Lihat ke Halaman Asli

Rakai Pikatan 1 (Novel Nusa Antara)

Diperbarui: 12 Desember 2018   08:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hari itu merupakan hari yang panas di Kerajaan Medang.

Matahari bersinar terik, tanda waktu menunjukkan tengah hari. Seandainya aku bukan calon pewaris takhta, aku tidak akan melakukan ini.

Bentuk Candi Plaosan tidak pernah membosankan. Tidak begitu besar, namun memiliki tampilan yang elegan. Kuil utama terletak di tengah kompleks candi. Di keempat sudutnya berdiri empat pilar kokoh berbentuk tiang tinggi dengan ukiran kaligrafi Sansekerta. Dua patung anak kecil menandai gerbang masuk candi, diikuti dengan pohon yang memarkai jalan paviliun sebelum memasuki candi utama. Di dalam candi utama terdapat ruangan besar merupakan tempat untuk beribadah dan patung Buddha di paviliun utama. Oh, dan seorang putri kerajaan yang sedang bersemedi.

Sambil menunggu, Rakai Pikatan merenung. Sudah banyak yang terjadi di Kerajaan Medang pada satu tahun terakhir ini. Menarik, bagaimana Samaratungga bisa mempertahankan kerajaan. Sang Raja Edan, pikirnya. Namun Rakai Pikatan menghormati kharisma raja dan wibawa dalam pemerintahannya. Bagaimana tidak, pemberontakan sang Hyang Widhi Angkur berhasil ditumpas. Pemberontakan yang sudah lama meresahkan kini hanya tinggal sejarah. Bahkan keturunan sang Hyang Widhi Angkur ditumpas sampai ke anak cucu. Mengerikan memang raja ini, karena itulah aku menyebutnya gila, namun ia memang memiliki kualitas raja.

Kerajaan Medang memiliki wilayah yang tidak terlalu luas. Dari Kalingga hingga Kalasan. Wilayah Kerajaan Medang meliputi Dieng, Kedu, Merapi, dan kabupaten -- kabupaten lainnya. Kalingga dulu merupakan kerajaan sendiri, dengan Ratu Shima yang terkenal itu. Yang mencuri dipotong tangannya. Peraturan sinting. Namun efektif, pikirnya. Kerajaan itu berakhir di tangan dua orang adik kakak yang terkenal karena kehebatannya dalam bertarung dan meramu strategi. Tidak ada seorang pun yang tidak mengenal kedua orang tersebut di tanah Medang ini.

Matahari masih berada di tengah -- tengah cakrawala saat Pramodawardhani beringsut keluar candi utama. Rakai Pikatan segera menghampirinya.

"Nampaknya kau sangat menikmati persembahyanganmu, Sri Kahulunan" Rakai Pikatan membuka topik pembicaraan, berjalan berdampingan menuju pintu gerbang.

"Aku bersemedi, bukan bersembahyang, Mpu Manuku, dan terima kasih karena telah memanggilku dengan julukan yang diberikan rakyat kepadaku. Sang dewi pemberi, aku senang sekali mendengarnya." timpal Pramodawardhani.

"Sayangnya aku tidak senang dipanggil dengan nama asliku. Namaku sekarang adalah Rakai Pikatan." cetusnya sedikit kecewa.

"Oh, maaf, kalau hamba menyinggung hati tuan. Hamba hanya ingin mengingat latar belakang tuan, kelompok yang senang menghabiskan waktunya untuk mempelajari kitab -- kitab kerajaan dan sejarah -- sejarah para pembesar negeri, bukankah itu hal yang mulia, wahai kekasih?" goda Pramowardhani.

Kini ia menggodaku lagi. "Mpu Manuku terdengar kolot dan tidak cocok sebagai pewaris takhta kerajaan. Bayangkan jika para ajudan kelak memanggilku dengan sebutan mpu, bisa mati aku mendengarnya." jawabnya. Pramodawardhani tersenyum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline