Lihat ke Halaman Asli

Ilusi / Fakta

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Apakah aku termasuk seorang pemimpi? Apakah aku termasuk dalam kumpulan orang-orang yang terganggu jiwanya, karena aku memimpikan seseorang yang takkan kembali? Tapi kalau aku tidak waras, mereka di atas sana juga tidak waras karena memimpikan masa kejayaan yang takkan pernah kembali pula.

Apakah aku termasuk seorang pemalas? Karena aku semestinya melakukan tugasku, tapi malah menganggur, patah semangat? Tapi kalau begitu, mereka di atas sana juga termasuk golongan pemalas karena bukannya melaksanakan hal-hal yang semestinya menjadi tugas mereka, tapi malah menganggur.

Jadi siapa aku sebenarnya?

Seorang pemimpi? Seorang pemalas? Seorang yang hina kah? Seorang yang bertindak selayaknya kewajaran saja? Seorang yang biasa-biasa saja? Sungguh, di saat-saat seperti ini, krisis identitas yang merupakan sesuatu yang lumrah bagi remaja sepertiku bisa terasa amat menyakitkan. Apakah aku gila? Buta karena cinta? Sakit karena rindu? Rindu yang takkan pernah bisa kuhilangkan.

Cinta itu sesuatu yang klise, mudah ditebak. Tapi anehnya kita selalu merasakan sebuah kejutan bersamanya, meskipun kita sudah bisa menebaknya. Dan karenanya pula cinta selalu berbanding terbalik dengan logika. Itulah, perasaan itulah, yang tidak bisa kulepaskan dari hati. Layaknya parasit yang menggerogoti hatiku sedikit demi sedikit dengan perasaan rindu, menusuk dengan tusukan yang indah namun sangat menyakitkan, menempel tanpa bisa lepas.

Orang-orang selalu bilang padaku, “Cari saja perempuan lain” atau “Dunia ini tidak selebar daun kelor” atau, lebih klise lagi, “Jodoh pasti takkan kemana” tapi hatiku bukan hati yang bodoh. Tidak akan semudah itu menyerah pada kata-kata cetek seperti itu. Orang bilang aku gila, mengejar seseorang yang tidak mungkin kudapat. Tahu apa mereka? Aku hidup dalam status quo yang kubuat sendiri sebagai sebuah kerangkeng pikiranku, dan aku merasa nyaman hidup begini.

Aku takkan menyerah, apapun yang terjadi. Atau awalnya, begitulah tekadku. Sungguh tekad yang murahan, yang bisa kau temukan dengan mudah di sinetron-sinetron yang kau tonton setiap hari itu. Meskipun, sekarang semuanya hanya tameng belaka. Aku berusaha menutupi kenyataan. Aku sungguh naif. Seorang yang naif, yang naive, mungkin seperti itulah aku. Tidak, tidak, bukan begitu, aku tidak serendah itu. Setidaknya menurut diriku sendiri. Terserahlah kata orang lain.

Ya, itulah aku. Aku yang tidak suka menuruti perkataan orang lain. Bahkan kalau mereka berkata benar. Meskipun secercah titik di hatiku selalu berkata aku salah, tapi aku tidak menghiraukannya. Takkan kubiarkan secercah titik itu menjadi nila yang merusak susu sebelanga. Aku ingin aku yang sekarang tetap menjadi aku di masa depan. Mempertahankan status quo yang nyaman ini, meskipun itu salah.

Aku adalah seorang pemikir. Bukanlah hal yang lazim bagi remaja sepertiku, seusiaku untuk banyak berpikir. Maka, seperti banyak pemikir lainnya, aku hanya menyembunyikannya saja, memasang muka dua sebagai orang yang banyak bicara dan suka bercanda, sementara sebenarnya aku adalah orang yang serius, banyak berpikir. Aku ini seorang pembohong. Ya, pembohong, meskipun aku sendiri tidak beranggapan begitu.

Hanya satu hal yang bisa menembus segala benteng pikiranku, muka duaku, sifat palsuku. Cinta itu, yang dia berikan dengan murni dan jernih, yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Tentu saja semua orang yang pernah merasakan cinta pasti berkata begitu. Meskipun, itu semua hanya ilusi. Tapi mereka, dan aku, menganggap itu fakta. Walaupun pikiranku tahu, tahu benar, bahwa cinta hanya ilusi belaka, namun perasaan itu telah menempel di hatiku bagai benalu.

Usaha satu tahun bisa hilang dalam satu menit saja, begitu kata seorang bijak. Dan mungkin, peribahasa itu paling tepat menggambarkan keadaanku saat ini. Hubungan yang telah kugarap, kujahit selama berbulan-bulan hilang seketika. Lenyap, musnah, hanya dalam satu menit, tidak, hanya dalam beberapa detik saja. Karena itu, aku masih mengurung diriku di kandang kecil yang bernama ilusi. Dalam status quo itu, yang dengan senang hati menjebakku sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline