Lihat ke Halaman Asli

Theodorus Tjatradiningrat

Pendeta dan Gembala Jemaat di GPdI House Of Blessing Jakarta

Pegangan Hidup sang Anak (Amsal 1:7-9)

Diperbarui: 12 Juni 2024   02:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi seorang perempuan sedang memegang balon di sebuah yacht. Sumber: Unsplash / Jonathan Borba

Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan. Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu sebab karangan bunga yang indah itu bagi kepalamu, dan suatu kalung bagi lehermu (Amsal 1:7-9).

Kompasianer yang terkasih, beberapa hari yang lalu putri kami genap berusia tujuh belas tahun, yang populernya disebut sweet seventeen. Tidak ada pesta perayaan, kami hanya makan malam di sebuah restoran sushi setelah sebelumnya dia didoakan di rumah. Usia tujuh belas tahun merupakan permulaan seorang remaja memasuki fase dewasa meskipun menurut berbagai literasi usia remaja itu antara 10-24 tahun. Saya mengamati bahwa ada kalanya putri kami sudah cukup dewasa dalam pemikirannya, tapi terkadang sifat kekanak-kanakannya masih terlihat, khususnya ketika dia berinterkasi dengan adik lelakinya yang berusia sebelas tahun. Namun demikian, saya dan isteri sudah harus membekali dia dengan prinsip-prinsip kehidupan yang benar menurut firman Tuhan agar dia siap menghadapi dunia di masa depan yang akan dia jalani sebagai perempuan Kristen yang dewasa.

Dari pembacaan ayat pokok di atas, saya mendapati dua hal terpenting untuk menjadi pegangan putri kami. Yang pertama, takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan (ayat 7). Di dunia masa kini, mustahil seseorang akan sukses tanpa pengetahuan, dan pengetahuan itu tentunya didapatkan dari lembaga pendidikan. Demikianlah hal ini berlaku juga bagi putri kami, dia wajib belajar di sekolah dengan tekun agar dia memperoleh pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan di generasinya. Menariknya, Kitab Suci menegaskan bahwa ada pengetahuan yang melampaui pengetahuan yang dikenal sebagai ilmu, dan itu bukan dimulai dari kemampuan berpikir manusia, tapi dari takut akan Tuhan. Perlu diketahui, bahwa takut akan Tuhan itu bukanlah takut dalam arti negatif, namun kita menghormati Tuhan sedemikian dalam sehingga kita takut untuk hidup terpisah dari-Nya.

'Pengetahuan' dari teks Ibrani daath yang artinya pengetahuan, dan pada konteks ayat 7 dalam arti tertinggi yaitu pengetahuan-Nya Tuhan. Kata daath dari kata yada yang artinya pengetahuan atau pengenalan dari pengalaman. Ini merangkum pembelajaran fakta, memahami realitas, dan menerapkan kebijaksanaan. Ini adalah kata yang mencakup segalanya untuk persepsi, pemahaman, dan keterampilan manusia dalam penerapannya. 'Permulaan' dari teks Ibrani reshith yang artinya pada mulanya. Kata reshith pertama kali ditulis sebagai kata pertama pada Kejadian 1:1 pada saat Allah menciptakan langit dan bumi. Dari sini kita memahami, bahwa segala sesuatu yang baik bermula dari Allah, demikian juga dengan ilmu pengetahuan akan alam semesta yang coba dipahami secara akademis sesungguhnya tidak bertentangan dengan iman (bandingkan Ibrani 11:3).

'Pengetahuan' (daath) pertama kali ditulis dalam Kejadian 2:9,17 yaitu mengenai pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Buah dari pohon pengetahuan itu tidak boleh dimakan karena konsekuensinya sangatlah berat yaitu mati (Kejadian 2:17; 3:19) dan terusir dari taman Eden (Kejadian 3:23-24). Tuhan telah menetapkan mana buah yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan, tetapi karena manusia dikaruniakan kehendak bebas, maka setiap keputusannya menjadi tanggung jawabnya sendiri. Jadi jelaslah, pengetahuan berdasarkan independensi manusia semata tanpa memulainya dengan takut akan Tuhan hanya membawa manusia kepada kebinasaan. Sebaliknya, pengetahuan yang dimulai dari takut akan Tuhan membawa manusia kepada kehidupan yang berbahagia. Pengetahuan yang berbasis iman kepada Tuhan bisa dijalankan dalam keseharian, tidak bertentangan.

Yang kedua, dengarkanlah didikan ayahmu dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu (ayat 8). Di sini peran kami sebagai orang tua sangat menentukan, kami di posisi aktif yaitu mendidik dan mengajar, sedangkan putri kami pada posisi pasif yaitu mendengar dan tidak menyia-nyiakan apa yang kami berikan kepadanya. 'Didikan' dari teks Ibrani musar yang artinya disiplin, didikan, koreksi. Dalam konteksnya, musar adalah tindakan seorang ayah untuk mendisiplin, mendidik, dan mengoreksi anaknya agar dia memiliki hikmat dalam hidupnya. Sedangkan 'ajaran' dari teks Ibrani torah yang dalam konteks di sini artinya instruksi. Itu berarti tugas seorang ibu adalah memberikan instruksi kepada anaknya tentang bagaimana dia harus menjalani hidup sebagai seorang yang takut akan Tuhan. Saya dan isteri adalah yang harus menjadi teladan pertama bagi putri kami dalam mempraktikkan hal-hal tersebut.

Kami sadar, bahwa dunia di era kami berbeda dengan eranya putri kami. Untuk itu, di usia tujuh belas tahun di mana putri kami masih labil karena belum dewasa sepenuhnya, maka kami harus memberikan dia kesempatan untuk belajar takut akan Tuhan melalui Kitab Suci, belajar kehidupan dari kami, orang tuanya, dan belajar ilmu pengetahuan di sekolah dengan kebebasannya untuk berpikir dan bertindak lebih kritis, lebih dewasa dan lebih mandiri. Namun, kebebasan tersebut harus disertai dengan tanggung jawab moral karena ada konsekuensi yang akan dia terima, apakah yang baik atau yang buruk. Itu sebabnya, kami sebagai orang tua harus hadir dan mendampingi masa remajanya agar dia menjadi seorang yang dewasa secara rohani dan mantap dalam pengetahuan.

Happy 17th birthday to our beloved daughter, Lord Jesus bless you. Amen.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline