Lagu-lagu masa Adven bergema lembut dalam ruangan. Pohon Natal dan hiasannya belum dipasang di ruang tamu, namun aroma kue dari tetangga memenuhi rumah, dan membawa kembali memori ke masa lampau.
Seperti majik yang menghadirkan kembali kenangan-kenangan indah di masa kecil, antara aroma kue kering dan aroma arang kayu yang diletakkan pada bagian atas pemanggang kue.
Antara kandang natal sederhana yang dibuat dari lumut, sisa kantong semen yang dicat, dan dahan cemara sebagai pohon Natal, tanpa lampu. Hanya lampion kertas minyak yang tergantung di pintu rumah setengah tembok kami, sesekali berkilau terkena cahaya lampu petromaks.
Kue yang terasa istimewa
Pada era tahun 70an hingga akhir 80an, di kampung Saya, Ruteng Flores, kue kering untuk Natal benar-benar menjadi benda yang sangat istimewa. Untuk menyajikannya pun hanya setahun sekali, itupun kalau ada uang yang disisihkan.
Biasanya mama membuatkan kue ‘taart’, cake yang terbuat dari mentega terbaik dan kuning telur ayam kampung, dibakar di atas kompor yang juga hanya dikeluarkan setahun sekali untuk membuat kue taart. Sisanya mama memilih masak menggunakan tungku tradisional.
Rumah kami yang biasanya selalu ramai menjelang hari Natal, karena sepupu kami akan tinggal, berkumpul bersama, bahkan hingga tahun baru.
Biasanya kami akan duduk manis dengan setia di atas tikar yang hangat, menunggu taart buatan mama dikeluarkan dari oven. Tidak sabar menunggu kue keluar dari loyangnya.
Ketika taart diletakkan di piring, aroma frambozen menyeruak lembut. Sungguh kami tidak sabaran, dan....sebentar kemudian sisa-sisa taart yang menempel di loyang, sudah berpindah ke perut kami. Enak sekali rasanya.
Sebagai kompensasinya, kami harus mencuci loyang tersebut karena akan dipakai kembali, uhh...padahal airnya sedingin es!
Kue kering jadul yang ikonik
Kue kering saat itu sangat terbatas, kami belum mengenal aneka jenis kue kering seperti saat ini. Saat itu, kue kering yang tersedia di toples hanya ada beberapa jenis saja.