Aku
Aku, seperti hari kemarin, masih berdiri di sini, di ujung persimpangan. Sesak di dadaku belumlah sirna, meski kudengar ada namaku disebut dalam doamu.
Katamu, aku selalu penuh semangat. Impianku penuh seperti cahaya bulan yang memenuhi lingkaran harapan.
Aku, tertawa riang. Seperti matahari pagi yang memberi kehangatan dan mempengaruhi dunia di sekelilingku. Begitu katamu. Lalu ketika aku menuliskan kata-kata manis yang kulukiskan di dinding semesta, kamu pun hanya tertawa.
Aku, sedikit kekanakan. Sedikit tidak peduli, namun selalu ingin dimanja. Katamu aku egois. Namun seberapa pun jauh aku melangkah pergi, aku tidak pernah benar-benar pergi.
Aku selalu menunggu pelukanmu yang hangat dan menenangkan.
Kamu
Kamu, teguh dan penuh dedikasi. Tegas dan tidak pernah ragu mengambil keputusan.
Memiliki ambisi besar dan tak pernah ragu mengejar mimpimu. Dalam perjalananmu mencapai sukses, tak urung kamu melupakan arti dari cinta.
Kamu terlampau takut jika cinta akan menghalangi ambisimu dan menjadikanmu lemah. Kamu, kerap melihatku dari kejauhan, tapi tak pernah berani mendekat.
Kali ini kamu menyapa, .........bukan, kamu hanya terdiam, lebih tepatnya. Padahal aku menangkap riuhnya isi kepala, terhimpitnya rongga dada yang sisa sesaknya membuatmu megap.
Ah, kamu ternyata tidak baik baik saja.