Lihat ke Halaman Asli

niqi carrera

ibu rumah tangga

Skandal Farmasi di Balik Gagal Ginjal Akut

Diperbarui: 29 Oktober 2022   09:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kabar miris adanya pencemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dalam sirup obat yang diduga menyebabkan penyakit ginjal akut pada ratusan anak di Indonesia, hingga kini terus diselidiki oleh pemerintah. Dari 102 obat yang digunakan pasien, BPOM mengeluarkan 30 obat yang dinyatakan bebas cemaran EG dan DEG, sedangkan 3 produk yang mengandung EG dan DEG melebihi ambang batas aman. Ketiga produk tersebut termasuk dalam lima produk yang dirilis BPOM pada 20 Oktober 2022, sedangkan 69 produk sisanya masih dalam proses uji coba.

Penny K. Lukito, Direktur BPOM RI, mengatakan pihaknya sedang mengkaji semua obat sirup yang ada di Indonesia. Berdasarkan data registrasi BPOM, hingga 133 sirup obat aman digunakan sesuai petunjuk penggunaan, karena bebas dari propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserin sebagai pelarut.Untuk memastikan keamanan, BPOM juga mengambil sampel dan mengujinya. 13 sirup obat (21 batch). Mereka dinyatakan aman selama mereka mematuhi aturan penggunaan (www.pom.go.id, 24/10/2022).

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga sudah memastikan bahwa fenomena gagal ginjal akut pada anak disebabkan oleh tercemarnya bahan kimia ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG) dan ethylene glycol butyl ether (EGBE) pada obat sirup. Sebenarnya ada yang menarik dari kasus gagal ginjal anak yang terjadi secara massal di berbagai wilayah Indonesia. Banyak kalangan yang menanyakan mengapa baru sekarang obat sirup tercemar, padahal dari dulu aman-aman saja?

***

Profesor Zullies Ikawati, guru besar farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan pihaknya belum mengetahui secara pasti penyebab beberapa obat sirup tersebut terkontaminasi. Namun, Zullies menjelaskan beberapa kemungkinan penyebabnya. Pertama, sumber bahan baku untuk lot tertentu yang beredar tahun ini bisa saja berubah. Misalnya bahan baku seperti propilen glikol dan gliserin. Menurut Zullies, kedua bahan tersebut memiliki sifat yang berbeda. Selain itu, kami tidak dapat melakukan pemeriksaan kualitas dengan Certificate of Analysis (COA) untuk menjamin kedua bahan baku tersebut. Tetapi jika industri dapat menunjukkan bahwa mereka menggunakan sumber yang sama yang sebelumnya aman, peluang itu hilang.

Kemungkinan kedua adalah bahwa produk tersebut tidak disimpan dengan benar setelah sampai di tangan konsumen. Hal ini dapat menurunkan propilen glikol, yang merupakan bahan baku untuk produksi etilen glikol dan dietilen glikol. Tetapi kemungkinan ini tidak menjawab mengapa polusi muncul sekarang. Hal ini dikarenakan pola penyimpanan obat sirup oleh masyarakat tidak mungkin berubah secara signifikan.

Zullies kembali mengatakan bahwa penyebab ketiga yang paling mungkin dari kontaminasi obat dengan senyawa berbahaya adalah instruksi yang salah atau kesalahan dalam pembuatan obat. Misalnya, propilen glikol sengaja dicampur dengan EG atau DEG sebagai pelarut. Namun, jika ketiga kemungkinan tersebut gagal atau tidak terbukti, ada faktor non-obat yang menyebabkannya. Ini karena sumber kontaminasi mungkin bisa berupa penyakit, makanan, dan lain-lain, karena sumber kontaminasi bisa berasal dari sumber lain (www.kompas.com, 23/10/2022).

***

Banyaknya korban gagal ginjal akut akibat cemaran EG, DG menunjukkan bahwa pengawasan BPOM atas obat yang beredar masih lemah. Jika memang ada kesalahan dari farmasi sepeti kata Prof Zullies maka Negara perlu menindak tegas atas perusahaan farmasi yang terkait. Sebagaimana dilansir detikhelath.com, bahwa perusahaan farmasi sering berusaha keras untuk menjual produk mereka secara ilegal dan menghasilkan keuntungan sebanyak mungkin.

Triliun rupiah diperhitungkan telah mengalir ke kas perusahaan, sementara triliunan rupiah juga dihabiskan untuk membayar denda dan denda yang dijatuhkan pengadilan. Kejahatan yang dilakukan berkisar terutama untuk suap dan klaim obat yang menyesatkan. Misalnya obat merek Vioxx, yang diproduksi oleh Merck Sharp & Dohme (MSD), ditarik dari pasaran pada tahun 2004 setelah penelitian menunjukkan bahwa obat itu menggandakan risiko serangan jantung dan stroke.

Di sisi lain di Indonesia ada sekitar 20 pabrik milik asing, tapi mereka mampu menguasai 80% kapital dan penguasaan atas pasar. Bahan baku obat 95% impor, baik itu bahan berkhasiat maupun bahan pembantu. Padahal Indonesia adalah negara yang kaya akan tanaman obat. Tetapi asing telah mengambil alih tanaman yang berkhasiat obat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline