersantai di atas kursi goyang di depan paviliun tamu istana Prambanan.

Tidak ada yang menyadari diriku ketika kami menambatkan perahu di Pelabuhan Kalingga. Semua perhatian tertuju pada Sang Otak. Semenakutkan itukah pamanku itu? Udayaditya mengingat -- ingat kembali ketika ia dan pamannya berada di Pelabuhan Kalingga. Balaputradewa turun terlebih dahulu dan menyapa para pasukan di barisan terdepan.

Tidak ada yang menyadari kehadiranku ketika aku keluar dari kabin. Ketika aku berjalan turun dari dermaga barulah seseorang berseru agar pasukan Medang bersiaga. Namun para prajurit kembali menurunkan senjata setelah melihat bahwa Udayaditya hanya seorang diri. Lebih lanjut Balaputradewa menjelaskan bahwa dirinya adalah keponakannya, dan ia hanya berdua saja dalam perjalananan menuju tanah Jawa. Udayaditya dapat melihat ekspresi kesal para prajurit ketika mereka menuju kereta istana. Nampaknya mereka mengantisipasi sebuah pertarungan besar.

Harus kuakui, aku memang belum menjadi siapa -- siapa. Seorang pemuda, di tengah masa puncaknya, Udayaditya lebih tertarik kepada pagelaran seni daripada ilmu beladiri dan taktik perang. Ia hanya sesekali ikut berburu, bahkan Vijayasastra mengeluhkan kebiasaannya absen pada pelajaran memanah. Sebenarnya hal ini dapat dimaklumi, mengingat ia merupakan keturunan dari seorang pelaku peran ternama yang biasa bermain di depan raja terdahulu, Dharanindra. Suatu waktu sebuah pertunjukkan dimainkan dan membuat hati seorang putri raja tertambat kepada sang pelaku utama. Ayahnya yang mengetahui, mengijinkan sang pemuda untuk menikahi putrinya, mengingat bahwa saudari -- saudarinya yang lain menikahi raja lain atau bupati kerajaan.

Raja kemudian menyadari bahwa setelah ia hanya memiliki satu anak laki -- laki saja, Samagrawira, penerus kerajaan Sriwijaya ada kemungkinan tidak dari garis keturunannya. Tidak ingin mengganggu keturunan yang memegang posisi penting di kerajaan kecil atau kabupaten lain, serta untuk menghindari terjadinya konflik perebutan tahkta, ia melakukan 'percobaan' dengan mencomot Udayaditya kecil yang berasal dari keturunan sang pelaku peran dan dianggap sebagai rakyat biasa namun memiliki darah raja sebagai cadangan penerus Balaputradewa. Hal ini tampaknya akan menjadi kenyataan, mengingat Sang Otak belum memiliki keturunan hingga sekarang. Memegang kerajaan terbesar di nusantara ini, sebuah kehormatan bagiku. Namun aku belum berpikir ke sana. Belum untuk saat ini.

Sebuah sosok dari jauh berjalan ke arahnya. Udayaditya dapat melihatnya sebagai seseorang yang sepantaran, memakai sari cokelat, bermuka bersih dan sopan dengan rambut terikat di belakang kepalanya, dan memakai alas kaki bertali. Rakai Pikatan. Calon penerus kerajaan saling bertemu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline