Lihat ke Halaman Asli

Hentikan Intimidasi Rekrutmen Anggota PGRI

Diperbarui: 21 Desember 2015   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Zaman sudah berubah, namun tidak demikian halnya dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Organisasi profesi guru tertua ini masih tetap menggunakan cara-cara lama dengan intimidasi dalam merekrut anggota. Padahal, sejak reformasi bergulir pada 1998, organisasi guru tidak lagi tunggal. Mungkin karena terlalu dekat dengan pusat kekuasaan, pengurus PGRI terkena amnesia bahwa orde baru sudah runtuh.

Praktik intimidasi di era reformasi itu masih terjadi. Simak saja tulisan Mochamad Syafei, seorang guru di Jakarta yang secara tegas menolak PGRI. Meski datanya lama sekitar tahun 2011, namun itu masih relevan hingga kini. Ia terang-terangan mengaku dipaksa menjadi anggota PGRI. Alasannya sederhana, organisasi itu dikuasai oleh birokrat pendidikan. Sehingga jika terjadi masalah antara guru dengan sang birokrat, dapat dipastikan PGRI lebih berpihak pada sang birokrat.

Penilaian Syafei tidak sendirian. Hasil evaluasi Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), dua tahun silam menyimpulkan pengekangan terhadap kebebasan guru dalam beroganisasi marak terjadi di berbagai daerah. Ini dikarenakan banyak birokrat pendidikan di daerah adalah pengurus PGRI. Padahal, dalam UU No.14/2005, pasal 1 butir (13) jelas disebutkan bahwa organisasi guru harus diurus oleh guru, bukan mantan guru, birokrat pendidikan apalagi politisi.
Padahal ketika pengurus PGRI menjabat birokrat pendidikan, akan terjadi konflik kepentingan. Apalagi jika dipimpin politisi yang pasti PGRI akan lebih bermain politik ketimbang memperjuangkan aspirasi anggota. Masih menurut FSGI, para guru yang kritis dan berani memilih organisasi guru selain PGRI di daerah-daerah tersebut mengalami bermacam-macam intimidasi seperti dihambat urusan kedinasannya, kenaikan pangkatnya sampai mutasi. Bahkan, ada aktivis FSGI di Mataram dalam satu tahun mengalami tiga kali mutasi.
Praktik intimidasi itu sebenarnya jauh melenceng dari AD/ART PGRI sendiri. Dalam Anggaran Dasar Bab XI tentang Keanggotaan, Hak, dan Kewajiban disebutkan bahwa : “Yang dapat diterima menjadi anggota PGRI adalah warga negara Republik Indonesia, yang dengan sukarela mengajukan permohonan menjadi anggota serta memenuhi persyaratan dalam Anggaran Rumah Tangga”.

Pedoman tertinggi dalam organisasinya sendiri menyebutkan bahwa keanggotaan bersifat sukarela. Artinya, tidak boleh ada paksaan dalam perekrutan anggota. Para guru juga boleh bergabung dengan organisasi selain PGRI. Kedekatan dengan birokrat pendidikan di banyak daerah, seharusnya tidak menjadikan PGRI mimpi buruk bagi para guru.

Jika tidak ingin dilibas zaman, sudah saatnya organisasi konsisten dengan aturan yang dibuatnya sendiri. Bagaimana mau memperjuangkan kepentingan anggota, jika mereka tidak bisa taat pada aturannya sendiri. Hentikan praktik intimidasi dalam perekrutan anggota PGRI sekarang juga. Biarkan guru bernaung di bawah organisasi yang sesuai dengan nuraninya. Jangan lagi ada paksaan untuk menjadi anggota PGRI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline