Lihat ke Halaman Asli

Limbo

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit gelap, tapi belum terlalu suram, karena jalan masih diterangi bintang dan lampu kota. Sementara itu, sepeda motor keluar dari lorong sempit berbatu. Blaze menungganginya dengan penuh konsentrasi. Terlihat jarum spidometer menunjukkan 20 km per jam. Percakapan sederhana. Suara datar-datar.

Memasuki jalan raya, kecepatan bertambah: 40 km per jam. Kendaraan bermotor saling-silang. Suara mulai sayup, campur-baur. Ucapan Blaze makin kabur ditiup angin, ditubruk kendaraan bermotor atau singgah di pepohonan pinggir jalan.

Visualisasi agak longgar. Motor punya kesempatan lari lebih kencang lagi. 60 km per jam. Kini aku melihat di kaca spion, sepasang matanya mengawasi mobil yang seakan menghadang laju sepeda motor milik Blaze. Kecepatan tak berkurang, bahkan ketika motor berjarak sejengkal dengan kendaraan lain.

Bibirku diam, tak bersuara, tapi tidak dengan otakku. Ada ketakutan dan ketegangan yang percuma dijelaskan secara verbal. Barangkali aku sedang berdoa. Semoga mantra-mantra surgawi bisa tepat sasaran, tak terhalang kencang angin dan kecepatan motor.

***
Yang terlihat hanya cahaya putih. Silau. Mataku sampai terpejam dibuatnya. Ketika terang itu mulai redup, aku menyaksikan bidadari atau malaikat atau sejenis itu, yang biasa muncul di film-film Hollywood. Pirang, tinggi semampai dan berbody gitar Spanyol. Cantik. Tentu saja perempuan.

Tarian dan senyum yang diumbarnya sudah pasti ditujukan untukku. “Hai, Them!” Perlahan didekatkan tubuhnya, dengan tangan yang mengulur, seperti mengajakku ke suatu tempat. Walau belum mengenalnya, kupikir tak buruk bertualang dengan gadis secantik dia.

“Tapi, kita belum berkenalan, setidaknya aku belum tahu namamu - meski kau sudah. Rasanya itu tak adil, bukan?”

“Kamu terlalu banyak nonton film, Them. Kenapa aku perlu nama, sementara aku bukan sosok yang sering ditemui dan disapa. Bahkan, wajahku ini kamu konstruksi dari kotak elektronik bernama televisi. Terserah, kamu memanggil apa, tak ada artinya untukku.”

Jelas aku bingung dengan pengakuan barusan. Meski nada bicara terdengar ramah, namun tak nampak kesan bersahabat dari makhluk cantik ini. Tangannya yang masih terulur dengan cepat kutangkap. “Baiklah, aku akan memanggilmu Peri, supaya percakapan kita bisa berlangsung lebih ringan.”

Sekarang, kami sudah bergandengan tangan. Tanpa kusadari, ia telah mengangkatku hingga ke langit, tanpa rasa takut sedikitpun. “Bagaimana rasanya terbang sambil menyentuh awan?” Peri bertanya tanpa menatap wajahku. Sulit mendeskripsikan tindakannya: di antara keramahan laku dan kesombongan kapabilitas.

“Mungkin kau bisa berikan cemilan dan segelas soft drink? Biasanya, pramugari memberi layanan ekstra untuk penumpang,” aku coba menggodanya, namun tak digubris. Mungkin ia terlalu sibuk berenang di udara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline