Matahari makin meninggi. Teriknya terasa menembus wajah, meski telah dilindungi topi dan kacamata. Angkutan BUMDes yang kami tumpangi, meluncur cepat di jalanan yang berdebu.
Kami melintasi deretan pohon pisang luan yang bergerak berlawanan. Sesekali, sungai yang mulai mengering menyambut perjalanan kami.
Angkutan milik desa ini kemudian berhenti tepat di jalur sungai kecil yang terletak di perbatasan Kabupaten Malaka dan Timor Tengah Selatan. Kami kemudian turun sambil membawa perlengkapan 'perang' untuk memeriksa jentik nyamuk. Cidukan dan pipet plastik!
Lintasan sungai yang panjang disusuri dengan hati-hati. Mencari jentik nyamuk penular malaria, jentik Anopheles. Mencari di sela-sela serasah daun dan ranting. Pada lubang bekas tapak kaki manusia atau hewan, juga pada air yang tergenang.
Setiap genangan air yang ada, diciduk dan diamati apakah ada jentik itu di dalamnya. Ingin mendapatkan jawaban, mengapa malaria masih ada di tempat itu, padahal gaung eliminasi malaria sudah kian mendekat di depan mata.
Rencana eliminasi yang tertunda
Malaria masih menjadi momok menakutkan, tidak hanya di Indonesia, namun juga di dunia internasional. Kemudian hal ini menjadi sorotan ketika dana yang dikucurkan telah begitu banyak dihabiskan, namun pergerakan angka kesakitan malaria menuju titik terendah masih membutuhkan upaya yang luar biasa.
Target Provinsi NTT untuk eliminasi malaria pada tahun 2023 pun, ternyata masih sebatas mimpi penuh harap. Harus menunggu hingga tahun 2025. Pasalnya, ada beberapa wilayah di provinsi ini yang turut menyumbang warna merah pada peta sebaran malaria di Indonesia.