Terjebak dalam cinta segitiga memang menjadi hal yang sedap, perih, namun kadang bikin nyengir. Apalagi kalau yang menjadi saingan adalah perempuan yang juga sangat dicintai oleh orang yang kita cintai. Siapa lagi kalau bukan ibunya.
Dua puluh lima tahun yang lalu Saya juga mengalami hal yang sama, ketika Saya dan Ben sedang saling jatuh cinta. Layaknya orang yang sedang jatuh cinta, kami berdua ingin menunjukkan pada dunia bahwa kami bahagia, bahwa kami memang layak untuk dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Sampai di situ, tidak ada masalah.
Masalah kemudian mulai bermunculan saat ayah mertua Saya meninggal dunia, dan kami berdua mulai menjalani kehidupan perkawinan. Karena kondisi ekonomi yang belum stabil, jadilah kami menumpang di pondok mertua.
Perang dingin sering terjadi. Pada satu sisi, Saya merasa ingin diterima dalam keluarga, namun pada sisi lain mungkin ibu mertua juga merasa bahwa Saya adalah orang yang harus belajar memahami kondisi yang dihadapi.
Ben, adalah orang yang paling menderita, Saya kira. Pada saat bersamaan, dia harus menghadapi ibunya dan istrinya sekaligus. Bingung kan, mau membela yang mana?
Menyatukan dua isi kepala yang berbeda, beda jaman, beda kebutuhan akan perhatian, menjadikan hal itu tidak mudah baginya. Keegoisan dan keras kepala Saya saat itu juga membuat kepalanya tambah mumet.
Beberapa kali terjadi perundingan meja tak bundar ~demikian Saya menyebutnya~ untuk memenuhi tuntutan isi kepala Saya yang juga harus ditumpahkan.
Saya adalah tipe orang yang tidak bisa basa-basi, kalau ada yang harus diluruskan, harus dibicarakan saat itu juga. Untungnya, Ben adalah laki-laki yang penyabar.
Namun, Saya lupa kalau orang yang Saya hadapi adalah ibu dari suami Saya, yang saat itu sedang belajar mengendalikan rasa kehilangan karena ditinggal oleh ayah mertua.
Banyak cerita lucu terjadi