Memiliki seorang asisten rumah tangga (ART) yang melayani dengan sepenuh hati adalah harapan bagi setiap orang yang membutuhkan bantuan mereka. Banyak yang mendapatkan ART sesuai impian, namun tidak sedikit yang merasa kecewa bahkan trauma dengan keberadaan ART.
Kami memiliki banyak pengalaman dengan kehadiran ART di tengah kehidupan kami. Beberapa tahun lalu, saat anak-anak masih kecil, kami juga mempekerjakan ART.
Mengurus tiga orang anak dengan kebutuhan mereka masing-masing dan juga kesibukan kami berdua membuat banyak pekerjaan rumah tangga tertunda.
Seberapa besar pun usaha yang dilakukan untuk membagi waktu antara urusan pekerjaan, bersih-bersih rumah, mencuci, setrika, memasak, membantu anak mengerjakan PR, tetap saja kewalahan.
Tidak urung, meskipun badan terasa lelah, sinar mata kurang dari 5 watt, harus tetap bertahan untuk membereskan pekerjaan yang belum tuntas. Mata panda pun tak terelakkan, karena kurang istirahat.
Akhirnya, setelah berdiskusi cukup panjang dan menghitung kondisi keuangan yang ada, jadilah kami memutuskan untuk mencari ART. Dalam waktu sekian tahun, ART selalu gonta ganti.
Ada yang cocok, cukup lama bekerja hingga tiga tahun, ada yang hitungan bulan, bahkan ada yang hanya seminggu, menghilang bersama barang-barang yang mudah dibawa. Alamak!
Mengorbankan perasaan agar ART betah bekerja
Pada awal ART bekerja, nampaknya semua berjalan lancar. Pekerjaan beres, anak-anak senang, hidup majikan pun tenang. Mungkin ini dilakukan untuk memberi kesan yang baik bagi pemilik rumah. Tidak mengapa, yang penting semua berjalan lancar.
Seiring waktu berjalan, keadaan ini mulai sedikit berisik. Mengganggu ketenangan, ketika anak-anak mulai melaporkan tentang ketidakberesan yang terjadi, misalnya mereka sering dimarahi ART atau dicubit.