Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo melontarkan kritik pedas kepada pemerintah terkait persoalan pendidikan. Kritik itu dilontarkan kurang dari sepekan menjelang peringatan Hari Guru pada 23 November.
Sulistiyo mengatakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai leading sektor penanggung jawab pendidikan malah menggiring peserta didik ke proses yang tidak substantif. Contohnya, dalam rangka Hari Guru, Mendikbud Anies Baswedan mengerahkan murid untuk memberikan bunga kepada guru dan menulis surat kepada presiden.
"Satu tahun pemerintahan Jokowi belum terlihat arah yang jelas bidang pendidikan ini. Kemendikbud malah mengambil kebijakan yang berbuih-buih," kata Sulistiyo dalam Dialog Kenegaraan "Upaya Mencerdaskan Bangsa", di Gedung DPD, kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu, (18/11).
Dalam kesempatan yang sama ia juga melontarkan kritik tentang guru honorer. Menurutnya, ribuan guru honorer sama sekali tidak diurus nasibnya dan mutu pendidikan tidak diperbaiki melalui jalur yang benar, misalnya dengan cara meningkatan mutu dan kesejahteraan guru secara keseluruhan.
Ada dua hal menarik dalam yang disorot Sulistiyo. Yakni, kebijakan Kemendikbud tentang arah pendidikan dan nasib guru honorer. Namun, ia gagal memberikan contoh yang relevan untuk menggambarkan bentuk kebijakan pemerintah yang layak dikritisi. Untuk memperkuat kritiknya, ia memberikan contoh: pengerahan murid untuk memberikan bunga kepada guru dan menulis surat kepada presiden. Padahal dua hal itu bukanlah kebijakan teknis yang bersifat intruksional melainkan kegiatan untuk menyemarakkan peringatan Hari Guru.
Lagi pula, apakah kedua kegiatan itu salah? Ajaran agama dan budaya mana pun jelas menganjurkan murid untuk menghormati guru. Sulistiyo yang juga duduk di Senayan sebagai dari Jawa Tengah seharusnya mengerti bahwa guru memiliki tempat yang mulia. Pemberian bunga kepada guru adalah bentuk penghormatan dan cinta kepada guru.
Adapun menulis surat kepada presiden, harus dilihat dari sisi positif. Di era digital seperti sekarang, kegiatan chatting (ngobrol) di grup Whatsapp, mengoceh di Facebook, atau bercuit di Twitter sangat lazim dilakukan murid.
Berceloteh lewat media sosial itu dapat dilakukan secara spontan dan cenderung bebas tanpa aturan. Sementara kegiatan tulis-menulis dan karang-mengarang cenderung dilupakan. Padahal kegiatan ini mengandung nilai pendidikan yang luar biasa. Menulis surat, terlebih kepada presiden, akan merangsang murid untuk berpikir untuk berpikir kritis namun konstruktif dan merangkai kalimat dengan tata bahasa yang tepat. Presiden sebagai penerima surat tentu akan dapat mengetahui suara hati para murid sehingga bisa menjadi bahan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan berdasar kebutuhan murid, bukan berdasar kepentingan politisi.
Kebijakan Substansif
Supaya kritisinya lebih konstruktif, Sulistyo sebagai pemimpin organisasi guru mestinya fokus pada kebijakan Kemendikbud yang dianggap salah jalan. Taruhlah misal, kebijakan peningkatan kompetensi melalui sertifikasi profesi. Apakah kebijakan yang sesuai Undang-undang Guru dan Dosen itu salah? Jika salah, tunjukkan di mana letak kesalahannya.