Ikut sertanya Gibran Rakabuming Raka kedalam kontes Pilpres 2024 menjadi momentum paling kontroversial sepanjang drama-drama yang bertebaran di ajang Pilpres. Beberapa pihak dan pengamat politik menyebut bahwa kehadiran Gibran sebagai pendamping Prabowo Subianto dalam Koalisi Indonesia Maju, merupakan sebuah pelanggaran kode etik pemilihan umum dan beberapa diantaranya menilai ada campur tangan sang ayah yang tak lain adalah Presiden Jokowi. Narasi-narasi yang bertebaran tak jauh dari perupayaan Presiden demi mengukuhkan kembali dinasti politiknya melalui sang putra sulung.
Presiden Jokowi sendiri dalam beberapa kesempatan mengaku tidak ikut campur terkait diloloskannya Gibran sebagai cawapres Prabowo. Namun kita sebagai masyarakat tentunya harus bersikap skeptis agar bisa lebih kritis dalam memahami alur Pilpres. Presiden Jokowi sebagai pemimpin besar NKRI seharusnya bersikap netral dan menegur Gibran serta Prabowo bahwa apa yang mereka lakukan melanggar wujud demokrasi sebagai filsafah berpolitik. Tapi apa yang Jokowi lakukan justru sebaliknya. Dukungannya terhadap Koalisi Indonesia Maju semakin terlihat jelas seakan menandakan bahwa puppet master dari Prabowo-Gibran adalah Presiden sendiri, dan ini yang kemudian menyebabkan faksionalisme dalam tubuh PDIP. Baik Jokowi dan Gibran merupakan kader PDIP, namun aksi keduanya yang ‘berkhianat’ menunjukan faksionalisme antar kubu loyalis Megawati dan kubu Jokowi. Ada banyak sekali topik-topik menarik yang layak kita bahas terkait drama-drama menjelang Pilpres 2024 dan penulis akan berfokus pada isu yang satu ini.
Hadiah Dari Paman Untuk Dinasti
Dikabulkannya permohonanan terhadap MK terkait batas usia capres-cawapres membukakan pintu gerbang bagi Gibran untuk masuk ke dalam kancah pilpres dan mendampingi Prabowo yang sudah lama mengidamkan Gibran sebagai wakilnya. Anwar Usman selaku Ketua MK adalah sosok dibalik disetujuinya permohonan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru, mahasiswa Universitas Surakarta. Apa yang dilakukan Anwar Usman sebagai Ketua MK kerap dikaitkan dengan praktik KKN. Bagaimana tidak? Anwar sendiri merupakan paman dari Gibran dan adik ipar Presiden Jokowi. Keputusannya dalam mengabulkan permohonan uji materi terkait batasan usia capres-cawapres dan menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, terkesan sangat nepotis dalam melanggengkan Gibran sebagai ponakannya untuk maju ke pilpres. Seharusnya Anwar sadar bahwa apa yang dilakukannya jelas tidak etis karena melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 169 Huruf q.
Tidak hanya melanggar kode etik, keputusan tersebut sejatinya turut meruntuhkan cita-cita demokrasi dan reformasi yang telah diperjuangkan rakyat Indonesia semenjak tahun 1998. Khawatirnya dari kasus ini adalah kembalinya orba yang terkenal tidak demokratis dan otoriter. Hal tersebut berlaku bagi Jokowi karena dirinya semakin terlihat nyaman dengan kekuasaan. Dalam beberapa kasus, rezim perlahan memperlihatkan sisi orba ini yang dapat kita lihat dari Ketua BEM UI, Melki Sedek Huang yang mengaku bahwa ia dan keluarganya mendapat intimidasi dari aparat TNI dan Polri akibat sering mengkritik keputusan MK dan isu politik dinasti.
Sudah sewajarnya kekuasaan membuat manusia tergiur akan kenikmatannya dan karena itu pula Soeharto bisa langgeng hingga 32 tahun. Jokowi rasa satu-satunya cara demi melanggengkan kekuasaanya adalah melalui boneka-bonekanya yang ia bentuk via Koalisi Indonesia Maju. Karenanya sangat memungkinkan bahwasannya Jokowi ada dibalik ditetapkannya putusan MK, terlebih Anwar adalah ipar Jokowi. Soal dukungan, sepertinya seorang ayah akan terus mendukung anaknya terlebih dalam ambisi yang menguntungkan dirinya. Meski mengaku netral, ingat bahwa dalam beberapa kesempatan Jokowi kerap menyatakan dukungan tersembunyinya bagi Prabowo-Gibran.
Terlalu Muda?