Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Pelajar Tidak Boleh Bergantung Sepenuhnya pada ChatGPT?

Diperbarui: 28 Oktober 2024   20:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tangkapan layar chatgpt.com


Dalam sejarah peradaban dunia, teknologi telah melakoni peran yang sangat penting dalam membentuk bagaimana manusia berpikir, bekerja, dan berkomunikasi satu dengan yang lain. Di era modern dewasa ini, kemajuan teknologi digital semakin mempercepat transformasi signifikan dalam kehidupan manusia, terutama di bidang pendidikan. Salah satu inovasi terbaru yang mencerminkan kemajuan ini adalah kehadiran ChatGPT, sebuah kecerdasan buatan yang diciptakan untuk mengamati dan meniru bahasa kita (ingat metode ATM!) dan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita dalam waktu singkat.
ChatGPT 
hadir sebagai 'asisten' belajar yang memudahkan kita, sebagai pelajar, untuk mengakses berbagai pengetahuan hanya dengan mengetikkan beberapa pertanyaan. ChatGPT tidak hanya mempercepat proses pencarian informasi, tetapi juga berpotensi meningkatkan pemahaman kita dalam berbagai subjek. Dalam dunia yang serba cepat, ChatGPT menawarkan solusi bagi efisiensi waktu dan memungkinkan kita mendapat wawasan dari sudut pandang yang lebih luas. Namun, meskipun kehadirannya memberikan manfaat yang tidak dapat kita pungkiri benar adanya, ketergantungan yang berlebih terhadap kecerdasan buatan ini dapat menimbulkan tantangan baru bagi perkembangan kemampuan intelektual pelajar.

Bagaimana Pelajar Menyalahgunakan ChatGPT? 

ChatGPT acap kali disalahgunakan oleh para pelajar sebagai 'jalan ninja' untuk menyelesaikan tugas dan mendapatkan jawaban cepat tanpa melalui proses pembelajaran yang sebenarnya. Alih-alih menggunakan ChatGPT sebagai alat bantu untuk memahami materi pelajaran, banyak pelajar menggunakannya secara berlebihan sebagai pengganti penelitian yang telah dipublikasi atau pemahaman mereka secara pribadi. Misalnya, ketika diberikan tugas esai, beberapa pelajar cenderung langsung meminta pada ChatGPT untuk menulis isi esai atau merangkai argumen, sehingga menghindari proses berpikir kritis yang sangat diperlukan dalam mengembangkan gagasan dan wawasan mereka sendiri dalam berargumen. Meski dapat memberikan solusi instan, ketergantungan ini menghambat pembentukan kemampuan untuk menganalisis yang seharusnya berproses melalui pengamatan dan pemikiran pribadi.
Selain itu, ChatGPT kerap digunakan sebagai alat untuk menghasilkan jawaban yang serba mudah dan serba cepat dalam ujian atau tugas yang bersifat pribadi, yang pada dasarnya adalah bentuk plagiarisme secara digital. Pelajar yang menggunakan ChatGPT untuk menjawab pertanyaan ujian atau kuis secara daring (online) sering kali dengan menyalin jawaban yang diberikan tanpa memastikan dan memahami isinya. Akibatnya, mereka mendapatkan nilai tanpa benar-benar memahami materi pelajaran, sehingga proses pembelajaran yang seharusnya berproses berubah menjadi sekadar hanya untuk mendapatkan nilai semata. Pada akhirnya, tindakan ini merugikan pelajar itu sendiri, karena mereka kehilangan kesempatan untuk melatih kompetensi mereka dalam menyerap dan memproses informasi dengan baik.
Selanjutnya, banyak pelajar yang menggunakan ChatGPT untuk menghindari pengembangan keterampilan penting seperti menulis dan merangkai argumen. Dalam tugas-tugas menulis, keterampilan ini penting untuk dikuasai, karena melibatkan pikiran, perasaan, kreativitas, dan perpaduannya dalam menyampaikan gagasan. Namun, karena kemudahan yang ditawarkan oleh ChatGPT, beberapa pelajar memilih untuk meminta ChatGPT merumuskan kalimat atau bahkan paragraf lengkap, yang menyebabkan mereka kehilangan kesempatan untuk berlatih merangkai kata, menyusun argumen, dan mengembangkan gaya bahasa menurut selera diksi mereka sendiri. Akhirnya, penggunaan ChatGPT yang berlebih juga dapat menciptakan pola pikir bahwa semua jawaban dapat diperoleh dengan mudah tanpa usaha keras atau proses belajar yang mendalam.
Ketika pelajar terlalu sering menggunakan ChatGPT, mereka dapat menjadi kurang terbiasa dengan proses yang sebenarnya diperlukan untuk memahami topik secara utuh, seperti membaca sumber asli, melakukan analisis, dan mencari kesimpulan sendiri. Hal ini tidak hanya berdampak pada hasil akademis, tetapi juga berisiko melemahkan etika kerja dan keinginan pelajar untuk belajar dan menggali wawasan sedalam-dalamnya. Akibatnya, mereka mungkin kurang termotivasi untuk berusaha keras memahami pelajaran, karena mereka terbiasa menerima jawaban instan dari ChatGPT tanpa menyadari bahwa pemahaman mendalam memerlukan usaha lebih dari sekadar mengetikkan pertanyaan.

"Kalau kita menulis pakai ChatGPT, maksudnya ChatGPT yang menulis buat kita, lama-lama kita tidak punya rasa tahu mana tulisan yang bagus, mana tulisan yang tidak bagus. Jadi, kalau kita terus bilang [pada] ChatGPT, kita sendiri tidak bisa menilai mana yang bagus, mana yang tidak bagus. Nah, kalau kita bersedia kehilangan naluri untuk menilai mana yang bagus, mana yang tidak bagus, silakan pakai ChatGPT." -Prof. Stella Christie, Ph.D., Wamendiktisaintek RI 

Mengapa Kita Tidak Boleh Bergantung Sepenuhnya pada ChatGPT?

Ketergantungan penuh pada ChatGPT dapat menghambat pengembangan kemampuan berpikir kritis pelajar. Dalam proses belajar, penting bagi seorang pelajar untuk menganalisis dan mengevaluasi informasi secara mendalam, bukan hanya sekadar menerima jawaban yang serba cepat dan mudah. Saat kita mengandalkan ChatGPT, sering kali jawaban diterima tanpa proses evaluasi, yang menghambat pertumbuhan pemikiran kritis kita. Padahal, kemampuan ini sangat kita perlukan dalam menghadapi kerumitan problema dalam berbagai bidang. Tanpa berpikir kritis, pemahaman pelajar cenderung dangkal dan mudah terbawa pada jawaban yang tampak benar, namun belum tentu tepat.
Di sisi lain, penggunaan ChatGPT yang terlalu berlebih berisiko melemahkan kemampuan menulis dan komunikasi. Saat kita meminta ChatGPT untuk menyusun tulisan, kita bisa saja tidak mengalami proses kesempatan untuk berlatih menyusun kata demi kata dan membangun argumen mereka sendiri berdasarkan pada apa yang kita pahami. Keterampilan menulis yang baik tidak hanya bergantung pada pengetahuan, tetapi juga pada latihan dan pengalaman. Dengan bergantung pada jawaban yang sangat instan, kita menjadi kurang terlatih dalam mengungkapkan gagasan dengan cara dan logika kita sendiri. Akibatnya, kemampuan komunikasi kita menjadi cenderung lemah, padahal komunikasi yang efektif sangat dibutuhkan di dunia kerja dan realita.
Selain itu, ChatGPT tidak selalu memberikan informasi yang akurat atau relevan dengan konteks yang diinginkan, sehingga ketergantungan penuh pada teknologi ini berisiko memberikan pemahaman yang keliru dan rada-rada salah. Algoritma kecerdasan buatan hanya berbasis pada data yang telah dilatih dan diberikan sebelumnya yang belum tentu selalu sesuai dengan situasi atau konteksnya. Pelajar yang menerima jawaban tanpa mengevaluasi kontennya bisa saja terpengaruh oleh informasi yang salah atau tidak sesuai. Evaluasi konten sangat penting, terutama dalam topik-topik yang memerlukan ketelitian dan pemahaman yang mendalam. Ketergantungan tanpa pengecekan ulang (recheck) hanya akan menimbulkan kesalahan bagi siswa dalam memahami materi.
Ketergantungan pada ChatGPT juga dapat berpotensi meningkatkan risiko plagiarisme, terutama jika siswa menggunakan jawaban tanpa melakukan adaptasi atau parafrase. Plagiarisme tidak hanya merugikan secara akademis, tetapi juga menurunkan integritas pribadi pelajar. Menggunakan jawaban secara langsung dari ChatGPT tanpa diolah atau dipelajari ulang menjadikan hasil karya tidak orisinil. Siswa kehilangan peluang untuk mengembangkan ide-ide asli dan otentik yang berasal dari dalam diri mereka sendiri, dan menghambat mereka untuk menggali kreativitas mereka sendiri. Akibatnya, ketergantungan ini dapat menciptakan kebiasaan buruk yang bertentangan dengan etika akademik.
Pada akhirnya, melalui kemudahan akses terhadap jawaban yang sangat cepat dan instan, motivasi siswa untuk belajar secara mandiri bisa berkurang. Siswa mungkin merasa tidak perlu mencari atau memperdalam materi karena semua jawaban bisa ditemukan dengan cepat melalui ChatGPT. Selain itu, keterampilan logika mereka juga tidak terasah karena jawaban yang diberikan ChatGPT tidak selalu selaras dengan pola berpikir logis yang seharusnya dimiliki siswa. ChatGPT juga tidak dapat dengan sempurna memahami nuansa budaya atau konteks lokal, sehingga kerap kali jawabannya menjadi kurang tepat atau dangkal. Tanpa dorongan untuk berusaha memahami, siswa tidak akan terlatih dalam analisis dan pembelajaran yang lebih mendalam secara pribadi.

Jadi, ...

Dalam dunia yang serba cepat ini, kehadiran teknologi seperti ChatGPT jelas membawa manfaat besar, terutama untuk mempermudah kita dalam mengakses informasi. Namun, sebagai pelajar, kita tidak boleh melupakan bahwa proses belajar bukan hanya tentang mendapatkan jawaban atau nilai yang bagus, tetapi juga tentang proses kita dalam mengasah kemampuan berpikir kritis, menulis, dan berkomunikasi yang sejatinya membutuhkan proses yang mendalam dan latihan terus-menerus. Ketergantungan yang berlebihan pada ChatGPT dapat menghambat kemampuan kita untuk berpikir secara mandiri, menyusun gagasan yang berasal dari pikiran kita sendiri, dan menjaga integritas akademik yang seharusnya kita jaga dengan sepenuh hati. Teknologi adalah alat bantu yang seharusnya mendukung, bukan menggantikan proses belajar yang sesungguhnya. Oleh karena itu, mari gunakan kecerdasan buatan dengan bijak, tanpa bersedia kehilangan pengembangan karakter, etos kerja, dan keinginan belajar mandiri yang akan menjadi bekal bagi kita dalam menghadapi tantangan di masa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline